"Hukum, baik dalam konteks pertanahan maupun kehutanan, memperlihatkan bahwa lahan ini adalah lahan yang tidak masuk dalam kasus persengketaan maupun dalam hutan milik negara," ujarnya kepada BentengSumbar.com, kemaren.
Secara adat, jelas Maswar Dedi, status lahan ini merupakan lahan ulayat milik nagari, yang sudah diketahui oleh seluruh pemangku adat di Nagari Halaban. Pemegang hak ulayat tersebut juga jelas dan tertuang di dalam peraturan nagari, yaitu niniak mamak yang ada di nagari Halaban.
Dikatakannya, peraturan Nagari juga menjelaskan bahwa dalam penyelesaian konflik yang ada di Nagari Halaban diselesaikan oleh KAN (kerapatan Adat Nagari) menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku “bajanjang naik, batanggo turun”, dan diusahakan dengan jalan melalui musyawarah dan mufakat dalam bentuk keputusan perdamaian.
"Apabila perdamaian tidak bisa diterima oleh pihak yang bersangkutan, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan Negeri," terangnya.
Menurutnya, dalam proses pengelolaan tanah ulayat tersebut, niniak mamak nagari Halaban menyerahkan kewenangan pengelolaan ulayat nagari kepada suatu lembaga yang bebadan hukum dan dibentuk bersama-sama dengan nagari.
"Lembaga ini adalah Yayasan Pembangunan Halaban atau Badan Usaha Milik Nagari (BUMNag). Lembaga ini yang dipercayakan untuk melakukan perbuatan hukum dengan investor yang masuk ke daerah Kanagarian Halaban," katanya.
Dikatakannya, pendelegasian wewenang pengelolaan tanah ulayat kepada Yayasan Pembangunan Halaban ini dilanjutkan dengan aturan menyangkut pembagian hasil dari kegiatan investasi yang dilakukan. Dalam hal ini, Yayasan Pembangunan Halaban mendapatkan 50%, Niniak Mamak 30% dan Nagari 20% dari keuntungan yang diperoleh.
(by/hms_Sumbar)
« Prev Post
Next Post »