Hakim Dinilai Langgar Asas Non-Ultra Petita dalam Perkara Ahok

Hakim Dinilai Langgar Asas Non-Ultra Petita dalam Perkara Ahok
BENTENGSUMBAR.COM - Kuasa Hukum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Edi Danggur menilai, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara melanggar asas non-ultra petita. Asas ini menegaskan bahwa seorang hakim dilarang memutuskan suatu perkara yang tidak dituntut oleh jaksa dalam surat tuntutan (requisitoir).

"Ada prinsip penegakan hukum yang universal, yaitu judicis est ius dicare, non dare. Artinya, tugas seorang hakim adalah menerapkan hukum. Oleh karena itu, seorang hakim harus taat pada ketentuan hukum yang sudah ada. Maka dengan putusannya, seorang hakim tidak boleh menciptakan hukum baru yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang sudah ada," ujar Edi di Jakarta, Kamis, 11 Mei 2017.

Edi menjelaskan, letak ultra petita-nya putusan hakim PN Jakarta Utara yakni pertama, dalam surat tuntutan yang dibacakan tanggal 20 April 2017, jaksa menegaskan bahwa setelah mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa, terbukti, unsur-unsur tindak pidana penistaan agama (Vide Pasal 156 a huruf a KUHP) tidak terpenuhi.

"Akibatnya, Pasal 156 a huruf a KUHP didrop atau dikeluarkan dari tuntutan jaksa terhadap Ahok. Maka Ahok pun hanya dituntut dengan pasal alternatif lainnya yaitu Pasal 156 KUHP yang menyebutkan penghinaan terhadap satu golongan rakyat Indonesia," tandas dia.

Dengan demikian, kata Edi, majelis hakim hanya terikat untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara ini sesuai dengan apa yang menjadi pokok masalah antara jaksa dan terdakwa yaitu dugaan penghinaan terhadap satu golongan rakyat Indonesia atau secundum allegata iudicare.

"Kenyataannya, majelis hakim tetap ngotot menghukum Ahok dengan Pasal 156 huruf a KUHP yang sudah dikeluarkan dari surat tuntutan atau melampaui surat tuntutan, itulah yang disebut ultra petita," katanya.

Kedua, lanjut Edi, dalam surat tuntutan (requisitoir), jaksa hanya menuntut Ahok dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dengan masa percobaan 2 (dua) tahun. Jika majelis tunduk dan taat pada prinsip penegakan hukum universal, yakni non-ultra petita dan secundum allegata iuducare tersebut, maka Ahok hanya bisa dijatuhi hukuman yang lebih rendah atau setinggi-tingginya sama dengan tuntutan jaksa tersebut.

"Lalu, mengapa majelis hakim berani melanggar prinsip-prinsip penegakan hukum yang universal itu? Diperkirakan karena majelis hakim terintimidasi oleh tekanan demo dari sekelompok masyarakat tertentu yang menghendaki Ahok harus dihukum. Akibatnya, majelis hakim menghakimi sesuatu yang tidak mereka ketahui atau apa kesalahan Ahok sesungguhnya," terang dia.

Lebih lanjut, Edi mengatakan bahwa perkara Ahok hendaknya menjadi pelajaran hakim-hakim lainnya. Masyarakat mempercayai hakim, menurut dia, karena keahlian dan pengalaman mereka di bidang hukum.

"Kita harapkan para hakim fokus memperhatikan berkas-berkas perkara dan fakta-fakta persidangan, sedangkan masalah-masalah di luar itu, jangan diperhatikan. Demo dan tekanan massa jangan dihiraukan. Ini juga ditujukan kepada hakim-hakim di tingkat banding untuk menjaga independensi dan jangan tunduk pada tekanan massa," pungkas dia.

(buya/beritasatu)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »