SEBAGAI makhluk sosial, manusia tentunya tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan orang lain di luar dirinya. Interaksi sosial mutlak harus dilakukan jika ingin hidup normal. Dengannya manusia bisa bertahan dalam kekurangan, serta melewati rintangan dalam berbagai aktivitas sosial.
Ya begitulah, manusia disisi ini saja sudah kelihatan lemahnya, bukan? Namun, sebagai ciptaan Tuhan, tentu manusia melampau makhluk lainnya. Bahkan, manusia diberi titel sebagai makhluk paling sempurna. Tuhan memberikan akal dan nafsu. Inilah yang membedakannya dengan hewan dan malaikat.
Dalam interaksinya, manusia menggunakan bahasa. Ada bahasa verbal, non verbal, dan isyarat.
Bahasa itu umumnya dituturkan dalam komunitas yang sama. Perbedaan ras dan suku bangsa membuat manusia memiliki multi bahasa. Ada 7.000 bahasa di dunia dan digunakan oleh hampir tujuh miliar orang saat ini.
Di Indonesia, setidaknya ada 652 bahasa yang sudah divalidasi dari 2.452 daerah pengamatan di wilayah Indonesia. Dari segi ini, tentunya Indonesia sangat kaya dibandingkan dengan negara lainnya di seantero dunia.
Kekayaan indonesia secara linguistik, haruslah kita pelihara tentunya. Ia adalah anugrah dari Tuhan yang patut disyukuri. Dalam sebuah firman dikatakan “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal...(QS, Alhujurat:13). Agaknya, firman Allah ini secara "tersirat" tertuju kepada bangsa Indonesia. Tidak ada yang memungkirinya. Indonesia adalah bangsa yang “terkaya” dari suku bangsa dan bahasa.
Namun, semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dan Ikrar Sumpah Pemuda telah menyatukan bangsa Indonesia selama 74 tahun pasca kemerdekaannya.
Dalam perkembangannya, bahasa sebagai media komunikasi juga bisa punah. Menurut Unesco, ada 200 bahasa telah punah dalam 30 tahun terakhir dan 607 tidak aman.
Khusus di Indonesia, ada beberapa bahasa yang hampir atau dikatakan punah. Contohnya, ada bahasa Kaibobo di Maluku, Dunser di Papua, dan Dampelas di Sulawesi. Ragam bahasa tersebut hanya dapat dituturkan oleh beberapa orang saja pada kurun waktu tahun 2000-2010.
Bagaimana dengan bahasa Minang
Sebagai etnis, orang Minang hidup berkelompok di dalam suku-suku dan kaumnya. Bahasa Minang digunakan sejak zaman dulu sampai sekarang. Etnis Minang terkenal dengan tradisi lisannya yang cukup tinggi.
Keindahan bahasa Minang dapat dilihat dari karya sastra yang ada. Antara lain pantun, petatah-petitih, mamangan, pasambahan, dan pidato adat lainnya.
Dewasa ini, pengunaan bahasa Minang secara perlahan sudah mulai ditinggalkan. Lihatlah, di rumah-rumah kita sendiri. Apakah kita masih menggunakan bahasa Minang kala berbicara dengan anak-anak kita? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Faktanya, bahasa Minang seolah-olah sudah tergantikan dengan bahasa Indinesia atau bahasa campuran lainnya. Gejala ini sudah umum, terlihat di daerah perkotaan.
Dan bahkan, di era milenial, anak-anak kita itu, alias kids jaman now, memiliki bahasa lain yang dikenal "bahasa anak alay" atau bahasa gaul. Bahasa ini kadang hanya dimengerti oleh temannya yang seusia dengan mereka. Contoh: kata Ababil, yang artinya ABG Labil; cabe-cabean, untuk memanggil anak perempuan yang masih remaja; Curcol, LOL dan sebagainya.
Lantas, apakah gejala ini bisa membuat bahasa Minang terancam punah?
Menurut Gabriele Perez Baez, kurator linguistik di Departemen Antropologi Smithsonian's Nationally Museum of Natural History, berpendapat bahasa terancam punah dengan sangat mudah. Ketika ada satu generasi yang makin sedikit memakai bahasa tertentu, maka generasi berikutnya kemungkinan berhenti berbicara dengan bahasa tersebut.
"Ketika semakin sedikit orang yang menggunakan bahasa tersebut, maka anak-anakpun akan berhenti menggunakannya sebagai bahasa utama, " kata Baez kepada Smithsonian Insider.
Nah, apakah ada yang bisa menjamin kelestarian bahasa asli suatu etnis? Apakah bahasa Minang tetap lestari dalam kurun waktu 10-50 tahun kedepan? Tentunya, tidak ada yang bisa menjamin, jika tidak ada langkah-langkah konkrit sebagai antisipasi.
Dengan kondisi ini, tidaklah elok bersikap cuek atau acuh tak acuh. Seharusnya kita wajar cemas, takut dan prihatin akan punahnya bahasa daerah sebagai ciri khas suatu bangsa.
Bukankah "bahasa manunjuak an bangso" (bahasa menunjukkan bangsa). Berarti, kepunahan bahasa Minang adalah kepunahan suku bangsa itu sendiri.
Apakah anda, saya dan kita mau menyelamatkan bahasa Minang dari kepunahan? Jawabannya, jangan malu berbahasa Minang.
Ya begitulah, manusia disisi ini saja sudah kelihatan lemahnya, bukan? Namun, sebagai ciptaan Tuhan, tentu manusia melampau makhluk lainnya. Bahkan, manusia diberi titel sebagai makhluk paling sempurna. Tuhan memberikan akal dan nafsu. Inilah yang membedakannya dengan hewan dan malaikat.
Dalam interaksinya, manusia menggunakan bahasa. Ada bahasa verbal, non verbal, dan isyarat.
Bahasa itu umumnya dituturkan dalam komunitas yang sama. Perbedaan ras dan suku bangsa membuat manusia memiliki multi bahasa. Ada 7.000 bahasa di dunia dan digunakan oleh hampir tujuh miliar orang saat ini.
Di Indonesia, setidaknya ada 652 bahasa yang sudah divalidasi dari 2.452 daerah pengamatan di wilayah Indonesia. Dari segi ini, tentunya Indonesia sangat kaya dibandingkan dengan negara lainnya di seantero dunia.
Kekayaan indonesia secara linguistik, haruslah kita pelihara tentunya. Ia adalah anugrah dari Tuhan yang patut disyukuri. Dalam sebuah firman dikatakan “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal...(QS, Alhujurat:13). Agaknya, firman Allah ini secara "tersirat" tertuju kepada bangsa Indonesia. Tidak ada yang memungkirinya. Indonesia adalah bangsa yang “terkaya” dari suku bangsa dan bahasa.
Namun, semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dan Ikrar Sumpah Pemuda telah menyatukan bangsa Indonesia selama 74 tahun pasca kemerdekaannya.
Dalam perkembangannya, bahasa sebagai media komunikasi juga bisa punah. Menurut Unesco, ada 200 bahasa telah punah dalam 30 tahun terakhir dan 607 tidak aman.
Khusus di Indonesia, ada beberapa bahasa yang hampir atau dikatakan punah. Contohnya, ada bahasa Kaibobo di Maluku, Dunser di Papua, dan Dampelas di Sulawesi. Ragam bahasa tersebut hanya dapat dituturkan oleh beberapa orang saja pada kurun waktu tahun 2000-2010.
Bagaimana dengan bahasa Minang
Sebagai etnis, orang Minang hidup berkelompok di dalam suku-suku dan kaumnya. Bahasa Minang digunakan sejak zaman dulu sampai sekarang. Etnis Minang terkenal dengan tradisi lisannya yang cukup tinggi.
Keindahan bahasa Minang dapat dilihat dari karya sastra yang ada. Antara lain pantun, petatah-petitih, mamangan, pasambahan, dan pidato adat lainnya.
Dewasa ini, pengunaan bahasa Minang secara perlahan sudah mulai ditinggalkan. Lihatlah, di rumah-rumah kita sendiri. Apakah kita masih menggunakan bahasa Minang kala berbicara dengan anak-anak kita? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Faktanya, bahasa Minang seolah-olah sudah tergantikan dengan bahasa Indinesia atau bahasa campuran lainnya. Gejala ini sudah umum, terlihat di daerah perkotaan.
Dan bahkan, di era milenial, anak-anak kita itu, alias kids jaman now, memiliki bahasa lain yang dikenal "bahasa anak alay" atau bahasa gaul. Bahasa ini kadang hanya dimengerti oleh temannya yang seusia dengan mereka. Contoh: kata Ababil, yang artinya ABG Labil; cabe-cabean, untuk memanggil anak perempuan yang masih remaja; Curcol, LOL dan sebagainya.
Lantas, apakah gejala ini bisa membuat bahasa Minang terancam punah?
Menurut Gabriele Perez Baez, kurator linguistik di Departemen Antropologi Smithsonian's Nationally Museum of Natural History, berpendapat bahasa terancam punah dengan sangat mudah. Ketika ada satu generasi yang makin sedikit memakai bahasa tertentu, maka generasi berikutnya kemungkinan berhenti berbicara dengan bahasa tersebut.
"Ketika semakin sedikit orang yang menggunakan bahasa tersebut, maka anak-anakpun akan berhenti menggunakannya sebagai bahasa utama, " kata Baez kepada Smithsonian Insider.
Nah, apakah ada yang bisa menjamin kelestarian bahasa asli suatu etnis? Apakah bahasa Minang tetap lestari dalam kurun waktu 10-50 tahun kedepan? Tentunya, tidak ada yang bisa menjamin, jika tidak ada langkah-langkah konkrit sebagai antisipasi.
Dengan kondisi ini, tidaklah elok bersikap cuek atau acuh tak acuh. Seharusnya kita wajar cemas, takut dan prihatin akan punahnya bahasa daerah sebagai ciri khas suatu bangsa.
Bukankah "bahasa manunjuak an bangso" (bahasa menunjukkan bangsa). Berarti, kepunahan bahasa Minang adalah kepunahan suku bangsa itu sendiri.
Apakah anda, saya dan kita mau menyelamatkan bahasa Minang dari kepunahan? Jawabannya, jangan malu berbahasa Minang.
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »