Dari Puan Maharani Sampai Kamala Harris, Politikus Perempuan di Dunia Rentan Terserang ‘Hate Speech’

Dari Puan Maharani Sampai Kamala Harris, Politikus Perempuan di Dunia Rentan Terserang ‘Hate Speech’
BENTENGSUMBAR.COM - Tokoh politik perempuan ternyata lebih rentan diserang komentar negatif di media sosial. Bahkan, komentar tersebut cenderung melecehkan kaum perempuan dan fenomena ini terjadi hampir di seluruh dunia.


Di dalam negeri, misalnya. Baru-baru ini Ketua DPR RI Puan Maharani mendapatkan perlakuan tersebut. Baliho bergambar Puan yang terpasang di Jalan Sultan Agung, Kota Batu, ditulisi 'Open BO'.


Aksi vandalisme tersebut dilakukan dengan coretan berwarna putih yang berada tepat di gambar Puan, yakni di samping kiri bagian bawah. Gambar itu pun telah diturunkan oleh Satpol PP Kota Batu atas permintaan DPC PDI Perjuangan Kota Batu karena dianggap tidak pantas.


Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Batu, Punjul Santoso mengaku prihatin atas kejadian itu. Apalagi kejadian serupa juga belum lama terjadi di daerah lain, dengan tulisan sama.


“Ini adalah gambar tokoh nasional, Ketua DPR RI yang menyampaikan, mensosialisasikan kepada warga masyarakatnya di Indonesia. Tapi sekali lagi ini hal yang tidak terpuji yang semestinya tidak terjadi di Kota Batu," kata Punjul.


Perlu diketahui istilah ‘Open BO’ melekat pada konotasi negatif yang sering digunakan untuk menggambarkan prostitusi perempuan. Open BO atau open booking berarti bisa dipesan untuk transaksi seksual.


Politikus perempuan lebih rentan


Di Amerika Serikat pun, politikus perempuan, apalagi mereka yang memiliki jabatan tinggi cenderung jadi target komentar negatif. Penelitian menunjukkan bahwa Kamala Harris, yang kini menjabat Wakil Presiden AS, paling tinggi mendapat speech hate di internet.


Semakin menanjaknya karier politik Harris, semakin banyak pula serangan di media sosial yang berbau seksis, brutal, dan misoginistik. Para peneliti pun bisa menemukan ratusan ribu contohnya.


Cecile Guerin, seorang peneliti di Institute for Strategic Dialogue pun pernah melakukan studi yang menunjukkan bahwa politikus perempuan AS dua sampai tiga kali lebih sering mendapatkan komentar yang melecehkan di Twitter, dibandingkan politikus laki-laki.


“Pelecehan kepada perempuan sangat personal, yang menyerang penampilan dan merendahkan kecerdasan mereka. Ini juga cenderung menyiratkan kepada perempuan untuk berhenti berpolitik dan bahwa mereka tidak layak berada di ruang publik,” kata Guerin.


Tak hanya itu. Pejabat Kota Ottawa, Kanada, Laura Dudas, pernah mengalami aksi vandalisme yang menyerang rumahnya. Dalam cuitan di Twitter bulan Agustus ini, Dudas menulis:


“Sudah terlalu banyak laporan politikus perempuan mengalami pelecehan yang kejam (dan) komentar menghina terkait gender di dunia maya, dan ketika komentar-komentar ini mengambil bentuk di dunia nyata, seketika berubah menjadi serangan fisik yang ganas.”


Hal serupa pun terjadi di Finlandia. Perdana Menteri Sanna Marin kerap menjadi target pelecehan misoginis secara online. Demikian laporan terbaru dari NATO Strategic Communications Centre of Excellence.


“Dari lima menteri yang menjadi target, semuanya perempuan, dan mereka menjadi korban pelecehan misoginistik yang menyerang nilai-nilai, merendahkan kemampuan dalam membuat keputusan, serta mempertanyakan kapabilitas kepemimpinan mereka,” tulis dalam laporan tersebut.


Beralih ke Irlandia, Pejabat Kota Limerick Barat, Elisa O’Donovan pernah menerima pesan tak senonoh. Seseorang mengirimkan foto bergambar alat kelamin pria ke ponselnya. Dia pun langsung melaporkannya pada pihak berwenang.


“Hukum dan kepolisian telah gagal menangani pelecehan seksual online. Menurut saya, cyber flashing (kejahatan yang melibatkan pengiriman gambar cabul kepada orang asing) adalah bentuk serius dari gangguan seksual, tapi seperti pengalaman para perempuan lainnya, kami diminta untuk ‘mengabaikannya’. Saya tidak bisa mengabaikan gambar mengerikan itu,” kata O’Donovan.


Di Wales, negara bagian Inggris Raya, salah satu perempuan anggota Partai Buruh yang tidak mau disebutkan namanya, mengaku sering mendapat serangan seksis di medsos setiap harinya.


“Saya dikatai pelacur, bahwa saya seharusnya menyingkirkan payudara saya, bahwa saya bodoh dan idiot, dan saya lebih baik berhenti dan membuat kue saja. Mereka mengatakan saya tidak berpendidikan, saya tidak punya tempat di politik. Dan ini terjadi setiap hari secara berulang-ulang,” kata dia.


Menghambat demokrasi


Sebuah studi pada tahun 2019 menemukan bahwa 28% pejabat kota yang menjadi sasaran hate speech mengatakan bahwa mereka cenderung kurang ingin terlibat dalam proses mengambil keputusan.


Politikus Finlandia, Iiris Suomela yang menjadi anggota partai koalisi pemerintah mengatakan bahwa dia dan kolega perempuannya mengalami rasa takut ketika harus mengambil keputusan tertentu, yang mereka tahu berpotensi mendatangkan banjir komentar negatif yang melecehkan. 


Perempuan berusia 27 tahun tersebut kemudian menyadari bahwa perempuan muda, terutama dari kalangan minoritas enggan berpartisipasi dalam Pilkada. Alasannya, mereka takut mengalami pelecehan online. Menurut Suomela, hal ini bisa berdampak buruk terhadap perkembangan demokrasi.


Senada dengan Suomela, aktivis perempuan asal Inggris, Helen Antoniazzi mengatakan bahwa serangan di medsos tersebut berpotensi membuat perempuan enggan terlibat politik. 


“Saya berpendapat, inti dari hal ini adalah orang-orang tengah mencoba menghentikan perempuan untuk bersuara dan mengekspresikan pendapat mereka, dan ini menjadi cara mereka melakukannya,” kata Antoniazzi.


Dia khawatir, semakin banyak perempuan yang mundur dari pencalonan diri dalam pemilihan umum dan berhenti mendaki posisi politik, karena takut mengalami pelecehan atau serangan.

 

Laporan: Mela

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »