Ternyata Ubek Mande Memang Mujarab

SUDAH hampir tiga minggu lamanya saya berjuang melawan bisul yang tumbuh di area strategis saya. Selama tiga minggu itu, otomatis saya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, bekerja sambil berbaring.

Soalnya, jika dibawa duduk seperti biasa, sakitnya mendenyut sampai ke kepala. Tak tahan, bahkan pernah saya meninju kursi tamu rumah sekeras-kerasnya. Tapi sakitnya pun tak hilang. Begitulah sakitnya bisul itu. 

Obat bisul entah berapa merk saleb yang habis. Begitu pula, ahli obat herbal, entah lah sudah banyak pula dicoba. Mulai dari rebusan kunyit putih plus madu, dan rebusan lainnya. Malah tambah berdenyut, kaki kebas pula.

Tak tahan sakit, saya dan si neng pun sepakat berobat ke Puskesmas. Tempat yang selalu saya hindari, karena memang saya tak suka obat-obatan kimiawi.

Bermacam pula diagnosanya. Diperiksa pula tengsi dan gula. Sekambut obat yang harus saya makan. Tapi tak apalah, demi bisul ini cepat meletus, saya makan jugalah, walau bathin menjerit memakan obat kimiawi tersebut.

Tapi tetap juga, tak tahan rasa sakitnya. Kalau duduk, terpaksa mereng ke kiri atau ke kanan. Kalau sudah penat, lari ke kamar berbaring.

Tugas sebagai kuli tinta tetap harus dijalani. Berita yang masuk ke e-mail dan WA harus tetap diedit dan dinaikan. Tak bisa didiamkan, harus dinaikan, jam berapa pun berita itu masuk. Itu kebiasaan saya selama ini.

Si neng yang sabar merawat lakinya ini, sebenarnya sudah tak tahan juga melihat saya kesakitan gara-gara bisul ini.

Entah bisikan dari siapa, si neng ingat dengan mande saya yang tinggal satu-satunya. Dia pun menelpon adik sepupu saya, menanyakan kebaradaan mande saya itu.

Setelah disambungkan dengan mande saya itu, si neng menceritakan sakit bisul yang saya derita. Termasuk dianogsa dokter segala macam.

Esok paginya, karena sudah ada janji dengan One Salisma, saya mengajak si neng ke rumah One Salisma. Usai urusan dengan One Salisma, kami pun menemui Haji Edmon di Indarung.

Di tempat Haji Edmon, sakit bisul itu tak saya pusingkan. Karena kami, bercerita soal politik Kota Padang dan Sumbar. Kalau sudah bercerita soal politik, habis hari saya. Sakit bisul pun tak terasa. 

Di warung, tempat Haji Edmon dan kawan-kawannya nongkrong itu, saya dapat tertawa ngakak, tak merasakan sakit bisul itu lagi. Alhamdulillah.

Kalau tidak ada telpon dari rumah bahwa mande saya datang ke rumah, bisa tak mengenal waktu bercerita soal politik itu.

Apalagi yang kami bahas adalah calon gubernur di tengah wabah Covid-19. Bagaimana sikap mereka menghadapi wabah itu.

Yang menarik adalah kesaksian Editiawarman, tokoh masyarakat di Perumnas Indarung. Dia mengaku pialang politik. Siapa caleg pada pemilu yang lalu masuk komplek, dia janang yang melayani.

Awalnya dia bertanya soal video yang beredar di sosial media. Di video itu, Buya Mahyeldi berjanji akan menjabat sampai 2024 sebagai Wali Kota Padang. Dia meminta komentar saya soal video itu.

Saya tegaskan kepadanya, pada Pilkada Kota Padang yang lalu, saya tidak mendukung Mahyeldi, tapi Emzalmi. Video itu merupakan potongan video debat kandidat di Inna Muara.

Waktu itu, posisi Mahyeldi adalah calon Wali Kota Padang yang didesak menjawab pertanyaan, apakah jika dia terpilih sebagai Wali Kota, dia akan tetap menjabat sebagai sampai akhir masa jabatan.

Waktu itu, Mahyeldi menjawab dengan tegas, dia akan tetap berada di Kota Padang sampai 2024. Saya katakan ke Pak Editiawarman yang akrab disapa Om Tia itu, video itu adalah rekaman ketika debat kandidat, bukan di bawah sumpah sebagai Wali Kota. Dan secara politik, itu sah-sah saja.

Saat ini, kata saya ke Om Tia, PKS hanya menjagokan Reza Pahlevi dan Mahyeldi. Dari dua nama itu, kita harus akui, pelung terbesar berada di pihak Mahyeldi. Jika PKS ingin memenangi Pilgub, ya harus mencalonkan Mahyeldi.

Ibarat kata, jelas saya, Mahyeldi sudah sampai di Solok, calon lain baru mau isi bensin di SPBU Indarung. Alias tertinggal jauh dari Mahyeldi.

Om Tia mengakui pendapat saya itu. Ia pun menyebut satu persatu prestasi Mahyeldi selama memimpin Kota Padang. Memberantas Payung Ceper sampai ke penataan kota, sehingga indah dipandang mata.

Saat sedang asyik berdiskusi di warung kecil itu, masuk WA dari si neng. "Etek di rumah, mambaok an ubek untuk uda. Capek lah, jaan baabih hari carito di kadai," isi WA si neng. Padahal, telp dari rumah memberi tahu mande saya sudah di rumah, saya abaikan.

Saya pun minta pamit ke Om Tia dan Haji Edmon serta se isi kadai. "Maaf, saya harus pulang, mande saya ke rumah. Sudah lama dia menunggu saya. Bawa obat untuk penyakit saya."

Peserta diskusi di lapau itu pun mengizinkan saya pulang. Haji Edmon mengantar saya sampai ke mobil. Di dalam mobil si neng sudah menunggu. "Lamo bana uda ko, etek lah lamo manunggu," keluh si neng.

Saya pun menstater mobil, dan melarikannya dengan kecepatan cukup tinggi agar segera sampai di rumah. Benar saja, mande dan adik sepupu saya sudah menunggu di rumah.

Dia bawa obat bisul, yang dia cari sendiri. Untuk mendapatkan lumut basah, kata mande saya bercerita, dia dan adik sepupu saya harus menelusuri kali. Rupanya, lumut basah ini sulit pula sekarang tumbuh di tepi-tepi kali.

Mande saya mengajarkan ke si neng cara meracik obat bisul tersebut plus cara pemakaiannya. Melihat bahan yang dibawa mande saya, saya sempat pesimis. Gak mungkin lah mujarab.

Tapi dugaan saya salah. Obat itu dioleskan si neng sore, dan malamnya, induk bisul itu pun pecah. Rasa sakit yang saya derita karena bisul itu pun hilang, saya bisa duduk normal kembali. Alhamdulillah, Allahu Akbar.

Betul kata orang tua-tua dulu, "Obat mande itu mujarab. Karena dia mencarinya dengan hati yang gelisah karena sakit yang diderita anaknya."

Maka teringatlah saya kepada mande kanduang saya almarhum, yang ketika saya sakit semasa bujang dulu, dia merawat saya dengan sabar. Apa pun obat dia carikan.

Mande kandung saya sudah lama wafat, dia bersaudara perempuan lima orang. One dan empat saudara perempuanya yang lain sudah sudah wafat, tingga si bungsu, si neng memanggilnya Etek Juli. Itu lah mande kami sekarang. Semua kami, dia perlakukan sama, baik anaknya maupun anak dari saudara perempuannya yang lain. Tak ada dia bedakan.

Mamak saya pernah berpesan kepada saya, "Mande kalian tingga surang lai, jaan sampai kalian buek aia mato e kalua." 

Pesan itu kami jaga terus, tapi ketika ada diantara kami yang sakit, tetap saja air matanya keluar. Ya, kami memang sering menyusahkan dia, ketimbang menyenangkan. 

Tak hanya saya, adik sepupu saya yang bekerja di Jakarta juga sering membuat air matanya keluar, karena ketika sakit selalu dimintakan obat ke mande kami itu. Dikirimnya lah obat itu ke Jakarta, tak lama setelah itu, sembuh pula adik sepupu saya itu.

"Obat mande memang mujarab, mungkin karena dia mencari dan meramunya dengan hati plus doa."

Padang, 31 Maret 2020 dini hari.
BY

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »