Sasaran yang empuk tempat mereka "menjual janji" adalah organisasi paguyuban pemuda, ormas, majelis taklim, dan RT/RW. Mereka masuk ke simpul-simpul tersebut, tak hanya mensosialisasikan diri, namun juga terkadang melakukan pembunuhan karakter terhadap figur lain yang juga berminat terhadap kursi "empuk" tersebut.
Merayu masyarakat tak hanya dengan "menjual janji" dan pembunuhan karakter itu saja, tapi juga dengan "berpura-pura" dermawan, merakyat, suka membantu dan segala macamnya. Padahal, selama ini mereka dikenal membuat jarak dengan wong cilik. Dalam politik, hal-hal tersebut biasa dilakukan.
Bagi sebagian kecil kalangan masyarakat, janji dan bantuan itu dianggap angin sorga yang akan membawa perubahan nasib bagi mereka. Minimal untuk sesaat, sekedar mengganjal perut yang lapar. Terutama bagi kalangan yang merasa kecewa berat dengan kepemimpinan yang ada selama ini dan ingin menggantinya dengan yang baru.
Apatah lagi, janji itu diberikan oleh orang-orang yang sok suci dan bersih. Sok agamis dan sudah mengkapling sorganya Tuhan. Tentu sebagian masyarakat yang "fanatik" buta ini menjadi terbuai. Apatah lagi, jika dibakar dengan isu SARA, luapan "kefanatikan" mereka tak terbendung, ibarat air bah yang siap menghancurkan penghalang tujuan yang ingin mereka capai.
Masyarakat yang dibuai angin surga ini lupa, apakah calon yang mencoba merayu mereka ini benar-benar pro rakyat atau tidak? Atau hanya mendekati rakyat menjelang pelaksanaan kepala daerah saja? Apakah calon yang "menjual janji" itu selama ini dikenal sebagai orang yang gemar membantu atau hanya "pura-pura" membantu karena suatu kepentingan belaka?
Di alam demokrasi Pancasila yang bebas saat ini, sebenarnya sebagian masyarakat sudah cerdas dalam menentukan pilihan. Sebelum pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) dihelat, masyarakat yang sadar politik ini sudah menentukan figur yang akan mereka dukung dengan mempelajari rekam jejak mereka selama ini.
Pemilih cerdas tak mudah terbuai janji dan bantuan sesaat. Pemilih cerdas lebih cenderung melihat kepada bukti, bukan janji. Apatah lagi, calon yang datang adalah "garong" yang selama ini kerap menipu rakyat dalam aktifitas bisnis mereka. Bahkan, mungkin calon yang datang itu memiliki rekam jejak sebagai koruptor dengan berbagai modus.
Rekam jejak seorang calon pemimpin itu sangat menentukan dalam menentukan pilihan bagi pemilih cerdas. Cacat sedikit saja menjadi pertimbangan. Pemilih cerdas hanya akan menjatuhkan pilihan kepada calon pemimpin yang betul-betul telah terbukti berbuat kepada masyarakat dan kota ini.
Kenapa Ahok-Djarot mendapat dukungan besar dari warga DKI? Padahal, isu penistaan agama yang dialamatkan ke Ahok menuai protes se antero negeri, bahkan katanya umat Islam internasional ikut melayangkan protes. Karena mereka telah memberikan bukti, bukan janjii.
Beberapa teman yang kerap bolak balik ke Jakarta dalam melaksanakan tugas sebagai abdi negara, mengakui lekat tangan Ahok-Djarot ini, walau mereka menyayangkan tingkah laku Ahok yang dianggap menistakan al Quran, ulama, dan umat Islam. Tapi di hati kecil mereka, sebagaimana mereka ungkapkan kepada penulis, Ahok betul-betul telah merubah wajah ibukota. Terutama dalam penanganan banjir yang kerap menghantui warga DKI.
Demikian juga untuk Kota Padang. Walau pesta demokrasi Pilkada baru akan dihelat pada Juni 2018, tapi figur yang muncul ke permukaan sudah mulai kelihatan. Pendatang baru sudah mulai tebar pesona ke tengah-tengah masyarakat dengan janji-janji manis akan melakukan perubahan bagi kota ini dan membawa kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Tapi mereka lupa, kalau Mahyeldi-Emzalmi telah memberi bukti, bukan jani. Perubahan besar telah dilakukan kedua pemimpin Kota Padang. Harus diakui, kepemimpinan mereka dianggap ideal oleh sebagian kalangan di kota ini, saling isi mengisi, saling menutupi kelemahan masing-masing.
Meminjam istilah teman, "Emzalmi konseptornya, Mahyeldi eksekutornya." Pembangunan berjalan dengan lancar tanpa hambatan yang berarti. Perubahan besar yang dilakukan kedua pemimpin ini adalah dalam menata Pantai Padang, Pasar Raya Padang, pembebasan Alai-Bypass, pelebaran jalur II Bypass, dan menjaga kebersihan kota.
Pekerjaan-pekerjaan besar itu mampu dilakukan kedua orang pimpinan kota ini, tanpa ada hambatan yang berarti. Padahal. menurut sebagian kalangan, terutama elit politik, mustahil hal itu dapat dilakukan dengan mudah pada periode pertama kepemimpinan mereka. Tapi, buktinya Mahyeldi-Emzalmi mampu melakukan perubahan besar itu.
Saat ini, Wakil Walikota Padang, Emzalmi Zaini bersama-sama dinas teknis terkait, sedang merancang penangan banjir di kota ini dengan melakukan perbaikan drainase kota yang terintegrasi. Drainase kota ini kembali ditata ulang, dan DED-nya sedang dirancang oleh Balai Sungai Sumatera Wilayah V.
Jika rampung, dan pekerjaan fisiknya selesai dikerjakan, maka persoalan banjir di kota ini segera teratasi. Tentu, dalam merampungkannya butuh uluran tangan pemerintah pusat dengan gelontoran dana miliaran rupiah. Sebab, kemampuan keuangan Kota Padang tak mendukung untuk itu.
Untuk menggait gelontoran dana pusat itu, maka Mahyeldi eksekutornya. Apatah lagi, posisi Mahyeldi sebagai salah seorang anggota Dewan Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tentu memiliki jaringan yang kuat di pusat, terutama di DPR RI. Dan tentunya, Fraksi PKS di DPR RI memberikan perhatian besar untuk itu. Sebab, bagi mereka, gagal Mahyeldi, berarti PKS gagal di Kota Padang.
Wallahu'alam bishawab.
Ditulis Oleh:
Zamri Yahya
Wakil Ketua Forum Komunikasi Anak Nagari (FKAN) Pauh IX Kota Padang.
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »