Anies Jangan Nyapres Deh

ADU siasat, adu strategi, itulah pergulatan dalam politik dan itu sah untuk menggapai tujuan. Tentu saja yang beradu siasat, adu strategi adalah partai politik, apalagi menjelang Pilpres 2024. 

Siasat membusukkan lawan adalah bagian dari strategi menyingkirkan lawan, sebelum berkompetisi di medan yang sesungguhnya. Memainkan kartu membusukkan lawan adalah strategi paling mudah dilakukan parpol terhadap lawan politiknya.

Musibah yang menyengat Mantan Menteri Sosial (Mensos), Juliari Batubara, bagi sebagaian orang adalah bencana. Namun, boleh jadi, bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah berkah. 

Lantaran PDIP dapat menyodorkan nama pengganti Juliari, yakni Ir Tri Rismaharini MT yang akrab dengan sebutan Tri Risma. Presiden Jokowi pun memposisikan Risma sebagai Mensos terhitung mulai 23 Desember 2020.

Risma pun memainkan siasat pembusukan, wanita yang pernah menjabat sebagai Walikota Surabaya dua periode ini langsung tancap gas. Risma mendapati gelandangan di Jln. MH Thamrin, Jakarta. 

Boleh jadi, maksudnya ingin menampar Gubernur DKI Jakarta, “Ini lho gelandangan tidak terurus,” mungkin begitu maksudnya, saat Risma blusukan di Jl. Jendral Sudirman dan Jln. MH Thamrin.

Sayang, Risma lupa bahwa dirinya di DKI Jakarta bukan siapa-siapa, beda dengan Surabaya. Apalagi, jaringan media yang dibangun Risma tak memiliki daya magnit yang mampu menghipnotis semua orang.

Kalau boleh dibilang ‘gangguan’ yang dimainkan, justru berbalik arah dan berkesan membusukan namanya. Dan ini dicatat oleh masyarakat ibukota, itu bisa membekas nantinya jika Risma maju sebagai kandidat calon gubernur setempat. Boleh jadi, siasat ini hanya hasil improvisasi Tim Risma, bukan arahan dari pihak lain.

Menutup Layar

Bagi setiap parpol untuk  memenangi pilkada di DKI adalah hal mutlak untuk diperjuangkan. Hanya saja, parpol harus mampu mengukur bajunya sendiri, artinya parpol harus memiliki jumlah kursi yang memenuhi syarat untuk mengajukan calon. Itu pun belum cukup, mesti ada jago yang moncer. Jago yang bukan hasil dari karbitan, apalagi jago yang berasal dari opera sabun. Dan untuk memilih jago yang moncer bukan perkara mudah.

Tidak semua orang mampu berbuat seperti Presiden Jokowi, dia beda dengan siapapun. Bahkan, Gibran Rakaming Raka, putra Jokowi, belum tentu akan moncer karier politiknya.

Sekarang Gibran terpilih sebagai Wali Kota Solo periode 2020-2025. Ketika dia akan melangkah ke pencalonan Gubernur DKI (2024), langkahnya itu belum tentu mulus. Masih banyak hal yang mesti dipersiapkan, banyak langkah yang mesti dijalankan. 

Tak semudah orang perkirakan, kendati Jokowi masih menjabat sebagai presiden sekalipun. Langkah Gibran tak semulus seperti di Pilkada Solo.

Mengapa Anies yang mesti dibusukkan? Jawaban yang sederhana, karena Anies adalah salah satu figur yang potensial maju sebagai kandidat presiden mendatang. Itu dengan kalkulasi pilkada berjalan seperti siklus lima tahunan, pilkada akan digelar 2022, untuk  DKI Jakarta.

Anies Baswedan dapat maju sebagai kandidat gubernur sebagai patahana dan berpeluang besar terpilih kembali. Jika skenarionya seperti itu, maka layar Anies akan semakin mengembang untuk mengarungi pilpres 2024. Tentu saja, hal itu tak diinginkan oleh lawan politik Anies. Lawan politik-Ahoker, PDI Perjuangan dan pihak istana, tak menginginkan layar Anies mengembang sekecil apapun.

Maka, pilihannya bagi yang berseberangan dengan Anies harus menutup layar itu sedini mungkin. Sedangkan yang memiliki kekuatan untuk menutup layar itu adaalh PDI Perjuangan dan pihak istana. Mengapa demikian, PDI Perjuangan memiliki instrument di Fraksi PDI Perjuangan di DPR-RI. Sementara istaan memiliki instrument yang tak terbilang jumlahnya.

Jangan lupa bahwa PDI Perjuangan memiliki catatan sejarah, di pilkada 2017 silam jagoannya Ahok-Djarot tumbang oleh Anies – Sandi. Meski itu kompetisi, tetap saja merupakan catatan sejarah kelam bagi PDI Perjuangan, lantaran, saaat itu, peluang partai berlambang moncong putih ini besar sekali. Rupanya, jalan ceritanya berbeda dengan keinginan PDI Perjuangan.

Bagaimana dengan istana? Hampir setali tiga uang dengan PDI Perjuangan, kecewa dengan kekalahan Ahok-Djarot. Boleh jadi, bagi istana Ahok adalah sohib Presiden Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sohib bukan sembarang sohib, Jokowi sampai ‘mengasuh’ Ahok hingga sekarang. Buktinya, memposisikan Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina.

Maka, tidak mengherankan jika PDI Perjuangan dan pihak istana menjadikan Anies musuh bersama. Tidak heran pula, dengan instrument yang dimiliki oleh PDI Perjuangan dan pihak istana, mereka menginginkan layar Anies harus ditutup. Panggung Anies harus selesai.

Dengan kalkulasi seperti itu sulit rasanya angin akan berbalik arah. Dan layar Anies Baswedan akan tertutup untuk berlayar di Pilpres 2024. Hanya tangan-tangan yang tak kasad mata yang akan mampu memberi ruang bagi Anies.

*Penulis: Reko Suroko, Wartawan Senior, Tinggal di Solo

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »