Golput Selalu Menjadi Nomor One

Golput Selalu Menjadi Nomor One
PAGI ini, penulis ditelepon salah seorang teman. Dia mengucapkan selamat atas terpilihnya Prof DR H Irwan Prayitno, Psi, MSs., Datuk Rajo Bandaro Basa dan Drs H Nasrul Abit, MBA., sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat, walau kemenangan dimaksud versi quick count atau hitungan cepat Indo Barometer dan LSI. Tapi biasanya, hasil hitungan manual Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak akan jauh berbeda dengan hasil quick count lembaga survai yang ada.

Tak lupa, teman yang kerap diskusi politik via telepon selular tersebut, curhat kepada penulis. Jagoan yang dia dukung ternyata kalah pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2015 ini. Teman tersebut mendukung salah seorang calon Walikota incumbent yang diprediksi akan memenangkan Pilkada di daerah tersebut. Namun, berdasarkan hasil hitungan sementara, ternyata yang menang adalah calon perseorangan.

Walau menerima kekalahan tersebut, teman ane ini mengeluhkan tingginya tingkat golongan putih (golput) atau warga yang telah dinyatakan berhak memilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk memilih namun tidak menggunakan hak pilihnya tersebut. Menurutnya, di kampung asal jagoannya tersebut, terdaftar sekitar empat ribu pemilih, tetapi yang menggunakan hak pilih hanya sekitar 300 pemilih.

Ini menandakan masyarakat tidak terlalu antusias mengikuti pilkada. Masyarakat lebih memilih mencari sesuap nasi ketimbang memberikan hak suaranya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) masing-masing. Apatah lagi, di kota tersebut sebagian besar warganya adalah berprofesi sebagai pedagang. Mereka pagi-pagi sudah membuka tokonya, dan tidak datang ke TPS. Inilah salah satu sebab, ungkap teman penulis tersebut, kenapa jagoannya kalah.

Tingginya tingkat golput tidak hanya dikeluhkan teman penulis ini. Rata-rata para kandidat dan tim suksesnya mengeluhkan selalu nomor onenya golput ini dalam setiap pemilihan umum (Pemilu). Tentu banyak hal yang menyebabkan sebagian pemilih tidak menggunakan hak suaranya. Disamping kesibukan mencari nafkah, banyak faktor lain yang menjadi penyebabnya.

Pada pilkada serentak kali ini, belum diketahui berapa angka pasti tingkat golput di Sumatera Barat, karena hasil hitungan manual KPU belum diumumkan. Namun, banyak pihak yang sudah menerka, berdasarkan pengamatan di TPS-TPS, angka golput bertengger pada kisaran 40-45 persen. Suatu angka yang cukup besar, yang dapat saja mengurangi legitimasi Pilkada serentak ini.

Menurut Arya Fernandes, peneliti dari Charta Politika, malasnya masyarakat ke TPS disebabkan karena penilaian masyarakat terhadap calon gubernur yang gagal mendekatkan diri baik secara psikologis dan emosional. Kegagalan calon mendekatkan diri kepada pemilih ini menyebabkan ketiadaan keterikatan antara calon gubernur dengan pemilih. Selain itu, masyarakat memilih tidak memberikan suara karena melihat tidak adanya azas manfaat. Dalam pemikiran masyarakat, memilih atau tidak memilih tidak ada manfaatnta bagi mereka.

Disamping itu, ungkap Arya Fernandes, partai politik yang gagal menjalankan amanah rakyat juga menjadi penyebab lain rendahnya tingkat partisipasi masyarakst dalam pelgub Jawa Barat dan Sumatera Utara. Masyarakat muak dengan partai politik yang justru memberikan contoh tidak baik. Partai politik yang semestinya menjadi penyalur aspirasi masyarakat malah mengkhianati kepercayaan masyarakat dengan melakukan korupsi. (Sumber : beritasatu.com).

HS Suhaedi, pengamat Sosial Politik Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Maulana Hasanudin Banten (SMHB) berpendapat, kecenderungan dari tahun ke tahun, tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada menurun. Ini terjadi karena masyarakat tidak percaya lagi terhadap penguasa.

Selain itu, kehadiran figur calon juga ikut mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Masyarakat sudah sampai pada kesimpulan bahwa kehadiran pemimpin terpilih itu tidak akan mengubah keadaannya karena sebagian besar penguasa tidak merepresentasikan kepentingan masyarakat. Menurutnya, tingginya angka golput juga disebabkan lemahnya sosialisasi yang dilakukan KPU. Sosialisasi yang dilakukan KPU tak menyentuh psikologi dan merangsang masyarakat untuk memilih, melainkan hanya memperbanyak pemasangan baliho. (Sumber : sp.beritasatu.com).

Tingginya angka golput tersebut juga sudah diprediksi oleh Asrinaldi, pengamat politik dari Universitas Andalas. Hal itu disampaikannya ketika menjadi narasumber pada kegiatan coffe morning yang diselenggarakan DPRD Kota Padang, Senin (7/12/2015). Ia memprediksi angka golongan putih (Golput) pada pemilihan kepala daerah ini akan tinggi dari perhelatan politik sebelumnya.

Pembatasan sosialisasi/kampanye sebagaimana yang diatur Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No­mor 7 Tahun 2015 telah menyebabkan sosialisasi tentang keberadaan Pilkada beserta calon kepala daerah jauh dari harapan. Akibatnya, pencapaian target partisipasi pemilih 77,5 persen sebagaimana yang dipatok oleh KPU sangat berat.

Asrinaldi mengatakan, sebenarnya sosialisasi Pilkada serentak ini tidak hanya menjadi tanggungjawab KPU, tetapi juga partai politik. Menurutnya, partai politik harus mengambil peranan terbesar sebagai aktor politik untuk mensosialisasikan pelaksanaan Pilkada serentak ini kepada masyarakat pemilih.

Ditulis Oleh :
Zamri Yahya
Wakil Ketua PK KNPI Kuranji

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »