IPW Sebut Keluarga Diduga Korban Pembunuhan Bengkulu Perlu Dihadirkan di Persidangan Novel Baswedan

BENTENGSUMBAR.COM - Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menuturkan bahwa keluarga korban pembunuhan, penembakan, dan penyiksaan yang diduga dilakukan Novel Baswedan perlu datang ke Jakarta.

Keluarga tersebut perlu datang pada Minggu depan untuk melihat persidangan terakhir kasus Novel.

Hal itu kata Neta agar mereka bisa menyaksikan keadilan yang diperoleh Novel, sementara mereka tak kunjung mendapatkan keadilan meski keluarganya sudah dibunuh dan disiksa oleh Novel Baswedan.

"IPW menilai, kedatangan para korban Novel itu diperlukan agar para elit hukum di Jakarta, terutama para pakar hukum dan aktivis HAM yang membela Novel secara membabi buta, terbuka mata hatinya," tutur Neta.

"Dengan kedatangan para keluarga korban dan korban ini, IPW berharap, Novel boleh saja buta matanya akibat disiram pelaku yang kini disidang PN Jakut, tapi mata hati Novel jangan sampai buta," tambahnya.

Sehingga Novel harus mau mempertanggungjawabkan kasus pembunuhan di Bengkulu.

"Saat mengadu ke Komisi III DPR beberapa waktu lalu, M Rusli Alimsyah mengatakan, dua temannya disuruh menghadap pantai oleh Novel. Lalu Ali yang berada di belakang Novel melihat Novel mengacungkan pistolnya dan tiba tiba mengarahkan laras pistolnya ke wajah Ali, baru kemudian menembak temannya yang menghadap pantai," ujar Neta.

Akibat ulah Novel, Yulian Yohanes meninggal dunia akibat kehabisan darah usai ditembak.

Kasus penyiksaan para pencuri sarang burung walet yang diduga dilakukan Novel Baswedan terjadi pada 2004 silam.

Para korban penyiksaan itu, yakni Irwansyah Siregar, Doni, Rusli Aliansyah, Dedi Nuryadi, dan Yulian Yohannes.

"Mereka selama lima jam disiksa. Selain dipukul dan disetrum kemaluannya, para korban juga ditembak. Peristiwa ini terjadi di Pantai Panjang Bengkulu, pukul 23.00. Usai ditembak mereka masih disiksa dan baru diinterogasi hingga pukul 05.00 WIB. Mereka tidak mendapatkan pengobatan meski dibawa ke rumah sakit," kata Neta.

IPW berharap para korban dan keluarganya datang ke Jakarta, selain menghadiri sidang kasus Novel, mereka perlu mendatangi Istana Presiden, KPK, Komisi III DPR, dan Komnas HAM,.

Kemudian Kejaksaan Agung agar Jaksa Agung segera melimpahkan kembali BAP perkara mereka karena sudah diregistrasi PN Bengkulu dengan Nomor Perkara 31/Pid.B/2016/PN.Bgl.

"Para korban dan keluarganya harus terus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Sikap Jaksa Agung yang mengabaikan perintah majelis praperadilan agar kasus Novel diselesaikan di PN Bengkulu adalah sebuah sikap arogansi yang membodohi sistem hukum di negeri ini," ujar Neta.

Sikap Jaksa Agung ini, menurutnya bertentangan dengan adagium hukum, restitutio in integrum, yaitu hukum seharusnya menjadi instrumen untuk memulihkan kekacauan di masyarakat.

"Jaksa Agung telah mencoreng wajah hukum di negara ini, dan ini tentunya telah melecehkan harapan masyarakat yang berharap hukum hadir sebagai panglima. Jika tak kunjung melimpahkan BAP Novel ke PN Bengkulu, Jaksa Agung tidak layak sebagai seorang penegak hukum," papar Neta.

Untuk itu korban dan keluarga korban kata Neta, harus meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk ikut turun tangan terhadap persoalan ini, sebab hukum seakan sudah dibuat buta.

"Sebab di dalam UU, Kejaksaan disebutkan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dan pimpinan lembaga kejaksaan adalah bagian dari badan pemerintahan," katanya.

Jadi, menurut Neta, korban dan keluarga korban perlu meminta presiden sebagai pimpinan eksekutif tertinggi untuk turun tangan.

"Akibat kasus Bengkulu ini bukan cuma anggota masyarakat yang telah dibunuh yang diduga dilakukan Novel, tapi hukum dan rasa keadilan juga sudah dibunuh akibat kasusnya tidak dituntaskan di pengadilan," katanya.

Dalam kasus Bengkulu, Neta berharap, Presiden Jokowi mau turun tangan agar ada rasa percaya dari masyarakat terhadap pemerintahan saat ini.

"Sebab IPW melihat ada sebuah upaya untuk melindungi pembunuh, sebab tersangka pembunuhan itu, yakni Novel berlindung di balik nama besar yang menakutkan, yakni KPK," kataya.

"Sudah pasti ini ada akal-akalan di belakang semua ini. KPK dimanfaatkan tersangka pembunuhan," tambahnya.

Menurut Neta, ini adalah sebuah penyalahgunaan wewenang sebagai aparatur negara dimana tersangka pembunuhan dibiarkan petantang petenteng hingga tidak tersentuh hukum.

"Untuk itu Presiden harus mengarahkan kemudi hukum ke arah yang benar. Hukum harus jadi panglima dan Presiden harus segera memerintahkan Jaksa Agung melimpahkan BAP Novel ke PN Bengkulu. Jika Jaksa Agung tidak mau Presiden harus segera menggantinya," kata Neta.

(Sumber: TRIBUNnews.com)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »