Tuan Guru Bajang Akhirnya Jelaskan Makna Kafir Menurut Ulama, Beri Contoh di Kota Suci Mekkah

Tuan Guru Bajang Akhirnya Jelaskan Makna Kafir Menurut Ulama, Beri Contoh di Kota Suci Mekkah
BENTENGSUMBAR. COM - TGB Muhammad Zainul Majdi akhirnya memberikan penjelasan tentang makna kata kafir dalam ajaran Islam. TGB Zainul Majid memberikan contoh langsung di Kota Suci Mekkah, Arab Saudi.

Kata kafir kembali ramai jadi pembicaraan sejumlah tokoh.

Bahkan Calon Wakil Presiden atau Cawapres 02 KH Maruf Amin pun mengomentari kata kafir tersebut yang kini ramai jadi #katakafir.

Komentar Cawapres 02 KH Maruf Amin terkait kata kafir menyebutkan, dirinya setuju rekomendasi Nahfdlatul Ulama atau NU yang meminta tidak menggunakan kata ini untuk non-Muslim.

“Ya mungkin supaya kita menjaga keutuhan, sehingga tidak menggunakan kata-kata yang seperti menjauhkan, mendeskriminasikan gitu,” ujar Maruf Amin di kediamannya Menteng, Jakarta Pusat.

Komentar terkait #katakafir juga dikemukakan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah melalui akun twitternya.

Bahkan Fahri Hamzah mencuit beberapa kali untuk menjelaskan makna dan maksud #katakafir tersebut.

"Saya ulang lagi, #KataKafir itu gak ada dalam konstitusi dan UU, itu ada dalam kitab suci agama...gak akan gangguin sampeyan...," ujar Fahri Hamzah untuk menanggapi pertanyaan netizen (warganet).

Untuk menjelaskan kata tersebut, ulama yang juga Gubernur Nusa Tenggara Barat dua periode, Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi menjelaskan secara lengkap.

Penjelasan TGB Muhammad Zainul Majdi mengenai arti kafir atau makna kafir melalui kaun instagramnya, Minggu, 3 Maret 2019 sekitar 10 jam lalu.

Menurut Zainul Majdi, dalam hal akidah, berdasarkan kesepakatan para ulama, kata kafir berlaku untuk siapa pun yang tidak percaya dan ingkar kepada Allah SWT dan rasul-Nya serta pokok-pokok syarat. 

Namun demikian, dalam hal muamalah, kata TGB,  "Rasul yang mulia mengajarkan umatnya untuk membangun hubungan saling menghormati dengan siapapun."

TGB Zainul Majdi pun sampai menunjukkan foto di Arab Saudi untuk menjelaskan penggunaan kata non-Muslim bukan kata kafir saat akan memasuki kota suci Mekkah, Arab Saudi.

Simak status lengkap TGB Zainul Majdi berikut ini:




• • Kesepakatan ulama, istilah kafir berlaku untuk siapapun yang tidak percaya dan ingkar pada ALLOH dan RasulNya serta pokok-pokok syariat. Ini dari sisi akidah. • Namun dalam muamalah, Rasul yang mulia mengajarkan umatnya untuk membangun hubungan saling menghormati dengan siapapun. Maka, saat hijrah, Rasul shallallahu alayhi wasallam menyepakati piagam bernegara bersama seluruh komponen di Madinah. Dalam piagam itu ada hak dan kewajiban yang sama. Kata kafir tidak digunakan dalam piagam itu untuk menyebut kelompok-kelompok Yahudi yang ikut dalam kesepakatan itu. Karena piagam Madinah bukan tentang prinsip akidah tapi tentang membangun ruang bersama untuk semua. • Sekarang kita hidup di negara-bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan salah satu bentuk persaudaraan yang wajib dijaga dengan sesungguh hati dan sekuat-kuatnya adalah persaudaraan sebangsa, ukhuwah wathaniyah. • Penyebutan kepada saudara sebangsa harus berpijak pada semangat persatuan dan persaudaraan. Maka menyebut orang yang beragama lain dengan sebutan non muslim tidak keliru dan bahkan lebih sesuai dengan semangat kita berbangsa. • Itu sebabnya, dalam beragam acara publik, saat seorang muslim memimpin doa dia mengawali dengan ucapan, "ijinkan saya membaca doa secara Islam dan bagi saudara yang non muslim agar menyesuaikan". Kalau kata non muslim diganti kafir tentu sangat tidak nyaman untuk saudara-saudara yang beragama selain Islam. • Foto diatas adalah penanda saat akan memasuki Tanah Suci Kota Mekkah. Disitu tertulis : ‎لغير المسلمين bukan للكافرين dan tertulis pula : " for non muslims " bukan " for disbelievers " atau " for kafir ". Bahkan di Arab Saudi pun, sebutan "non muslim" dipakai.
A post shared by Dr. TGB. Muhammad Zainul Majdi (@tuangurubajang) on


@tuangurubajang: Kesepakatan ulama, istilah kafir berlaku untuk siapapun yang tidak percaya dan ingkar pada ALLOH dan RasulNya serta pokok-pokok syariat. Ini dari sisi akidah. •

Namun dalam muamalah, Rasul yang mulia mengajarkan umatnya untuk membangun hubungan saling menghormati dengan siapapun.

Maka, saat hijrah, Rasul shallallahu alayhi wasallam menyepakati piagam bernegara bersama seluruh komponen di Madinah.

Dalam piagam itu ada hak dan kewajiban yang sama. Kata kafir tidak digunakan dalam piagam itu untuk menyebut kelompok-kelompok Yahudi yang ikut dalam kesepakatan itu.

Karena piagam Madinah bukan tentang prinsip akidah tapi tentang membangun ruang bersama untuk semua. 

Sekarang kita hidup di negara-bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dan salah satu bentuk persaudaraan yang wajib dijaga dengan sesungguh hati dan sekuat-kuatnya adalah persaudaraan sebangsa, ukhuwah wathaniyah. 

Penyebutan kepada saudara sebangsa harus berpijak pada semangat persatuan dan persaudaraan.

Maka menyebut orang yang beragama lain dengan sebutan non muslim tidak keliru dan bahkan lebih sesuai dengan semangat kita berbangsa.

Itu sebabnya, dalam beragam acara publik, saat seorang muslim memimpin doa dia mengawali dengan ucapan, "ijinkan saya membaca doa secara Islam dan bagi saudara yang non muslim agar menyesuaikan". Kalau kata non muslim diganti kafir tentu sangat tidak nyaman untuk saudara-saudara yang beragama selain Islam.

Foto diatas adalah penanda saat akan memasuki Tanah Suci Kota Mekkah. Disitu tertulis : ‎لغير المسلمين
bukan للكافرين

dan tertulis pula :
" for non muslims " bukan
" for disbelievers " atau " for kafir ". Bahkan di Arab Saudi pun, sebutan "non muslim" dipakai.

Komentar Cawapres 02 KH Maruf Amin

Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 01, KH. Ma’ruf Amin menanggapi rekomendasi Bahtsul Masail Maudluiyah Nahdlatul Ulama (NU) agar tidak menggunakan kata kafir bagi non-Muslim di Indonesia untuk menjaga keutuhan NKRI.

“Ya mungkin supaya kita menjaga keutuhan, sehingga tidak menggunakan kata-kata yang seperti menjauhkan, mendeskriminasikan gitu. Mungkin punya kesepatakan untuk tidak menggunakan istilah itu,” ujar Kiai Ma’ruf di kediamannya di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 2 Maret 2019.

Kiai Ma'euf seperti dberitakan Tribunnews.com mengaku tidak mengikuti langsung Bahtsul Masail tersebut lantaran saat itu dirinya tengah melakukan safari politik ke beberapa daerah di Jawa Barat.

“Saya sendiri tidak ikut sidangnya kan, karena terus mutar,” katanya.

Namun sebagai Mustayar PBNU, Ma’aruf Amin berharap jika ulama telah sepakat untuk tidak menggunakan istilah kafir bagi non muslim di Indonesia, berarti hal itu memang diperlukan untuk menjaga keutuhan bangsa.

“Kalau itu sudah disepakati ulama berarti ada hal yang diperlukan pada saat tertentu untuk menjaga keutuhan bangsa, istilah-istilah yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan itu untuk dihindari,” jelas Ma’ruf Amin.

Sebelumnya, Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj menyebutkan beberapa hasil Bahtsul Masail yang dinilai penting untuk diketahui masyarakat, terutama bagi warga Nahdliyin. Pertama, perihal istilah kafir.

Kiai Said mengatakan, berdasarkan hasil Bahtsul Matsail istilah kafir tak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa.

Sebab itu, tak ada istilah kafir bagi warga negara non-Muslim.

Dan sebab itu pula, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata konstitusi.

“Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Makkah untuk menyebut orang-orang penyembah berhala yang tidak memiliki kitab suci, yang tidak memiliki agama yang benar.

Tapi, setelah Nabi Muhammad hijrah ke Kota Madinah, tak ada istilah kafir untuk warga negara Madinah yang non-Muslim.

Ada tiga suku non-Muslim di sana, tapi tak disebut kafir,” katanya dalam kegiatan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jumat, 1 Maret 2019.

(Source: tribunnews.com)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »