| Dalam kasus ini, Polda Metro Jaya menetapkan delapan tersangka, termasuk Roy Suryo dan Tifauziah Tyassuma alias dr Tifa. |
Dalam kasus ini, Polda Metro Jaya menetapkan delapan tersangka, termasuk Roy Suryo dan Tifauziah Tyassuma alias dr Tifa.
Ketua Umum MUI, Anwar Iskandar mengatakan, penetapan tersangka tersebut menjadi pengingat kepada semua pihak agar tidak menyalahgunakan kebebasan berpendapat untuk tindakan melawan hukum.
"Sudah tepat supaya menjadi pelajaran bagi siapa pun untuk tidak menyalahgunakan kebebasan berpendapat justru untuk caci maki," ujar Anwar Iskandar kepada wartawan dikutip redaksi, Senin, 10 November 2025.
Dukungan kepada Polda Metro Jaya yang telah menetapkan status tersangka terhadap Roy Suryo dan tujuh orang lainnya terkait tuduhan ijazah palsu Joko Widodo (Jokowi) semakin meluas.
"Penetapan tersangka terhadap Saudara Roy Suryo dan kawan-kawan bukanlah kriminalisasi, karena terdapat perbuatan faktual yang dilakukan secara terbuka di muka umum dan melalui media massa maupun media sosial. Perbuatan yang dipersangkakan bukan hanya sebatas ekspresi lisan atau opini, melainkan tindakan aktif yang lebih spesifik," ujar Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi di Jakarta, Senin 10 November 2025.
Roy Suryo cs diduga telah menyebarkan tuduhan palsu dan melakukan edit serta manipulasi digital terhadap dokumen ijazah Jokowi dengan metode analisis yang tidak ilmiah dan menyesatkan publik. Ini yang menurut Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri, perbuatan pidana yang diselidiki yang menjelaskan mengapa jeratan pasalnya melampaui sekadar Pasal 310 KUHP.
"Penetapan tersangka ini tidak bisa disebut misalnya sebagai kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat, karena memang ada tindakan atau perbuatan yang dinilai merendahkan martabat seorang subjek hukum, dalam hal ini Jokowi yang adalah Presiden ke-7 RI," kata Sugeng lagi.
Menurut Sugeng, pernyataan dan unggahan yang mempersoalkan keaslian ijazah Joko Widodo sebagai lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) telah mencemarkan nama baik Presiden. Apalagi, kata dia, tuduhan itu sebelumnya telah diuji secara hukum dan dinyatakan tidak terbukti.
”Bareskrim Polri telah melakukan pemeriksaan menyeluruh bersama ahli, termasuk pihak UGM serta saksi-saksi teman seangkatan Joko Widodo, dan telah menerbitkan surat penghentian penyelidikan karena tidak terdapat cukup bukti terjadinya pemalsuan ijazah,” ujarnya.
Sugeng menjelaskan, surat penghentian penyelidikan dari Bareskrim menjadi fakta hukum bahwa peristiwa pidana pemalsuan ijazah tidak ada. Karena itu, ketika tuduhan tersebut terus diproduksi dan disebarkan di ruang publik, termasuk di media sosial, tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai pencemaran nama baik.
Ia menambahkan, penyidik Polda Metro Jaya telah memeriksa 117 saksi serta menghadirkan berbagai ahli, mulai dari ahli pidana, hukum IT, sosiologi, hingga psikologi massa, sebelum menetapkan tersangka. Proses penyelidikan juga disertai gelar perkara dengan menghadirkan pihak eksternal penyidik.
”Dengan demikian, penetapan tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya sudah sesuai dengan prosedur hukum pidana dan sah secara hukum,” kata Sugeng.
Meski demikian, IPW menegaskan, para tersangka tetap memiliki hak konstitusional untuk mengajukan upaya hukum. ”Dalam negara hukum yang demokratis, para tersangka berhak menempuh praperadilan guna menguji keabsahan proses hukum yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya,” tutur Sugeng.
Sebanyak delapan orang ditetapkan tersangka kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo atau Jokowi pada Jumat, 7 November 2025. Delapan tersangka ini terbagi menjadi dua klaster.
Kluster I adalah pengacara Eggi Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, M Rizal Fadillah, Rustam Effendi, dan Damai Hari Lubis. Sementara klaster II adalah Roy Suryo, dr Tifa, dan Rismon Hasiholan Sianipar.
Klaster I dijerat Pasal 310 dan/atau Pasal 311 dan/atau Pasal 160 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik, Fitnah, dan Penghasutan dan/atau Pasal 27A Jo Pasal 45 Ayat (4) dan/atau Pasal 28 Ayat 2 Jo Pasal 45A Ayat 2 UU ITE terkait Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sedangkan Klaster II dijerat pasal yang lebih luas, yaitu Pasal 310, Pasal 311 KUHP, Pasal 32 Ayat 1 Jo Pasal 48 Ayat 1, Pasal 35 Jo Pasal 51 Ayat 1, Pasal 27A Jo Pasal 45 Ayat 4, serta Pasal 28 Ayat 2 Jo Pasal 45A Ayat 2 UU ITE termasuk dugaan manipulasi data dan penyebaran informasi palsu. (*)
Sumber: RMOL
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »