Catatan Sausan Afra: Kesalahan Penggunaan Tanda Petik Pada Pamflet Bedah Buku

Catatan Sausan Afra: Kesalahan Penggunaan Tanda Petik Pada Pamflet Bedah Buku
SAAT melihat sorotan utama dalam sebuah pamflet atau papan informasi, mata dan pikiran kita seakan sedang melihat orang yang kita cintai. Mengapa demikian? Karena kita seperti buta, tidak menyadari kesalahan besar yang sebenarnya telah terpampang jelas. Entah memang tidak mengetahui atau memang tidak peduli akan kesalahan tersebut. Mungkin sekilas kita hanya melihat sebatas pamflet kegiatan bedah buku. Akan tetapi, sadarkah bahwa tulisan yang menjadi sorotan utama pada beberapa pamflet bedah buku mengalami kesalahan tanda baca?


Catatan Sausan Afra: Kesalahan Penggunaan Tanda Petik Pada Pamflet Bedah Buku

Tanda petik yang mengapit judul buku pada banyak pamflet kegiatan bedah buku terlihat lazim dan sah-sah saja. Hal tersebut dapat dibuktikan jika kita berkunjung ke tagar #bedahbuku di Instagram. Terdapat banyak pamflet yang menggunakan tanda petik untuk mengapit judul buku. Bahkan, tulisan judul buku tersebut disajikan dengan ukuran yang lebih besar daripada tulisan-tulisan lain. Tanpa sadar judul yang merupakan sorotan utama pada pamflet tersebut telah melanggar kaidah tata bahasa Indonesia.


Dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indoneis (PUEBI), salah satu fungsi tanda petik (“...”) memang digunakan untuk mengapit judul. Namun, tidak berlaku untuk semua judul karya. Ketentuan yang diatur pada PUEBI terhadap penggunaan tanda petik tercantum dengan jelas dan dapat dipahami dengan mudah. Judul yang boleh diapit oleh tanda petik ialah judul sajak, judul lagu, judul film, judul sinetron, judul artikel, judul naskah, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat. Lantas, mengapa judul buku tidak dapat diapit oleh tanda petik sedangkan bab buku dan judul-judul lainnya boleh?


Perlu diketahui bahwa judul memang dapat ditulis dengan huruf miring atau diapit tanda petik. Begitu juga halnya dengan judul buku. Akan tetapi, untuk menulis judul karya yang cakupannya lebih besar seperti judul buku harus ditulis menggunakan huruf miring, bukan diapit dengan tanda petik dua. Tanda petik dalam penulisan judul hanya digunakan untuk menulis bagian (yang lebih kecil) dari karya yang lebih besar. Misalnya judul bab atau subbab dalam buku dan judul lagu-lagu yang merupakan bagian (lebih kecil) dalam sebuah album.


Contoh:


➤ Pada buku dan bab: 

Bab “Isim Nakirah” dapat dilihat pada buku Ilmu Nahwu halaman 108.

➤ Pada album dan judul lagu:

Lagu "Cintanya Aku" merupakan lagu pertama dari album Arti Untuk Cinta yang dinyanyikan oleh Tiara Andini dan Arsy Widianto.


Dapat dilihat bab merupakan bagian-bagian kecil yang ada buku. Begitu juga dengan judul lagu yang merupakan bagian dari karya besar, yakni album. Dari contoh di atas kita dapat mengetahui bahwa fungsi tanda petik hanya untuk membedakan judul yang menjadi bagian lain dari karya yang besar. Perbedaan penulisan tersebut ditujukan untuk membedakan judul dengan bagian lain dari kalimat.


Pada ketiga pamflet yang saya temukan pada tagar #bedahbuku di Instagram yang lalu saya gunakan sebagai data, ditulis judul kegiatan dengan judul buku yang akan dibahas seperti yang di bawah ini:


➤ Bedah Buku “Feminisme dalam Islam Sudut Pandang Aceh”

➤ Bedah Buku “Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa”

➤ Webinar Bedah Buku “Koki Otonomi Kisah Anak Sekolah Pamong”


Maka seharusnya judul-judul buku tersebut tidak diapit oleh tanda petik melaikan ditulis dengan huruf miring. Berikut penulisan yang benar:


➤ Bedah Buku Feminisme dalam Islam Sudut Pandang Aceh

➤ Bedah Buku Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa

➤ Webinar Bedah Buku Koki Otonomi Kisah Anak Sekolah Pamong


Selanjutnya, fungsi tanda petik atau yang kerap kita kenal dengan tanda petik dua tidak hanya diatur pada penulisan judul. Tanda petik (“...”) juga digunakan dalam penulisan petikan langsung dan istilah ilmiah atau kata yang mempunyai arti khusus. Hal ini telah tertulis pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015. 


Tanda petik (“...”) digunakan untuk mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, naskah, atau bahan tertulis lain. Contoh:


➤ "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”, ucap Ir. Soekarno dalam pidatonya pada Hari Pahlawan 10 November 1961.


➤ Menurut UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular dan UU Nomor 6 tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan  Peraturan Gubernur DKI No. 33 tahun 2020 “Pelaku usaha yang telah dilarang untuk beroperasi di kantor, namun tetap melakukan kegiatan seperti biasa, maka dapat sanksi dikenakan sanksi pencabutan izin usaha, bahkan ancaman pidana.”


➤ “Kumpulkan video tersebut satu hari sebelum jadwal perkuliahan!” perintah dosen mata kuliah bahasa Inggris.


Selain itu, tanda petik juga digunakan untuk mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang mempunyai arti khusus, contoh:


➤ Ocan lulus satu tahun lebih cepat daripada kami karena dia mengikuti program “akselerasi”. (Akselerasi pada kalimat tersebut merupakan istilah ilmiah yang memiliki makna percepatan)


Selama ini penggunaan tanda petik yang diketahui secara umum mungkin hanya pada penulisan petikan langsung dari pembicaraan atau kutipan dari bahan tertulis. Untuk kaidah istilah ilmiah ataupun penulisan judul masih kurang diketahui meskipun kaidah tersebut bukan kaidah yang baru diatur. Kita tidak seharusnya terus berada pada zona nyaman yang abai pada kesalahan, apalagi kesalahan tersebut terjadi berulang-ulang hanya karena alasan tidak tahu. Terlebih lagi di zaman yang serba digital ini, kita pasti akan sering menggunakan ragam bahasa tulis, misalnya menulis status dan menyebarkan informasi di media sosial. Oleh karena itu, sebagai generasi yang kesehariannya menggunakan ragam bahasa tulis, mari meminimalisir kesalahan penulisan (tanda baca) dengan mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kesalahan tanda baca bukan kesalahan orang yang kita cintai, dapat diabaikan begitu saja karena bertahan dalam kenyamanan.


*Sausan Afra, berusia 19 tahun, lahir di Kota Pangkalpinang pada 19 Februari 2002. Saat ini aktif sebagai mahasiswi di program studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Selain itu, juga bergiat pada Protokol Humas FIB Unand dan berbagai organisasi eksternal lainnya. Hobi travelling, tata rias, menulis, dan wicara publik.

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »