KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi merevisi beberapa pasal dalam UU No.32 Tahun 2004 antara lain Pasal 59 (3) yang diubah menjadi “membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan”.
Revisi terhadap pasal tersebut memberi peluang dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk mengusung calon kepala daerah tidak hanya dicalonkan dari partai politik tapi juga dicalonkan melalui perseorangan (non-partai). Keputusan MK meloloskan calon independen, tentu saja memberikan harapan baru bagi munculnya calon-calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang relatif lebih terbuka bagi siapa pun yang memiliki minat untuk mencalonkan diri.
Sejak diberikannya hak bagi calon kepala daerah dari jalur independen untuk maju dalam Pilkada, bemunculanlah para calon. Mereka maju dengan dukungan masyarakat dan berjuang keras untuk menang. Diantara calon kepala daerah independen tersebut ada yang menang dalam pemilihan namun jumlah yang kalah juga banyak.
Revisi terhadap pasal tersebut memberi peluang dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk mengusung calon kepala daerah tidak hanya dicalonkan dari partai politik tapi juga dicalonkan melalui perseorangan (non-partai). Keputusan MK meloloskan calon independen, tentu saja memberikan harapan baru bagi munculnya calon-calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang relatif lebih terbuka bagi siapa pun yang memiliki minat untuk mencalonkan diri.
Sejak diberikannya hak bagi calon kepala daerah dari jalur independen untuk maju dalam Pilkada, bemunculanlah para calon. Mereka maju dengan dukungan masyarakat dan berjuang keras untuk menang. Diantara calon kepala daerah independen tersebut ada yang menang dalam pemilihan namun jumlah yang kalah juga banyak.
Menarik mencermati Pilkada serentak di kota wisata Bukittinggi. Dari lima orang pasangan calon, satu pasang berasal dari jalur perseorangan (independen), yaitu pasangan Ramlan-Irwandi. Tentunya, pasangan ini memiliki harapan besar menang dalam pilkada 9 Desember 2015 nanti. Namun, sebagian kalangan memiliki kekhawatiran, jika terpilih nantinya, pasangan ini tidak memiliki kekuatan politik di DPRD Kota Bukittinggi karena tidak didukung oleh partai politik. Satu-satunya dukungan pasangan ini adalah basis masa yang mereka miliki.
Husnul Isa Harahap, staf Pengajar Ilmu Politik di Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Sumatera Utara berpendapat, keberadaan calon independen tentu memiliki makna lebih kuat bagi perubahan sosial politik daripada keberadaan calon perseorangan. Inilah sebabnya mengapa perlu ada pembedaan antara calon independen dengan calon perseorangan. Makna calon perseorangan identik dengan kepentingan yang terangkum dalam modal sosial politiknya untuk maju dalam Pilkada.
Ini berbeda dengan calon independen yang sejak awal menjaga independensinya terhadap kepentingan politik sesaat. Calon perseorangan biasanya tidak menggunakan partai politik untuk maju dalam Pilkada karena kalah dengan calon lain, dan bukan karena pilihan yang berdasarkan idealisme politik. Sementara calon independen bersikap konsisten untuk tidak maju dari jalur partai politik karena yakin pada dukungan rakyat.
Pertanyaannya besar yang harus dijawab; adakah calon independen itu? Tentu sulit menentukan mana calon independen dan mana yang merupakan calon perseorangan. Hal ini disebabkan karena lobby yang terjadi di antara bakal calon non partai yang belum memiliki calon kerap terjadi dalam forum-forum tidak resmi seperti di hotel, dalam acara silaturahmi, ataupun dalam pertemuan di meja makan.
Menurut Syarief Makhya, Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, sebenarnya calon independen juga tidak menjamin munculnya sosok pemimpin yang ideal. Sebab, ini harus kembali kepada rasionalitas pemilih. Untuk bisa memenangkan pilkada bagi calon independen tentu bukan persoalan yang mudah, karena calon independen tidak memiliki mesin politik yang efektif. Calon independen tidak memiliki infrastruktur politik yang bisa mengakses kepada pemilih, sehingga membutuhkan managemen pemenangan yang efektif.
Di samping itu, kendatipun calon independen ini bersifat terbuka bagi masyarakat, tetapi dalam prakteknya memiliki keterbatasan karena ada persyaratan-persyaratan realitas ongkos politik yang tidak bisa dijangkau oleh semua orang. Oleh sebab itu, calon independen sesungguhnya hanya memberi kesempatan kepada pemilik modal, pengusaha, para pejabat birokrasi sipil atau militer, atau tokoh masyarakat/agama yang memiliki dukungan finansial yang memadai.
Di samping itu, calon independen juga membutuhkan jaringan masa yang kuat. Tanpa dukungan jaringan masa, calon independen tidak memiliki jangkauan yang luas untuk bisa memengaruhi masa ke lapisan masyarakat bawah. Oleh sebab itu, organisasi-organisasi yang memiliki jumlah massa yang banyak dan menjangkau secara hirarkis ke desa, seperti NU, Muhammadiyah atau kelompok agama lainnya akan menjadi rebutan pengaruh.
Problem lain yang dihadapi oleh calon independen adalah jika terpilih maka calon independen harus bisa mengatur keseimbangan kekuasaan dengan anggota legistatif karena sebagai konsekuensi calon independen tidak mempunyai dukungan politik dari partai politik, maka tentu tidak akan memperoleh dukungan politik di lembaga legistatif.
Pada tataran ini, jelas Syarief Makhya, ada kehawatiran kalau-kalau kehadiran calon independen justru akan memperburuk efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Dalam perspektif ini, maka keberadaan calon independen seharusnya didukung bangunan kekuasaan yang efektif yang menyangkut hubungan antara relasi kekuasaan antara eksekutif dan legistatif, sistem pemerintahan daerah dan sistem kepartaian. Tampaknya, karena konstruksi kekuasaan belum dirancang untuk membangun efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pada akhirnya untuk menjaga efektivitas penyelenggaraan pemerintahan seringkali terjadi inkonsistensi sikap politik.
Misalnya, untuk menjaga kesimbangan kekuasaan, kepala daerah kemudian masuk partai atau diberi tawaran untuk memimpin partai politik tertentu. Dalam kondisi demikian, kepala daerah yang awalnya calon independen menjadi kehilangan maknanya karena akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap keberlangsungan pemerintahan. Proses keberlangsungan pemerintahan akan tetap saja dikendalikan oleh kepentingan partai politik.
Senada dengan itu, Dr. Muhadam Labolo., M.Si, kelemahan calon independen adalah suka diganggu oleh parpol yang tak memiliki relasi signifikan dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam konteks demokrasi, pemerintahan yang kuat jika di dukung oleh suara mayoritas di parlemen. Bagi pasangan yang terpilih dari jalur independen ia harus kuat pasang kuda-kuda, sebab setiap saat rawan angket dan interpelasi. Kalau pasangan independen tak paham menempatkan diri, rendah frekuensi silaturahmi, serta pelit memberi ruang bagi anggota dewan buat studi banding kemana mereka sukai, maka alamat konflik mengancam setiap waktu. Bisa-bisa semua pimpinan SKPD kena giliran hearing setiap minggu.
Satu-satunya sandaran perlindungan pasangan calon independen adalah kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini mendukungnya. Ia harus pintar merawat dan memberi makan secara telaten seperti memelihara tuyul dalam rumah. Kalau telat, bisa jadi mereka yang mendukung selama ini berbalik menjadi musuh dalam selimut. Kalau sudah demikian, pasangan independen dapat kehilangan dukungan baik di akar rumput maupun legislatif. Lalu, siapa lagi yang akan mendukung mereka? Saya prediksi, kemungkinan tinggal sekawanan pengusaha lokal bermata sipit hingga pengusaha yang suka pinjam pakai PT dan CV orang lain.
Menurut hemat penulis, dari 497 Kabupaten/Kota di Indonesia, hanya sepuluh pasangan kepala daerah yang terpilih dari jalur independen pada setiap pelaksanaan pilkada. Misalnya, pasangan kepala daerah di Garut yang menang karena berpasangan dengan seorang artis komedi. Selebihnya, calon kepala daerah yang menempuh jalur independen tersebut lebih banyak yang kalah. Parahnya lagi, dukungan KTP yang mereka terima sebagai persyaratan di KPU pada kenyataannya tidak sesuai dengan perolehan suara pada saat pemilihan. Sebagai contoh, pasangan Syamsuar Syam-Mawardi, dan Indra Jaya-Yefri Hendri Darmi hanya memperoleh suara dibawah lima ribuan pada Pilkada Kota Padang 2013.
Ditulis Oleh :
Anna Yulend
Wartawan WartaOne Jakarta
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »