BENTENGSUMBAR.COM - Petugas Polda Metro Jaya gencar melakukan patroli siber terhadap akun media sosial yang menyebar kebencian, provokatif, SARA, maupun menyebarkan informasi tidak benar atau fitnah.
"Pengungkapan kasus sudah banyak," kata Kepala Subdirektorat Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Polisi Roberto Pasaribu di Jakarta, Jumat (30/12).
Roberto mengatakan bahwa petugas meningkatkan pengawasan terhadap media sosial maupun media online yang menyebarkan informasi menyesatkan publik.
Petugas kepolisian juga dapat mengambil tindakan hukum maupun memblokir akun media sosial bermasalah tersebut.
Roberto mengungkapkan bahwa polisi mengidentifikasi sekitar 300 media sosial maupun media online bermasalah tersebar di dalam dan luar negeri.
"Ada ratusan akun media yang sudah diblokir," ujar Roberto.
Roberto mengaku polisi menemui kendala untuk menindak hukum para penyebar informasi bermasalah itu karena menggunakan akun palsu.
Presiden RI Joko Widodo menggelar rapat terbatas guna membahas maraknya media sosial dan media online yang menginformasikan kebohongan dan fitnah.
Presiden meminta lembaga terkait mengevaluasi serta penegakan hukum terhadap pemilik akun media online yang menyampaikan fitnah, berita bohong, provokatif, dan SARA.
Mirip Taktik Pecah Belah Zaman Belanda
Kampanye hitam (black campaign) yang belakangan bertubi-tubi memasuki ruang publik di media sosial dinilai sudah dalam taraf yang sama dengan upaya memecah belah zaman penjajahan Belanda, kerap disebut politik devide et impera. Kalau tidak segera ditangani segera, diprediksi akan membuat tatanan sosial bangsa Indonesia terganggu. Hal itu diungkapkan Anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu.
"Distorsi informasi ini sudah mengarah pada politik devide et impera atau pecah belah Indonesia. Jika tidak segera dicegah akan berpotensi membahayakan integrasi sosial, keamanan dan kedaulatan nasional Indonesia," tegas Masinton, Kamis (29/12).
Dijelaskannya, dalam era teknologi digital saat ini, penyebaran informasi berlangsung sangat cepat, masif dan real time. Sarana yang umum digunakan adalah aplikasi media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, Instagram, Path, dan situs blog.
Masalahnya, pemanfaatan media sosial di dunia maya saat ini sudah bergeser dari hal-hal positif, yang pada awalnya berfungsi sebagai sarana media interaksi sosial di dunia maya. Kini penggunaan aplikasi media sosial menjadi sarana antisosial yang berisi hasutan, fitnah, caci maki, saling bully dan permusuhan.
Bahkan belakangan ini bisa disaksikan media sosial dalam wujud situs-situs blog yang dikelola individu dan kelompok, digunakan untuk penyebarluasan isu yang tidak berbasis data dan fakta. Mereka melakukan distorsi informasi dan propaganda hitam. Umumnya ditujukan untuk menyerang kewibawaan orang, kelompok, maupun pemerintahan.
Dicontohkan Masinton, seperti yang saat ini ramai beredar paket "black issue" tentang keberadaan 10 juta orang jumlah tenaga kerja asing berkewarganegaraan China. Ada lagi isu bangkitnya PKI dan Komunisme. Belum lagi adu domba antar suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Menurut Masinton, paket black issue ini didesain dengan sangat terencana dan sistematis, disebarluaskan secara masif dengan memanfaatkan media sosial hingga viral dan menjadi pesan berantai.
"Paket black issue ini terlihat sekali disengaja disebarluaskan untuk memprovokasi masyarakat agar tidak percaya pada pemerintahan yang sah dipilih langsung secara demokratis oleh rakyat," ulas Masinton, Kamis (29/12).
"Cara-cara provokasi melalui media sosial dengan memviralkan paket black issue ini mirip seperti peristiwa awal di Mesir, Libya dan Suriah."
Maka itu dia menekankan, bahwa ada upaya pemecahbelahan rakyat Indonesia melalui isu-isu yang tak sesuai fakta melalui media sosial.
Dengan itu, anggota Komisi Hukum DPR itu meminta agar ada upaya pencegahan dan penindakan terhadap penyebarluasan informasi yang berpotensi membahayakan integrasi sosial masyarakat. Penjagaan keamanan dan kedaulatan nasional harus dilakukan secara terpadu antar instansi pemerintahan, seperti Intelijen negara, Kominfo, Kepolisian, dan unsur masyarakat dalam satu kelembagaan khusus yang berfungsi melakukan monitoring dan filter terhadap penyebarluasan informasi yang tidak berbasis data dan fakta.
"Terserah apalah namanya nanti. Namun diperlukan kelembagaan yang khusus melakukan monitoring yang efektif terhadap penggunaan media sosial dan blog," tandasnya.
Sementara Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo juga menilai bahwa sudah saatnya ada tindakan riil menanggapi menyebarnya berita palsu atau hoax, khususnya yang dianggap dapat mengancam stabilitas dan keamanan negara. Apalagi, hal demikian kerap membuat masyarakat menjadi resah.
"Penyebaran hoax atau informasi tidak benar merupakan upaya pihak tertentu mengeskalasi ketidakpastian dan merusak kondusifitas," kata Bambang.
"Semua hoax itu tak hanya diarahkan untuk mengacaukan perspesi masyarakat tentang situasi terkini, tetapi juga upaya untuk mengeskalasi atau memperlebar persoalan."
Dia menekankan bahwa persoalan tersebut harus diseriusi oleh negara. Jangan sampai pelaku penyebaran informasi sesat itu dibiarkan coba-coba merangsek ke wilayah privat dan lainnya, yang bisa mengacaukan pola dan sistem kenegaraan.
"Dalam konteks keamanan, kredibilitas dan urgensi rahasia negara, beberapa hoax itu mestinya dikategorikan sebagai masalah yang sensitif, karena bertujuan merusak kredibilitas lembaga negara," ulasnya.
"Aparat harus memberi hukuman berat kepada para pelakunya, karena penyebaran informasi sesat berpotensi menimbulkan kekacauan serta kerugian bagi negara dan masyarakat." (beritasatu)
"Pengungkapan kasus sudah banyak," kata Kepala Subdirektorat Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Polisi Roberto Pasaribu di Jakarta, Jumat (30/12).
Roberto mengatakan bahwa petugas meningkatkan pengawasan terhadap media sosial maupun media online yang menyebarkan informasi menyesatkan publik.
Petugas kepolisian juga dapat mengambil tindakan hukum maupun memblokir akun media sosial bermasalah tersebut.
Roberto mengungkapkan bahwa polisi mengidentifikasi sekitar 300 media sosial maupun media online bermasalah tersebar di dalam dan luar negeri.
"Ada ratusan akun media yang sudah diblokir," ujar Roberto.
Roberto mengaku polisi menemui kendala untuk menindak hukum para penyebar informasi bermasalah itu karena menggunakan akun palsu.
Presiden RI Joko Widodo menggelar rapat terbatas guna membahas maraknya media sosial dan media online yang menginformasikan kebohongan dan fitnah.
Presiden meminta lembaga terkait mengevaluasi serta penegakan hukum terhadap pemilik akun media online yang menyampaikan fitnah, berita bohong, provokatif, dan SARA.
Mirip Taktik Pecah Belah Zaman Belanda
Kampanye hitam (black campaign) yang belakangan bertubi-tubi memasuki ruang publik di media sosial dinilai sudah dalam taraf yang sama dengan upaya memecah belah zaman penjajahan Belanda, kerap disebut politik devide et impera. Kalau tidak segera ditangani segera, diprediksi akan membuat tatanan sosial bangsa Indonesia terganggu. Hal itu diungkapkan Anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu.
"Distorsi informasi ini sudah mengarah pada politik devide et impera atau pecah belah Indonesia. Jika tidak segera dicegah akan berpotensi membahayakan integrasi sosial, keamanan dan kedaulatan nasional Indonesia," tegas Masinton, Kamis (29/12).
Dijelaskannya, dalam era teknologi digital saat ini, penyebaran informasi berlangsung sangat cepat, masif dan real time. Sarana yang umum digunakan adalah aplikasi media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, Instagram, Path, dan situs blog.
Masalahnya, pemanfaatan media sosial di dunia maya saat ini sudah bergeser dari hal-hal positif, yang pada awalnya berfungsi sebagai sarana media interaksi sosial di dunia maya. Kini penggunaan aplikasi media sosial menjadi sarana antisosial yang berisi hasutan, fitnah, caci maki, saling bully dan permusuhan.
Bahkan belakangan ini bisa disaksikan media sosial dalam wujud situs-situs blog yang dikelola individu dan kelompok, digunakan untuk penyebarluasan isu yang tidak berbasis data dan fakta. Mereka melakukan distorsi informasi dan propaganda hitam. Umumnya ditujukan untuk menyerang kewibawaan orang, kelompok, maupun pemerintahan.
Dicontohkan Masinton, seperti yang saat ini ramai beredar paket "black issue" tentang keberadaan 10 juta orang jumlah tenaga kerja asing berkewarganegaraan China. Ada lagi isu bangkitnya PKI dan Komunisme. Belum lagi adu domba antar suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Menurut Masinton, paket black issue ini didesain dengan sangat terencana dan sistematis, disebarluaskan secara masif dengan memanfaatkan media sosial hingga viral dan menjadi pesan berantai.
"Paket black issue ini terlihat sekali disengaja disebarluaskan untuk memprovokasi masyarakat agar tidak percaya pada pemerintahan yang sah dipilih langsung secara demokratis oleh rakyat," ulas Masinton, Kamis (29/12).
"Cara-cara provokasi melalui media sosial dengan memviralkan paket black issue ini mirip seperti peristiwa awal di Mesir, Libya dan Suriah."
Maka itu dia menekankan, bahwa ada upaya pemecahbelahan rakyat Indonesia melalui isu-isu yang tak sesuai fakta melalui media sosial.
Dengan itu, anggota Komisi Hukum DPR itu meminta agar ada upaya pencegahan dan penindakan terhadap penyebarluasan informasi yang berpotensi membahayakan integrasi sosial masyarakat. Penjagaan keamanan dan kedaulatan nasional harus dilakukan secara terpadu antar instansi pemerintahan, seperti Intelijen negara, Kominfo, Kepolisian, dan unsur masyarakat dalam satu kelembagaan khusus yang berfungsi melakukan monitoring dan filter terhadap penyebarluasan informasi yang tidak berbasis data dan fakta.
"Terserah apalah namanya nanti. Namun diperlukan kelembagaan yang khusus melakukan monitoring yang efektif terhadap penggunaan media sosial dan blog," tandasnya.
Sementara Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo juga menilai bahwa sudah saatnya ada tindakan riil menanggapi menyebarnya berita palsu atau hoax, khususnya yang dianggap dapat mengancam stabilitas dan keamanan negara. Apalagi, hal demikian kerap membuat masyarakat menjadi resah.
"Penyebaran hoax atau informasi tidak benar merupakan upaya pihak tertentu mengeskalasi ketidakpastian dan merusak kondusifitas," kata Bambang.
"Semua hoax itu tak hanya diarahkan untuk mengacaukan perspesi masyarakat tentang situasi terkini, tetapi juga upaya untuk mengeskalasi atau memperlebar persoalan."
Dia menekankan bahwa persoalan tersebut harus diseriusi oleh negara. Jangan sampai pelaku penyebaran informasi sesat itu dibiarkan coba-coba merangsek ke wilayah privat dan lainnya, yang bisa mengacaukan pola dan sistem kenegaraan.
"Dalam konteks keamanan, kredibilitas dan urgensi rahasia negara, beberapa hoax itu mestinya dikategorikan sebagai masalah yang sensitif, karena bertujuan merusak kredibilitas lembaga negara," ulasnya.
"Aparat harus memberi hukuman berat kepada para pelakunya, karena penyebaran informasi sesat berpotensi menimbulkan kekacauan serta kerugian bagi negara dan masyarakat." (beritasatu)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »