SETIAP tahun peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di gelar. Dan hampir dipastikan, anugerah orang Minang yang satu ini selalu diserahkan pada puncak peringatan HPN ini. Anugerah tersebut menjadi penghargaan bergengsi dan selalu menjadi incaran.
Masih banyak agaknya orang yang tidak tahu, kenapa anugerah orang Minang satu ini selalu menjadi incaran. Ketidaktahuan itu karena buta sejarah. Mereka tak paham sejarah pers Indonesia, bahkan sebagian orang yang mengaku jurnalis sekali pun.
Anugerah yang dimaksud adalah Anugerah Jurnalistik Adinegoro. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat setiap tahunnya menyelenggarakan Anugerah Jurnalistik Adinegoro yang merupakan penghargaan tertinggi untuk karya jurnalistik Indonesia.
Lantas apa hubungannya dengan orang Minang? Ya, tentu saja ada hubungannya. Sebab, Adinegoro yang memiliki nama kecil Djamaluddin merupakan orang Minang asli.
Djamaluddin Adinegoro putra Minang yang lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904 dan meninggal di Jakarta, 8 Januari 1967 pada umur 62 tahun. Ia merupakan sastrawan dan wartawan kawakan Indonesia.
Djamaluddin Adinegoro berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930).
Secara adat, Djamaluddin bergelar Datuk Maradjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan dan pejuang Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu.
Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri bernama Alidas yang berasal dari Sulit Air, X Koto Di atas, Solok, Sumatera Barat.
Djamaluddin terpaksa memakai nama samaran Adinegoro untuk menulis ketika bersekolah di STOVIA. Jika tidak, ia tidak diperbolehkan menulis.
Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat tinggi. Maka digunakan nama samaran Adinegoro tersebut sebagai identitasnya yang baru.
Ia pun bisa menyalurkan keinginannya untuk mempublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah Djamaluddin gelar Maradjo Sutan. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin.
Sekarang pahamkan, kenapa Anugerah Datuk Maradjo Sutan selalu jadi incaran? Tepatnya, Anugerah Jurnalistik Adinegoro yang digelar setiap tahunnya oleh PWI.
Ditulis Oleh:
Zamri Yahya, SHI
Wartawan Utama Dewan Pers
Masih banyak agaknya orang yang tidak tahu, kenapa anugerah orang Minang satu ini selalu menjadi incaran. Ketidaktahuan itu karena buta sejarah. Mereka tak paham sejarah pers Indonesia, bahkan sebagian orang yang mengaku jurnalis sekali pun.
Anugerah yang dimaksud adalah Anugerah Jurnalistik Adinegoro. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat setiap tahunnya menyelenggarakan Anugerah Jurnalistik Adinegoro yang merupakan penghargaan tertinggi untuk karya jurnalistik Indonesia.
Lantas apa hubungannya dengan orang Minang? Ya, tentu saja ada hubungannya. Sebab, Adinegoro yang memiliki nama kecil Djamaluddin merupakan orang Minang asli.
Djamaluddin Adinegoro putra Minang yang lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904 dan meninggal di Jakarta, 8 Januari 1967 pada umur 62 tahun. Ia merupakan sastrawan dan wartawan kawakan Indonesia.
Djamaluddin Adinegoro berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930).
Secara adat, Djamaluddin bergelar Datuk Maradjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan dan pejuang Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu.
Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri bernama Alidas yang berasal dari Sulit Air, X Koto Di atas, Solok, Sumatera Barat.
Djamaluddin terpaksa memakai nama samaran Adinegoro untuk menulis ketika bersekolah di STOVIA. Jika tidak, ia tidak diperbolehkan menulis.
Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat tinggi. Maka digunakan nama samaran Adinegoro tersebut sebagai identitasnya yang baru.
Ia pun bisa menyalurkan keinginannya untuk mempublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah Djamaluddin gelar Maradjo Sutan. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin.
Sekarang pahamkan, kenapa Anugerah Datuk Maradjo Sutan selalu jadi incaran? Tepatnya, Anugerah Jurnalistik Adinegoro yang digelar setiap tahunnya oleh PWI.
Ditulis Oleh:
Zamri Yahya, SHI
Wartawan Utama Dewan Pers
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »