LBH Jakarta Sebut Ahok Korban Pasal Penodaan Agama, Ini Penjelasannya

LBH Jakarta: Ahok Korban Pasal Penodaan Agama
BENTENGSUMBAR.COM - Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa menyatakan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah menjadi korban dari penggunaan pasal antidemokrasi, yakni Pasal 156a KUHP (pasal penodaan agama) di masa-masa penyelenggaraan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta yang seharusnya demokratis. Oleh karena itu, dalam siaran pers pada Sabtu, 15 April 2017, LBH Jakarta meluncurkan Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) dalam kasus tuduhan penodaan agama terhadap Ahok. 

Menurut Alghiffari Aqsa penggunaan pasal penodaan agama terhadap Ahok merupakan sebuah ironi, karena sampai saat ini DPR dan pemerintah belum menaati rekomendasi dari putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materiel (judicial review) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (PNPS 65) yang menjadi dasar lahirnya Pasal 156a tentang penodaan agama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Majelis hakim MK pada putusannya mengamini bahwa terdapat permasalahan dalam UU tersebut dan perlunya revisi terhadap UU Penodaan Agama," demikian siaran pers LBH Jakarta.

Dikatakan, pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 sama sekali tidak masuk ke dalam tafsir agama. Ahok justru mengkritik subjek hukum (orang) atau para pihak yang menggunakan ayat-ayat agama (Alquran) untuk menipu pubilk dalam kegiatan politik. Pernyataan Ahok tersebut pun tidak memenuhi iktikad buruk/evil mind/mens rea yang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP. Pernyataan Ahok dalam hal ini dilindungi oleh kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin Pasal 28E UUD 1945, UU Nomor 9 Tahun 1998, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Penyebarluasan tafsir negatif di media sosial atas pernyataan Ahok tersebutlah yang sesungguhnya menimbulkan keresahan di masyarakat. Ada pihak ketiga yang memaknai pernyataan Ahok, di mana pihak ketiga ini sendiri tidak mendengar, menyaksikan, mengetahui, serta mengalami langsung saat Ahok menyampaikan pernyataan tersebut. Hal tersebut kemudian memunculkan gerakan massa 411, 212 dan 313, yang dilegitimasi oleh pendapat salah satu ormas Islam dengan dikeluarkannya fatwa MUI bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama.

Tekanan massa dan penggunaan fatwa MUI yang dijadikan dasar proses peradilan pidana Ahok dengan pasal penodaan agama, menurut LBH Jakarta, merupakan tindakan yang merusak negara demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi penegakan hukum (supremacy of law).

Perilaku sesat berdemokrasi dan pelecehan hukum seperti itu sepanjang sejarah memang selalu terjadi dalam penggunaan pasal penodaan agama sejak hari dilahirkannya kebijakan tersebut. Mulai dari penguasa sampai masyarakat awam, tak lepas dari jerat pasal tersebut. Kriminalisasi menggunakan pasal penodaan agama justru meruntuhkan tatanan penegakan hukum, demokrasi, dan kebinekaan di Indonesia.

“Di atas segalanya LBH Jakarta sangat menyayangkan keberadaan dan penggunaan kebijakan antidemokrasi dan inkonstitusional di iklim demokrasi Indonesia hari ini, terlebih di proses pilkada Kota DKI Jakarta,” ujar Yunita, Kadiv Advokasi LBH Jakarta.

LBH Jakarta sudah sejak lama mengkritisi keberadaan kebijakan tersebut, namun pemerintah dan DPR bergeming untuk menyelesaikannya.

Dalam siaran pers tersebut, LBH Jakarta menyampaikan empat rekomendasi kepada majelis hakim perkara Ahok:

1) Agar Majelis Hakim pada perkara 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam memutus perkara a quo, terutama yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagaimana dijamin di dalam konstitusi, yaitu Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28E Ayat (1) dan (3), Pasal 28I Ayat (2), dan Pasal 28 D UUD 1945.

2) Agar Majelis Hakim menerapkan Pasal 156a KUHP sebagai delik materiil, dan oleh karenanya mens rea untuk memenuhi unsur huruf b Pasal 156a KUHP yang tidak diuraikan oleh JPU dalam dakwaannya tidaklah terpenuhi.

3) Agar Majelis Hakim dapat menerapkan hukum yang kontekstual dan sejalan dengan produk-produk peradilan yang ada sebelumnya, seperti dengan mengacu pada: (1) putusan MK No. 84/PUU-X/2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB 3 Menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan tersebut sebelum menerapkan pasal dengan sanksi pidana; dan (2) menerapkan asas lex posterior derogat legi priori, sehingga tidak serta merta menerapkan Pasal 156a KUHP yang jelas bertentangan dengan konstitusi, UU 9/1998, UU 39/1999, dan UU 12/2005.

4) Agar Majelis Hakim menerapkan asas legalitas dalam wujud lex certa, sehingga penggunaan Pasal 156a KUHP, khususnya pada unsur “mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dapat dihindari karena terlampau multitafsir.

(Sumber: BeritaSatu.com)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »