KITA sudah melihat keras dan panasnya sidang Jessica. Maka tidak asing lagi, sepatutnya dimaklumi siapapun yang diperiksa di depan sidang termasuk sidang Ahok, baik saksi atau ahli merasa haknya diperkosa dan ditanyai laksana terdakwa.
HAL DEMIKIAN TERJADI DALAM SEMUA SIDANG PIDANA SEHINGGA JANGAN HERAN ATAU DIBUAT-Buat HERAN.
Keadaan ini pula yang membuat orang sering enggan menjadi saksi atau ahli sehingga kadang kala menyulitkan pencarian kebenaran dalam suatu perkara.
Sebenarnya hal itu tidak bisa dihindari sehingga menjadi budaya persidangan, sudah merupakan pakem.
Keadaan seperti itu bukan hanya terjadi di Indonesia, juga terjadi di AS dan Inggris, bahkan lebih keras lagi dari yang terjadi di Indonesia.
Karena fungsi cross examination adalah mengejar kebenaran materil dan mencoba dengan berbagai cara untuk menguji apakah keterangan saksi atau ahli sudah diberikan dengan benar.
Saya sendiri dengan 37 tahun pengalaman beracara juga merasakan hal itu cukup melelahkan tetapi manusiawi saja, dan saya tidak melihat cara lain untuk mendapatkan keterangan yang benar dan teruji. Karena saksi/ahli itu selalu terindikasi berpihak.
Misalnya saksi yang diajukan Jaksa akan berpihak ke Jaksa. Saksi yang diajukan Advocat berpihak pada Terdakwa.
Giliran saksi Jaksa memberi keterangan akan didalami oleh Advocat... nanti giliran saksi dari Advocat, akan dikejar habis-habisan oleh Jaksa.
Karena itulah Hakim harus netral.
Sepanjang hakim melihat proses persidangan berjalan dalam koridor yang wajar sehingga sidang berlanjut. Kalau ada hal yang tidak benar maka ketua majelis akan mengambil alih pertanyaan jaksa atau advocat, bahkan kalau tidak tertib hakim akan memperingatkan untuk mengusirnya dari persidangan. Karena ketertiban sidang itu adalah kewenangan Ketua Majelis. Selama persidangan Ahok Ketua Majelis tidak keberatan, semua protes di Medsos itu adalah sikap awam atau pura-pura awam demi politik.
Kalau ada indikasi tidak benar dari saksi maka secara naluri akan dikejar dengan pertanyaan sengit, baik dari hakim, jaksa atsu advocat. Itu hal biasa, tidak luar biasa.
Saya akan terus mengulangi pengalaman saya memeriksa saksi Jenderal (P) Wiranto, Jenderal (P) Faisal Tanjung, Mantan Menlu Alm. Ali Alatas, dalam kasus Pelanggaran HAM Berat Timor Timur tahun1999, dimana mereka adalah orang-orang terhormat, tetapi didepan persidangan mereka diperlakukan sama, bahkan panggilan terhadap mereka adalah saksi atau ahli, bukan Jenderal atau Pangab atau Menteri ; dan setiap pertanyaan selalu diawali dengan sebutan "sdr saksi" atau "sdr ahli", tidak menyebut bapak atau tuan atau yang mulia. Mereka semua di perlakukan sama baik oleh hakim, jaksa dan pengacara.
Itulah yang perlu dimaklumi, kalau cara itu dianggap salah, maka bubarlah pengadilan.
Nuansa politisasi sidang AHOK sangat terasa, apa saja terus bergulir walau sia-sia, saling menjatuhkan itulah PILKADA.
Kalau melihat dari segi positifnya, dinamika demikian baik saja untuk mengungkap kebenaran tetapi kalau dilihat dari segi belum matangnya demokrasi, kesadaran hukum dan kesadaran politik, ini berbahaya dan bisa menimbulkan salah pengertian, dan bisa dipakai menjadikan Indonesia menjadi suriah jilid dua.
Harapan saya, jangan ada pihak yang ingin membawa parameter budaya di luar sidang masuk ke dalam sidang.
Kalau itu yang terjadi, sebelum sidang , maka hakim, jaksa dan pengacara wajib berdiri menunggu "yang terhormat saksi atau ahli", lalu mencium tangannya.
Akhirnya bisa menciptakan suasana bagi hakim, jaksa dan advocat takut untuk bertanya. Hal demikian tidak sehat sama sekali jika terjadi di dalam persidangan yang mengejar kebenaran materil.
Agar efektif dan bermanfaat ; publik perlu memahami tanpa emosi, bahwa keadaan sekarang ini, semua fihak menggunakan segala hal untuk saling menjatuhkan dalam PiIKADA DKI. Kita sadarilah itu hanya sekedar alat dan cara demi tujuan politik, jangan dibawa dalam perasaan.
Indonesia tetaplah bersatu.
Yang mau jadi Gubernur cuma 3 pasang. Kita tidak ikut nyalon coool saja.
Sebarkanlah kalau anda setuju, agar banyak yang lepas dari sesat.
Sumber: Akun Facebook Palmer Situmorang
HAL DEMIKIAN TERJADI DALAM SEMUA SIDANG PIDANA SEHINGGA JANGAN HERAN ATAU DIBUAT-Buat HERAN.
Keadaan ini pula yang membuat orang sering enggan menjadi saksi atau ahli sehingga kadang kala menyulitkan pencarian kebenaran dalam suatu perkara.
Sebenarnya hal itu tidak bisa dihindari sehingga menjadi budaya persidangan, sudah merupakan pakem.
Keadaan seperti itu bukan hanya terjadi di Indonesia, juga terjadi di AS dan Inggris, bahkan lebih keras lagi dari yang terjadi di Indonesia.
Karena fungsi cross examination adalah mengejar kebenaran materil dan mencoba dengan berbagai cara untuk menguji apakah keterangan saksi atau ahli sudah diberikan dengan benar.
Saya sendiri dengan 37 tahun pengalaman beracara juga merasakan hal itu cukup melelahkan tetapi manusiawi saja, dan saya tidak melihat cara lain untuk mendapatkan keterangan yang benar dan teruji. Karena saksi/ahli itu selalu terindikasi berpihak.
Misalnya saksi yang diajukan Jaksa akan berpihak ke Jaksa. Saksi yang diajukan Advocat berpihak pada Terdakwa.
Giliran saksi Jaksa memberi keterangan akan didalami oleh Advocat... nanti giliran saksi dari Advocat, akan dikejar habis-habisan oleh Jaksa.
Karena itulah Hakim harus netral.
Sepanjang hakim melihat proses persidangan berjalan dalam koridor yang wajar sehingga sidang berlanjut. Kalau ada hal yang tidak benar maka ketua majelis akan mengambil alih pertanyaan jaksa atau advocat, bahkan kalau tidak tertib hakim akan memperingatkan untuk mengusirnya dari persidangan. Karena ketertiban sidang itu adalah kewenangan Ketua Majelis. Selama persidangan Ahok Ketua Majelis tidak keberatan, semua protes di Medsos itu adalah sikap awam atau pura-pura awam demi politik.
Kalau ada indikasi tidak benar dari saksi maka secara naluri akan dikejar dengan pertanyaan sengit, baik dari hakim, jaksa atsu advocat. Itu hal biasa, tidak luar biasa.
Saya akan terus mengulangi pengalaman saya memeriksa saksi Jenderal (P) Wiranto, Jenderal (P) Faisal Tanjung, Mantan Menlu Alm. Ali Alatas, dalam kasus Pelanggaran HAM Berat Timor Timur tahun1999, dimana mereka adalah orang-orang terhormat, tetapi didepan persidangan mereka diperlakukan sama, bahkan panggilan terhadap mereka adalah saksi atau ahli, bukan Jenderal atau Pangab atau Menteri ; dan setiap pertanyaan selalu diawali dengan sebutan "sdr saksi" atau "sdr ahli", tidak menyebut bapak atau tuan atau yang mulia. Mereka semua di perlakukan sama baik oleh hakim, jaksa dan pengacara.
Itulah yang perlu dimaklumi, kalau cara itu dianggap salah, maka bubarlah pengadilan.
Nuansa politisasi sidang AHOK sangat terasa, apa saja terus bergulir walau sia-sia, saling menjatuhkan itulah PILKADA.
Kalau melihat dari segi positifnya, dinamika demikian baik saja untuk mengungkap kebenaran tetapi kalau dilihat dari segi belum matangnya demokrasi, kesadaran hukum dan kesadaran politik, ini berbahaya dan bisa menimbulkan salah pengertian, dan bisa dipakai menjadikan Indonesia menjadi suriah jilid dua.
Harapan saya, jangan ada pihak yang ingin membawa parameter budaya di luar sidang masuk ke dalam sidang.
Kalau itu yang terjadi, sebelum sidang , maka hakim, jaksa dan pengacara wajib berdiri menunggu "yang terhormat saksi atau ahli", lalu mencium tangannya.
Akhirnya bisa menciptakan suasana bagi hakim, jaksa dan advocat takut untuk bertanya. Hal demikian tidak sehat sama sekali jika terjadi di dalam persidangan yang mengejar kebenaran materil.
Agar efektif dan bermanfaat ; publik perlu memahami tanpa emosi, bahwa keadaan sekarang ini, semua fihak menggunakan segala hal untuk saling menjatuhkan dalam PiIKADA DKI. Kita sadarilah itu hanya sekedar alat dan cara demi tujuan politik, jangan dibawa dalam perasaan.
Indonesia tetaplah bersatu.
Yang mau jadi Gubernur cuma 3 pasang. Kita tidak ikut nyalon coool saja.
Sebarkanlah kalau anda setuju, agar banyak yang lepas dari sesat.
Sumber: Akun Facebook Palmer Situmorang
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »