Dugaan Suap Pejabat Pajak, KPK Tengah Bekerja Buktikan Peran Adik Ipar Jokowi

Dugaan Suap Pejabat Pajak, KPK Tengah Bekerja Buktikan Peran Adik Ipar Jokowi
BENTENGSUMBAR.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah bekerja untuk membuktikan peran Arif Budi Sulistyo dalam perkara dugaan suap kepada pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Arif merupakan Direktur Operasional PT Rakabu Sejahtera sekaligus adik ipar Presiden Joko Widodo.

"KPK akan buktikan tiga hal. Pertama, Arif Budi Sulistyo diduga mitra bisnis terdakwa. Ia diduga mengenal pejabat-pejabat di DJP. Kami akan buktikan ini," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, di kantornya, Selasa, 14 Februari 2017.

Nama Arif muncul dalam surat dakwaan Ramapanicker Rajamohan Nair, Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia. Ia didakwa menyuap Handang Soekarno, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, sebesar Rp 1,9 miliar. Suap itu diduga diberikan agar Handang membantu menyelesaikan sejumlah permasalahan pajak yang dihadapi PT EKP.

PT EKP yang terdaftar sebagai wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Kalibata (KPP PMA Enam) tercatat memiliki sejumlah permasalahan pajak pada kurun 2015-2016. Di antaranya adalah pengajuan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), surat tagihan pajak pertambahan nilai, penolakan pengampunan pajak, pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak, dan pemeriksaan bukti permulaan.

Dalam upaya menyelesaikan beragam masalah itu, Rajamohan meminta bantuan sejumlah orang Dirjen Pajak. Di antaranya adalah Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta, khususnya Muhammad Haniv.

Tak disebutkan dalam dakwaan bagaimana komunikasi antara Rajamohan dan Arif, pada 22 September 2016, Haniv bertemu Handang untuk menyampaikan bahwa Arif ingin bertemu Ken Dwijugiasteadi, Dirjen Pajak. Pertemuan itu pun terealisasi keesokan harinya.

KPK Akui Tak Jadikan Arif Saksi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diam-diam pernah memeriksa pihak swasta bernama Arif Budi Sulistyo dalam kasus dugaan suap penghapusan pajak PT Eka Prima Ekspor Indonesia.

Arif yang merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo itu diperiksa pada pertengahan Januari 2017 lalu.

Jurubicara KPK Febri Diansyah mengakui pihaknya tak memasukkan nama Arif dalam jadwal pemeriksaan saksi-saksi dalam penanganan perkara kasus dugaan suap penghapusan pajak lantaran strategi penyidik.

Menurut Febri, penyidik memiliki kepentingan untuk tidak memasukkan nama saksi Arif agar bisa merampungkan berkas pemeriksaan PT EKP Ramapanicker Rajamohanan Nair ke kursi pesakitan.

"Strategi penyidikan agar penyidik fokus substansi penanganan perkara dan sampai bisa menyusun dakwaan untuk tersangka yang jadi terdakwa," ungkapnya di Kantornya, jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (14/2).

Lebih lanjut Febri membantah bahwa tidak dimasukkan nama Arif dalam jadwal pemeriksaan merupakan kepentingan politik pemerintahan Jokowi.

Febri kembali menegaskan, tidak masuknya nama Arif dijadwal pemeriksaan demi kepentingan penyidikan.

Sebelumnya dalam surat dakwaan bos PT EKP Ramapanicker Rajamohanan Nair muncul nama Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi dan Arif Budi Sulistyo.

Keduanya disinyalir turut berandil dalam kasus dugaan suap terkait penghapusan pajak PT Eka Prima Ekspor Indonesia senilai puluhan miliar rupiah.

Dalam surat dakwaan jaksa, terungkap bahwa Ken dan Arif pernah melakukan pertemuan di Kantor Ditjen Pajak pada 23 September 2016.

Pertemuan itu sendiri datang dari Arif yang disampaikan kepada Handang melalui temannya sekaligus Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Muhammad Hanif. Handang kemudian mengabulkan permintaan Arif yang juga kenal dengan Rajamohanan.

"Pada tanggal 22 September 2016, Muhammad Haniv bertemu dengan Handang Soekarno kemudian Muhammad Haniv menyampaikan keinginan Arif Budi Sulistyo supaya dipertemukan dengan Ken Dwijugiasteadi selaku Direktur Jenderal Pajak. 

Keesokan harinya tanggal 23 September 2016 Handang Soekarno mempertemukan Arif Budi Sulistyo dengan Ken Dwijugiasteadi di Lantai 5 Gedung Dirjen Pajak," ungkap jaksa KPK saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (13/2).

Pertemuan itu berbuntut keputusan yang menguntungkan perusahaan Rajamohanan. Yakni, penghapusan tunggakan kewajiban pajak PT Eka Prima Ekspor Indonesia senilai Rp 52,3 miliar untuk masa pajak Desember 2014, dan Rp 26,4 miliar untuk masa pajak Desember 2015.

Selanjutnya Muhammad Haniv selaku Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Nomor: KEP- 07997/NKEP/WPJ.07/2016 tertanggal 2 November 2016 tentang Pembatalan Surat Tagihan Pajak Nomor: 00270/107/14/059/16 tanggal 06 September 2016 masa pajak Desember 2014 atas nama Wajib Pajak PT EKP

Ia juga menerbitkan Surat Keputusan Nomor:KEP-08022/NKEP/WPJ.07/2016 tertanggal 3 November 2016 tentang Pembatalan Surat Tagihan Pajak Nomor : 00389/107/14/059/16 tanggal 06 September 2016 masa pajak Desember 2015 atas nama Wajib Pajak PT EKP, yang mana kedua surat keputusan tersebut
diterima terdakwa pada tanggal 7 November 2016.

Sebelum diterbitkannya surat keputusan itu, perusahaan Rajamohanan yang terafiliasi dalam Lulu Group itu memang menghadapi persoalan pajak. Diantaranya terkait restitusi pajak sebesar Rp 3,5 miliar pada periode Januari 2012-Desember 2014.

Kemudian permohonan atas restitusi itu diajukan pada 26 Agustus 2015 ke KPP PMA Enam. Akan tetapi, permohonan restitusi itu ditolak lantaran PT EKP ternyata memiliki tunggakan pajak sebesar Rp 52,3 miliar untuk masa pajak Desember 2014 dan Rp 26,4 miliar untuk masa pajak Desember 2015. 

Tunggakan itu sebagaimana tercantum dalam surat tagihan pajak dan pertambahan nilai (STP PPN) tanggal 6 September 2016.

Selain itu, KPP PMA Enam juga mengeluarkan surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) PT EKP. Dasar pencabut itu ditenggarai lantaran PT EKP tidak menggunakan PKP sesuai ketentuan.

"Sehingga ada indikasi restitusi yang diajukan tidak sebagaimana semestinya," ujar jaksa.

Atas persoalan itu, Rajamohanan lantas meminta bantuan Muhammad Haniv selaku Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus agar membatalkan tunggakan STP PPN tersebut. Kepada Rajamohanan, Haniv menyarankan agar PT EKP membuat surat pengaktifan PKP ke KPP PMA Enam.

Setelah pertemuan di Lantai 5 Gedung Ditjen Pajak itu, Haniv memerintahkan Kepala KPP PMA Enam Johnny Sirait agar membatalkan surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) PT EKP. Diduga, titah tersebut  merupakan arahan dari Ken.

Terkait upaya penghapusan pajak PT EKP,  Rajamohanan menjanjikan Handang uang senilai Rp 6 miliar. Namun, saat baru terjadi penyerahan pertama sebesar Rp 1,9 miliar yang kemudian ditukarkan menjadi 148.500 dolar AS, Handang dan Rajamohanan ditangkap oleh petugas KPK.

Jaksa menyebut, pemberian uang sebesar Rp 6 miliar itu tidak hanya untuk Handang. Sebagian uang, kata jaksa, diperuntukan buat Muhammad Haniv.

"Terdakwa menegaskan bahwa uang yang akan diserahkan terdakwa sebesar Rp 6 miliar, sudah termasuk untuk Muhammad Haniv," tandas jaksa. (tempo/rmol)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »