BENTENGSUMBAR.COM - Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 laskar FPI mendesak agar insiden Km 50 dibawa ke pengadilan HAM. Komnas HAM mengatakan kasus itu tidak bisa dibawa ke pengadilan HAM karena bukan pelanggaran HAM berat.
"Ndak bisa. Pengadilan HAM hanya akan dibentuk kalau satu peristiwa dinyatakan sebagai pelanggaran HAM yang berat oleh Komnas HAM dan disidik oleh Jaksa Agung," kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, kepada wartawan, Selasa, 9 Maret 2021 malam.
Beka menyatakan berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM, peristiwa kontak tembak antara laskar FPI dan polisi itu bukanlah pelanggaran HAM berat. Hasil investigasi Komnas HAM, peristiwa tersebut dinyatakan sebagai pelanggaran HAM biasa.
"Kesimpulan Komnas HAM peristiwa Karawang bukan pelanggaran HAM yang berat tetapi pelanggaran HAM," jelasnya.
Komnas HAM, kata Beka menghormati pernyataan dari TP3. Namun Komnas HAM tetap berpegang teguh pada hasil investigasi yang telah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Kami menghormati statement TP3, hanya kami tetap berpegang pada temuan, analisa, dan kesimpulan yang didapat selama penyelidikan intensif dan hasilnya sudah disampaikan ke presiden," katanya.
TP3 enam laskar FPI pada Selasa, 9 Maret 2021, bertemu Presiden Jokowi. Mereka meminta agar kasus tewasnya enam laskar FPI itu dibawa ke pengadilan HAM.
Pertemuan itu digelar di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat. TP3 diwakili oleh Amien Rais hingga Marwan Batubara.
"Kemudian diurai apa yang terjadi pertama, tujuh orang yang diwakili oleh Pak Amien Rais dan Pak Marwan Batubara tadi menyatakan mereka menyatakan keyakinan telah terjadi pembunuhan terhadap 6 laskar FPI dan mereka meminta agar ini dibawa ke pengadilan HAM karena pelanggaran HAM berat, itu yang disampaikan kepada presiden," kata Menko Polhukam Mahfud Md dalam jumpa pers yang disiarkan akun YouTube Sekretariat Presiden.
TP3 mengklaim bahwa telah memiliki bukti yang lengkap bahwa insiden Km 50 ini pelanggaran HAM berat. Bukti tersebut lengkap sekitar 90%.
"Sebagian besar, 90 persen, data sudah kami miliki," kata Ketua TP3 Abdullah Hehamahua kepada detikcom, Selasa, 9 Maret 2021.
Hehamahua mengatakan saat ini TP3 tengah menyiapkan bukti-bukti tersebut. Menurutnya, data-data yang dimilikinya tinggal dalam proses finishing atau penyelesaian akhir.
"Tinggal sedikit lagi berupa pemolesan data-data yang ada," ujarnya.
Ketua Komnas HAM juga pernah menjelaskan agar Mahkamah Internasional tak dilibatkan dalam kasus Km 50 ini.
Sebelumnya, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan tidak perlu melibatkan Mahkamah Internasional dalam penyelesaian kasus ini. Taufan menyebut lembaga internasional percaya pada hasil investigasi Komnas HAM. Sebab, Komnas HAM bagian dari jejaring lembaga penegak HAM.
"Bahkan ada yang mau mengundang Mahkamah Internasional itu tentu saja tidak dalam konteks hukum yang ada sekarang," ujar Taufan Damanik dalam konferensi pers di Gedung Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 8 Maret 2021.
"Karena Komnas HAM merupakan bagian dari Global Alliance untuk National Human Rights Institution," lanjutnya.
Selain itu, Taufan menyebut Komnas HAM memiliki akreditasi yang mentereng untuk melakukan penyidikan hingga pemantauan. Jadi, kata Taufan, tak perlu ada spekulasi ke depannya soal tewasnya laskar FPI.
Kemudian Taufan juga mengatakan upaya TP3 untuk membawa kasus tewasnya enam anggota laskar FPI ke Mahkamah Internasional (Internasional Criminal Court/ICC) di Den Haag, Belanda, akan terhadang sejumlah hambatan.
"Indonesia bukan negara anggota Internasional Criminal Court (Mahkamah Internasional) karena belum meratifikasi Statuta Roma. Karena itu, Mahkamah Internasional tidak memiliki alasan hukum untuk melaksanakan suatu peradilan atas kasus yang terjadi di wilayah yurisdiksi Indonesia, karena Indonesia bukan negara anggota (state party)," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulis, Selasa, 26 Januari 2021.
Selain itu, kata Taufan, kasus tewasnya enam anggota laskar FPI juga tidak memenuhi unsur unable atau ketidakmampuan pengadilan nasional dan unwilling atau kondisi tidak bersungguh-sungguh sebuah negara dalam menjalankan pengadilan. Sebab, saat ini proses peradilan kasus tersebut masih berjalan.
"Unsur unable dan unwilling tidak terpenuhi karena saat ini kasus tersebut masih diproses, baik oleh kepolisian maupun lembaga negara independen, yakni Komnas HAM RI. Dengan begitu, mekanisme peradilan Indonesia tidak sedang dalam keadaan kolaps sebagaimana disyaratkan Pasal 17 ayat 2 dan ayat 3 Statuta Roma," tuturnya.
Source: detikcom
« Prev Post
Next Post »