Kebhinekaan Jadi Modal Sosial Hadapi Pandemi, Butuh Sosok Kuat untuk Menyelaraskan Perbedaan

Kebhinekaan Jadi Modal Sosial Hadapi Pandemi, Butuh Sosok Kuat untuk Menyelaraskan Perbedaan
BENTENGSUMBAR.COM - Merawat kebhinekaan tak semudah membalikkan telapak tangan. Meskipun semboyan “Bhineka Tunggal Ika” sudah diteruskan dari generasi ke generasi, pengamalannya masih terasa minimal.


Menjaga kebhinekaan sebagai kekayaan yang mempersatukan bangsa bukan hal mudah. Selalu ada pasang surut dalam sejarah. Di ruang-ruang publik, kebhinekaan dan Pancasila seakan hanya menjadi diskursus.


Beberapa tahun ke belakang, Sosiolog Sigit Rochadi pernah berujar bahwa secara umum penghayatan atau pemaknaan terhadap Pancasila mulai merosot tajam sejak era Reformasi. 


Hal sama juga, lanjut dia, terjadi pada makna Bhineka Tunggal Ika yang semakin pudar. Yang terjadi kini adalah munculnya budaya baru dari negara lain sehingga masing-masing kelompok bangkit dan mencari ruang.


Dosen Universitas Nasional (Unas) tersebut  menyebutkan, kelompok tersebut mencari ruang dalam rangka merebut sumber daya yang lebih besar. Maka yang terlihat, kebangkitan kelompok agama yang melahirkan konflik antar pemeluk agama di mana-mana. Kebangkitan kelompok etnis, terlihat perkelahian antar suku, desa, dan komunitas.


Fenomena tersebut tentu membuat hati bangsa ini pilu. Padahal sejarah mencatat, Indonesia dibangun atas dasar persamaan nasib sebagai bangsa terjajah. Dilahirkan melalui sebuah kesepakatan bersama, sebuah jalan tengah yang diambil oleh para pendiri bangsa dan dapat diterima oleh seluruh rakyat Indonesia. 


Publik mungkin sering mendengar jargon-jargon semacam “Indonesia rumah kita bersama” atau “Indonesia milik kita bersama”, ada makna mendalam di balik jargon-jargon ini. 


Yaitu, Indonesia, negeri yang kita cintai dan banggakan, tempat lahir, berlindung di hari tua sampai akhir menutup mata ini memang ada karena sebuah kebersamaan, bukan hasil pemikiran satu atau dua orang. 


Kebersamaan boleh disebut sebagai pondasi berdirinya bangsa Indonesia, seperti termaktub dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi satu. Meski terdiri dari berbagai suku, agama dan golongan, namun ada satu kesepakatan yang mengikat kita semua. Itulah Indonesia. 


Menyelaraskan perbedaan


Oleh karena itu, kemajuan Indonesia, kesejahteraan dan pembangunan Indonesia harus dinikmati oleh semua rakyat Indonesia, tidak ada yang ditinggalkan, tidak ada yang tertinggal. 


Terlebih lagi, dalam situasi pandemi yang sedang kita hadapi sekarang, harapannya tentu tidak ada yang tertinggal atau ditinggalkan dalam penanganan pandemi, agar kelak kita semua keluar dari pandemi ini dengan selamat, bersama-sama.


Pandemi seakan menyentakkan jiwa kita untuk kembali bersatu, menyingkirkan perbedaan, mengembalikan semboyan bangsa pada tempatnya semula, yaitu di tengah rakyat.


Menurut Guntur Subagja, Ketua Center for Strategic Policy Studies, Universitas Indonesia, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila bisa menjadi senjata ampuh untuk mengatasi pandemi. Dia juga mengatakan bahwa kini telah tiba saatnya masyarakat bersatu, bersama-sama, menghadapi pandemi Covid-19.


Sementara itu, Peneliti CSPS UI Nyoman Astawa berpendapat nilai-nilai Pancasila bisa menjadi solusi permasalahan. Sila pertama, misalnya, mengajak masyarakat semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Sila kedua, kata dia, membangkitkan kepedulian masyarakat membantu sesama.


Sila ketiga dimaknai sebagai persatuan melawan virus korona. Sementara itu, sila terakhir mengandung makna keadilan dalam pelayanan kesehatan dan bantuan bagi masyarakat terdampak pandemi.


Butuh sosok penyelaras


Meski demikian, tak dimungkiri bahwa kenyataan di lapangan tidak seideal itu. Kita sendiri dapat dengan mudah melihat kesenjangan masih terjadi di mana-mana. Di luar konteks pandemi, masih banyak terjadi kesenjangan, mudahnya dapat dilihat kesenjangan antara kota dengan desa, belum lagi antar profesi dan lainnya. 


Dalam beberapa tahun belakangan pemerintah memang terus berupaya keras menekan angka kemiskinan dan mempersempit kesenjangan yang mana harus kita apresiasi, namun nyatanya memang masih ada kesenjangan di tengah masyarakat, apalagi ditambah dengan dampak pandemi. 


Kenyataannya, kemajuan Indonesia, kesejahteraan dan pembangunan belum dapat dinikmati semua orang, karena masih adanya gap di sana dan sini. Karena itu, cita-cita pendiri bangsa ini, yang membangun Indonesia untuk kepentingan Bersama, masih jauh panggang dari api.


Upaya menjadikan Indonesia benar-benar milik Bersama dan dapat dinikmati Bersama dapat dimulai dengan menyelaraskan perbedaan. Sebelum terjadi salah kaprah, menyelaraskan perbedaan di sini bukan berarti “menyeragamkan”, perbedaan dan keberagaman Indonesia merupakan anugerah dan pemberian dari Yang Maha Kuasa kepada kita semua. 


Menyelaraskan perbedaan berarti menerima dengan sepenuh hati bahwa Indonesia dianugerahi perbedaan, dan sudah menjadi kewajiban kita untuk menyelaraskan tujuan Bersama. Ini yang diselaraskan, yakni visi, tujuan dan cita-cita. Warna, rasa, cita, dan percaya kita bisa beda, tapi tujuan kiat untuk negeri ini sama. Selaraskan langkah kita untuk mencapainya.


Untuk memikul tugas yang berat ini, diperlukan sosok yang benar-benar mumpuni. Bila dianalogikan Indonesia adalah sebuah orkestra yang terdiri dari berbagai orang yang memegang alat musik berbeda-beda, perlu dirigen atau conductor (penyelaras) yang benar-benar mengerti musik seperti Erwin Gutawa, bukan sembarang menunjuk orang untuk memimpin orkestra. 


Kita tidak perlu membuat semua anggota orkestra memegang alat musik yang sama, biarkan mereka memegang alat musik yang berbeda dan serahkan segala urusan pada sang dirigen. Dari situ pasti akan terdengar musik yang indah, hasil dari penyelarasan alat musik yang berbeda-beda, mengalun indah dalam harmoni kebersamaan.


Laporan: Mela

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »