Antasari Minta Pimpinan KPK Angkat Kaki dari Gedung KPK

Antasari Minta Pimpinan KPK Angkat Kaki dari Gedung KPK
BENTENGSUMBAR.COM - Ketua KPK Agus Raharjo mengumumkan bahwa pimpinan KPK menyerahkan tanggung jawab kelembagaannya pada Presiden Joko Widodo. Sebelumnya Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengundurkan diri dari jabatannya. 

Hal ini menyusul rencana revisi UU KPK, sementara KPK tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan revisi UU KPK dan pimpinan KPK tak menerima draf revisi dari pemerintah dan DPR.

Menanggapi itu, mantan Ketua KPK Antasari Azhar menyebut langkah pimpinan KPK menyerahkan mandat dan pengelolaan KPK ke Presiden bukan tindakan bijak. Sebab Ketua KPK Agus Rahardjo dan komisioner lain masih memiliki tanggung jawab pada lembaga itu hingga 27 Desember 2019. Untuk itu, ia minta pimpinan KPK angkat kaki dari markas lembaga antirasuah itu.

”Dia menyerahkan jabatannya pada Presiden saya kaget. Kalau begitu berarti tinggalkan saja gedung KPK,” ucap Antasari saat berada di Rumah Dinas Wali Kota Solo, Loji Gandrung, di Solo, Sabtu, 14 September 2019.

Antasari khawatir, setelah penyerahan mandat itu, siapa yang akan mengurus dan menangani KPK. Apalagi sampai saat ini tidak ada regulasi yang mengatur jika pimpinan KPK menyerahkan mandat dan pengelolaan KPK ke Presiden.

”Mereka kan dilantik untuk menjadi pimpinan KPK hingga 27 Desember mendatang. Ya selesaikan sampai saat itu,” katanya.

Menurut Antasari, jika mundur dari jabatannya, pimpinan KPK harus memberi ganti rugi pada negara. Apalagi untuk melakukan seleksi pimpinan KPK membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

”Harus ada ganti rugi pada negara untuk biaya seleksinya. Supaya tidak ada tindakan cengeng semacam ini lagi. Tindakan apa itu sampai mundur,” ucap Antasari.

Dukung Revisi UU KPK

Antasari Azhar menyetujui langkah presiden dan DPR untuk merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dirinya menilai tidak ada pelemahan dalam rencana revisi UU KPK tersebut.

”Saya melihat adanya revisi ini tidak melemahkan, justru memperkuat,” ucap Antasari.

Antasari menilai pembentukan Dewan Pengawas KPK juga bukan bentuk untuk abuse of power dari presiden. ”Di mana pelemahannya, tidak ada pelemahan. Justru ini memperkuat,” ucapnya.

Antasari sepakat bahwa penyadapan tidak perlu melibatkan lembaga eksternal. ”Kalau dewan pengawas saya setuju, tapi tidak perlu ada lembaga eksternal untuk penyadapan. Tapi intinya perlu dewan pengawas dan perlu penyadapan,” jelasnya.

Dia menjelaskan bahwa penyadapan di era kepemimpinannya di KPK hanya digunakan sebagai alat bukti. Penyadapan hanya bisa dilakukan setelah ada surat perintah penyelidikan. Setelah surat perintah penyelidikan terbit, surat perintah penyadapan baru bisa dikeluarkan.

”Sebelum ada surat perintah penyelidikan, penyadapan tidak sah. Apakah sekarang eranya seperti itu, saya tidak tahu. Makanya harus ada pengawasan,” kata Antasari.

Menurutnya, dewan pengawas juga tidak boleh diisi oleh politisi dan penegak hukum aktif. Idealnya dewan pengawas diisi oleh tokoh masyarakat dan akademisi. ”Banyak masyarakat yang concern pada penanganan korupsi, misalnya mantan Ketua PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif. Beliau bagus. Masih banyak tokoh lainnya,” ucapnya.

Antasari juga menilai perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) tidak akan melemahkan KPK. Menurut dia, hal itu wajar untuk memperjelas aturan mengenai usia penyidik dan lama tugasnya. ”Supaya nantinya tertib. Jadi tidak ada pelemahan. Kewenangannya tidak ada yang dipreteli,” ucapnya.

Mengenai adanya surat perintah penghentian perkara (SP3), dirinya juga sepakat. Menurutmya penetapan tersangka perlu ada pembatasan waktu agar tersangka tak digantung statusnya dalam jangka waktu yang lama.

”Pak Jokowi membuat batasan hingga dua tahun, meski DPR meminta satu tahun. Jadi nanti kalau enggak jelas dan melampaui waktu bisa dihentikan. Kalaupun ada bukti baru, kasus bisa dibuka lagi,” jelasnya.

(by/gatra.com)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »