Kasus Sjamsul Nursalim Perdata, Wajar di SP3

Kasus Sjamsul Nursalim Perdata, Wajar di SP3
BENTENGSUMBAR.COM - Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menghentikan kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang menjerat pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya Itjih Nursalim (ISN) dianggap wajar.


Selama ini, kasus SKL BLBI mendapat perhatian masyarakat luas lantaran ada sebagian pihak menganggap tidak ada unsur pidana yang dilanggar. Namun demikian, sebagian besar lainnya juga menganggap ada pelanggaran tindak pidana korupsi karena telah merugikan negara triliunan rupiah.


Praktisi hukum Ricky Vinando menilai, jika dilihat dari proses awal kasus BLBI yang menjerat Sjamsul Nursalim bermula dari KKSK yang melakukan penghapusan hak tagih negara kepada obligor BLBI Sjamsul Nursalim dan diikuti dengan Mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung yang menerbitkan SKL BLBI yang diperoleh Sjamsul Nursalim, memang bukan tindak pidana korupsi.


Sehingga, menurutnya, Sjamsul Nursalim memang tidak bisa dikait-kaitkan dengan kasus BLBI. Apalagi kasus itu pun tidak terbukti adanya kerugian negara dan Mahkamah Agung telah memutuskan perbuatan Mantan Kepala BPPN yang menerbitkan SKL pada April 2004 bukan tindak pidana.


"Sangat wajar KPK menghentikan penyidikan kasus SKL BLBI yang menjerat Sjamsul Nursalim. Biar bagaimanapun juga itu memang bukan kasus tindak pidana (korupsi yang merugikan negara), sehingga tidak sepantasnya dia dibiarkan berada dalam kasus itu, KPK sudah tepat dan benar," kata Ricky Vinando, di Jakarta, Minggu, 4 April 2021.


Lanjut Ricky, kasus itu bermula dari terbitnya keputusan KKSK No 02/K/KKSK/02/2004. Atas dasar keputusan KKSK tersebut, Mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung menerbitkan Surat Keterangan Lunas atau SKL terhadap BDNI. Namun pada tahun 2013 KPK melihat ada misrepresentasi atas aset tambak udang Dipasena yang diserahkan Sjamsul Nursalim seolah-olah aset lancar tapi macet.


Saat itu ada penyerahan aset berupa tambak udang Dipasena milik Sjamsul Nursalim senilai Rp 4,8 triliun kepada BPPN, penyerahan tambak udang dilakukan karena BDNI memiliki tagihan kepada para petambak udang yang belum dibayarkan para petambak, karena sebelumnya BDNI pernah mengucurkan bantuan pendanaan kepada 11.000 petambak udang sebesar Rp 1,1 triliun, namun jumlah itu membengkak menjadi Rp 4,8 triliun akibat nilai tukar Dollar yang naik tajam ketika itu, tapi dari Rp 4,8 triliun, Rp 3,7 triliun sudah dihapus sebagaimana dalam keputusan KKSK No. 02/K/KKSK/02/2004 butir 3 huruf (a): hutang petambak direstrukturisasi dan ditetapkan setinggi-tingginya Rp 100 juta per petambak atau secara total Rp 1,1 triliun dan sisanya Rp 3,7 triliun dihapuskan.


Sehingga setelah dihapus Rp 3,7 triliun harga tambak masih Rp. 1,1 triliun, dan dari Rp 1,1 triliun tambak udang itu hanya berhasil dilelang seharga Rp 220 miliar, sehingga seolah-olah ada kerugian negara Rp 4,58 triliun dari total Rp 4,8 triliun, karena hanya laku Rp 220 miliar.


Namun jauh sebelum itu, Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham pengendali BDNI sekaligus sebagai obligor BLBI sudah menyelesaikan semua kewajibannya kepada negara sebagaimana dalam perjanjian penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam bentuk MSAA (Master Settlement And Aquisition Agreement) pada 22 Mei 1999.


"Sjamsul Nursalim dianggap menyerahkan aset tidak lancar alias macet. Aset yang diserahkan tambak udang Dipasena Rp 4,85 triliun itu sudah diserahkan, namun Rp 3,7 triliun di antaranya sudah dihapus oleh KKSK, sehingga hanya tersisa Rp 1,1 triliun dan dilelang laku Rp 220 miliar, disitulah dianggap negara seolah-olah rugi, tapi berpijak dari surat KKSK yang telah melakukan penghapusan hak tagih Rp 3,7 triliun, Kepala BPPN saat itu menerbitkan Surat Keterangan Lunas/SKL supaya ada kepastian hukum bagi Sjamsul Nursalim, sehingga saat ini Sjamsul Nursalim tidak ada lagi kewajiban membayar kepada negara walau 1 rupiah pun terkait tambak udang Dipasena karena pembebasan utang atau penghapusan Rp 3,7 triliun itu adalah perdata, jadi wajar KPK menyetop kasus BLBI menyangkut tambak udang Dipasena yang sudah diserahkan Sjamsul Nursalim kepada negara," tambah Ricky.


"Apalagi sudah ada dua Release And Discharge negara tidak akan menuntut baik secara pidana atau perdata. Dari situ jelas negara telah menjamin tidak akan menuntut baik secara pidana maupun perdata karena Sjamsul Nursalim sudah melaksanakan semua kewajibannya kepada negara," ungkapnya.


Dua Release And Discharge (R&D) yang diteken oleh pemerintah yang saat itu diwakili oleh Menteri Keuangan

Kuntoro Djatun dan Glenn Yusuf, Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 25 Mei 1999. BPPN telah mengukuhkan pemberian kedua surat R&D ke dalam suatu akta notaris, yaitu Akta Letter of Statement Nomor 48 tanggal 25 Mei 1999 yang dibuat di depan Merryana Suryana, Notaris di Jakarta.


Kata Ricky, dari sisi hukum, menghapus utang atau membebaskan seseorang dari kewajiban atau utang itu bukan kejahatan. Pembebasan utang mengakhiri perjanjian MSAA terlebih lagi perjanjian MSAA sudah dilaksanakan Sjamsul Nursalim terlebih lagi tambak udang sudah diserahkan. Artinya, Sjamsul Nursalim yang menerima pembebasan utang sebesar Rp 3,7 triliun tidaklah salah dari aspek hukum perdata dan dibolehkan menghapus utang atau pembebasan utang sebagaimana Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).


"Kalau menghapus utang atau kewajiban dianggap sebagai tindak pidana, hilangkan dulu ketentuan pembebasan utang mengakhiri perjanjian sebagaimana dalam KUHPerdata. Tapi kan Mahkamah Agung malah menguatkan itu sebagai perbuatan perdata. Jadi dengan kewajibannya telah dihapus, Sjamsul Nursalim tak bisa dianggap merugikan negara, karena menghapus utang atau hak tagih kepada seseorang itu adalah perbuatan perdata bukan perbuatan pidana, dan dikasih surat lunas, itu perbuatan administrasi, tak ada urusan dengan tindak pidana," tegas Ricky.


"Kalau dibilang ini kan ada kewajiban kepada negara kok dihapus seperti itu. Masalahnya itu bukan kejahatan ataupun tindak pidana, dari 2018 atau 3 tahun yang lalu saya sudah pernah membuat analisa kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim bukan tindak pidana korupsi karena sebagai pihak yang kewajibannya dihapuskan negara melalui KKSK, itu termasuk ke dalam perdata dan administrasi dan itu terbukti dengan Mahkamah Agung yang melepaskan Mantan Kepala BPPN selaku penerbit Surat Keterangan Lunas/SKL kemudian disusul kemarin KPK pun mengeluarkan SP3 untuk Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, jadi jangan gaduh SP3 Sjamsul Nursalim," ujarnya.


Selanjutnya kata Ricky, KPK juga harus keluarkan SP3 untuk Dorodjatun Kuntjoro-Jakti selaku Mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) sekaligus Mantan Menteri Keuangan, karena namanya ada dalam dakwaan turut serta dengan Mantan Kepala BPPN yang sudah dilepaskan Mahkamah Agung.


Source: BeritaSatu.com

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »