![]() |
Ditulis Oleh: Zamri Yahya. |
PADA suatu kesempatan, penulis pernah berdiskusi dengan seorang ustad yang terbilang kritis. Ia kerap kali diminta memberikan pengajian di mesjid dan mushalla. Gaya dia berceramah disukai banyak orang, sehingga diundang berceramah kian kemari. Kalau bulan Ramadhan menjelang, susah meminta jadwal ceramah kepadanya, karena sudah terisi penuh.
Diskusi kami mengangkat seputar persoalan pembangunan yang dihadapi kota ini. Penulis katakan kepada dia, peran ulama sangat penting dalam pembangunan. Tanpa peran ulama, maka pembangunan akan kehilangan roh, karena hanya menyentuh fisik semata.
Ia setuju dengan apa yang penulis sampaikan. Ia mengatakan, ulama adalah warasatul Anbiya', artinya ulama adalah pewaris nabi, maka ulama berperan dalam membentengi akidah umat. Menurutnya, suatu negeri harus maju, rakyatnya harus pintar, penataan kota harus bersih dan indah dengan nilai estetika yang tinggi, namun umat tidak boleh mengalami pendangkalan akidah karena arus globalisasi.
Pada prinsipnya, penulis sepakat dengan ustad yang satu ini, akidah umat harus diperkuat. Tetapi penulis katakan kepadanya, umat jangan diajarkan berakidah dengan simbol semata, tetapi harus memahami esensi akidah itu. Jangan sampai karena melihat "Tugu Merpati Perdamaian" di Muaro Lasak, lantas umat berteriak, "Itu simbol kafir!"
Jika itu yang terjadi, maka umat akan kehabisan energi mengurus persoalan yang bukan esensial tersebut. Sebab, filosofi pada tugu itu misalnya, tidak bertujuan memurtadkan umat Islam di daerah ini, tetapi hanya sekedar simbol perdamaian yang sudah lama diwarisi secara turun temurun, sejak zaman Mesir kuno hingga sekarang.
Bagi penulis, tugas ulama itu sangat berat, dan hampir pada setiap tarikan nafasnya bernilai jihad. Untuk itu, ulama harus senantiasa hadir di tengah-tengah umat, dia harus memberikan pencerahan kapan pun diperlukan umat, baik diundang dalam pengajian atau di mana pun umat bertanya mereka, maka jawaban atas pertanyaan itu harus sudah dimiliki ulama.
Maka predikat ulama itu tidak sembarangan diberikan kepada seseorang. Ia mestilah urang yang faqih, dalam artian paham hukum fiqh. Ia mestilah orang yang pandai dan paham dalam menafsirkan teks suci. Tak hanya sekedar hafal satu dua ayat, lantas naik mimbar berceramah di mesjid atau mushalla, lantas dilekatkan panggilan ulama kepadanya, semisal buya atau ustad.
Apatah lagi saat ini, banyak orang yang dilekatkan kepadanya predikat ulama itu, meminjam istilah Buya Hamka, bak pancing dilarikan ikan. Ulama yang terpengaruh bujuk rayu dunia, sehingga menjerumuskan dirinya kepada kehinaan. Betapa banyak kita lihat, seseorang ulama yang dekat dengan kekuasaan, mereka malah menjadi tukang stempel kebijakan penguasa yang tidak pro rakyat.
Tak jarang, orang yang kerap dipanggil ustad, ketika berada pada lingkaran kekuasaan membuat dia sombong. Bahkan melacurkan diri ke dalam kekuasaan itu. Misalnya, orang yang mengaku ulama atau ustad, tetapi dekat dengan kekuasaan dan penguasa, malah menjadi calo 'proyek' dan calo 'jabatan'. Kalaulah itu yang terjadi, maka ingatlah pesan Rasulullah saw ini:
Diskusi kami mengangkat seputar persoalan pembangunan yang dihadapi kota ini. Penulis katakan kepada dia, peran ulama sangat penting dalam pembangunan. Tanpa peran ulama, maka pembangunan akan kehilangan roh, karena hanya menyentuh fisik semata.
Ia setuju dengan apa yang penulis sampaikan. Ia mengatakan, ulama adalah warasatul Anbiya', artinya ulama adalah pewaris nabi, maka ulama berperan dalam membentengi akidah umat. Menurutnya, suatu negeri harus maju, rakyatnya harus pintar, penataan kota harus bersih dan indah dengan nilai estetika yang tinggi, namun umat tidak boleh mengalami pendangkalan akidah karena arus globalisasi.
Pada prinsipnya, penulis sepakat dengan ustad yang satu ini, akidah umat harus diperkuat. Tetapi penulis katakan kepadanya, umat jangan diajarkan berakidah dengan simbol semata, tetapi harus memahami esensi akidah itu. Jangan sampai karena melihat "Tugu Merpati Perdamaian" di Muaro Lasak, lantas umat berteriak, "Itu simbol kafir!"
Jika itu yang terjadi, maka umat akan kehabisan energi mengurus persoalan yang bukan esensial tersebut. Sebab, filosofi pada tugu itu misalnya, tidak bertujuan memurtadkan umat Islam di daerah ini, tetapi hanya sekedar simbol perdamaian yang sudah lama diwarisi secara turun temurun, sejak zaman Mesir kuno hingga sekarang.
Bagi penulis, tugas ulama itu sangat berat, dan hampir pada setiap tarikan nafasnya bernilai jihad. Untuk itu, ulama harus senantiasa hadir di tengah-tengah umat, dia harus memberikan pencerahan kapan pun diperlukan umat, baik diundang dalam pengajian atau di mana pun umat bertanya mereka, maka jawaban atas pertanyaan itu harus sudah dimiliki ulama.
Maka predikat ulama itu tidak sembarangan diberikan kepada seseorang. Ia mestilah urang yang faqih, dalam artian paham hukum fiqh. Ia mestilah orang yang pandai dan paham dalam menafsirkan teks suci. Tak hanya sekedar hafal satu dua ayat, lantas naik mimbar berceramah di mesjid atau mushalla, lantas dilekatkan panggilan ulama kepadanya, semisal buya atau ustad.
Apatah lagi saat ini, banyak orang yang dilekatkan kepadanya predikat ulama itu, meminjam istilah Buya Hamka, bak pancing dilarikan ikan. Ulama yang terpengaruh bujuk rayu dunia, sehingga menjerumuskan dirinya kepada kehinaan. Betapa banyak kita lihat, seseorang ulama yang dekat dengan kekuasaan, mereka malah menjadi tukang stempel kebijakan penguasa yang tidak pro rakyat.
Tak jarang, orang yang kerap dipanggil ustad, ketika berada pada lingkaran kekuasaan membuat dia sombong. Bahkan melacurkan diri ke dalam kekuasaan itu. Misalnya, orang yang mengaku ulama atau ustad, tetapi dekat dengan kekuasaan dan penguasa, malah menjadi calo 'proyek' dan calo 'jabatan'. Kalaulah itu yang terjadi, maka ingatlah pesan Rasulullah saw ini:
"Jika kamu lihat seorang ulama mendekati penguasa atau banyak campur tangan urusan penguasa, maka ketahuilah bahwa ia adalah pencuri." (HR.Muslim). Hadis serupa juga diriwayatkan oleh At-Thabrani, dan lainnya.
Agak tertegun ia ketika penulis menyebut hadis ini. Wajahnya sedikit memerah, namun untuk menyembunyikannya, ia berusaha tersenyum simpul. Lantas dia bertanya kepada penulis, "Kalau wartawan yang dekat dengan kekuasaan, apa namanya?"
Dengan tersenyum penulis menjawab, "Mungkin dia wartawan humas yang kerjanya merilis berita penguasa. Atau mungkin dia sedang berusaha menjadi juru bicara penguasa. Padahal, tugas wartawan itu adalah untuk kepentingan publik, bukan penguasa."
Kami akhiri diskusi yang mulai agak menghangat tersebut. Kami takut, setan akan mengadu domba antara ustad dan wartawan, bisa ribut dunia, bisa guncang 'arays Tuhan. Dan tentu dunia akan mentertawakan kami, jika kami basitegang urek marih.
Wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq. Semoga Allah menuntun kita ke jalan yang paling lurus.
(Penulis adalah anggota Muda PWI Cabang Sumatera Barat dan Wakil Ketua FKAN Pauh IX Kota Padang)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »