Medsos Jadi ‘Zona Perang’ Propaganda dan Hoaks, Masyarakat Perlu Tingkatkan Literasi Digital

MEDIA sosial ibarat dua mata pisau. Di satu sisi, dunia maya menjadi ruang terbuka untuk berbagi informasi dan berekspresi. Di sisi lain, sosmed jadi senjata untuk menggiring opini publik, yang kerap disertai hoaks dan informasi sesat.

Biasanya, ‘serangan maya’ ini menyerbu tokoh-tokoh penting, dengan maksud membungkam atau merusak reputasi mereka. Beberapa contoh kasus yang pernah terjadi bisa jadi gambaran.

Awal 2021 lalu, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sempat mendapat serangkaian tuduhan dan cibiran di platform media sosial Twitter, Instagram, dan lainnya.

Sejak membuat cuitan di Twitter yang mengajak warganet untuk unfollow Abu Janda, Twitter resmi Susi Pudjiastuti diserbu buzzer. 

Padahal, Abu Janda kerap memposting narasi yang dianggap rasis dan menyebar ujaran kebencian. Namun, ajakan unfollow itu justru membuat Susi diserang banyak akun yang mayoritas anonim.

Jika ditarik ke belakang, kejadian hampir serupa pernah menimpa komika Bintang Emon. Unggahan dengan kata kunci “Bintang Emon” dan “BuzzerRp” sempat masuk trending topic di Twitter.

Komika bernama asli Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Mahaputra ini dituduh menggunakan narkoba oleh beberapa akun media sosial. Tuduhan ini dilontarkan setelah Emon mengunggah video terkait hukuman bagi pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan.

Namun begitu, serangan serupa itu tak selalu terjadi akibat aktivitas si pemilik akun. Seringkali, medsos dijadikan alat untuk oleh pihak tak bertanggung jawab untuk menyebarkan fitnah dan mengaitkannya dengan sosok tertentu.

Model serangan semacam itu kerap terjadi di Twitter. Yang menjadi korban bisa siapa saja, dari Presiden Joko Widodo sampai Ketua DPR Puan Maharani, pernah mengalaminya. Nama mereka disematkan dengan konten-konten hoaks yang tak jelas sumbernya.

Medsos sebagai zona perang

Carole Cadwalladr, jurnalis The Guardian dan The Observer yang juga finalis Pulitzer, pernah mengatakan dalam sebuah wawancara, bahwa media sosial seperti Facebook dan Twitter sudah seperti zona perang.

Menurutnya, medsos merupakan tempat pertempuran propaganda terjadi. Jika seorang reporter menulis masalah ini di media sosial, dia akan menjadi target serangan. Cadwalladr bahkan berujar bahwa hal ini “sangat sulit bagi saya, secara pribadi”.

Sementara itu, pengamat media sosial sekaligus direktur Drone Emprit Ismail Fahmi mengatakan, buzzer politik sangat sulit untuk ditertibkan. Sebab, ada kepentingan yang dalam hal ini merupakan permintaan terhadap jasa para buzzer.

Buzzer politik tersebut, kata Fahmi, bertugas untuk mengangkat isu-isu tertentu dan membawanya ke media sosial sehingga publik juga bisa ikut berpendapat sesuai dengan narasi yang sudah dirancang dengan sedemikian rupa.

Dia juga menjelaskan, cara kerja hoaks untuk menjadi trending dan viral paling bisa dipahami melalui Twitter karena platform ini memiliki ukuran yang bisa dihitung dalam menentukan viralnya suatu pesan atau tidak.

Fahmi memaparkan, ada dua cara hoaks bisa menjadi viral di Twitter. Pertama, pesan hoaks tersebut disebarkan melalui bot, yang bisa mengirim pesan berjumlah masif dalam waktu serentak. 

Sedangkan cara kedua lebih organik dengan memanfaatkan influencer yang memiliki followers besar agar bisa memperluas cakupan berita bohong tersebut di media sosial.

Di sisi lain, Fahmi memaklumi warga net yang masih sering termakan isu tersebut dan secara tidak langsung justru membuat hoaks menjadi viral.

Menurutnya, orang awam memang tidak mengetahui apakah serangan hoaks itu berhasil viral atau tidak sehingga pada akhirnya respons mereka malah membuat hoaks yang tadinya tidak viral jadi makin viral.

Cara untuk mengetahui apakah tren hoaks berhasil viral atau tidak biasanya memerlukan tools khusus, seperti yang dipakai Drone Emprit. Sedangkan masyarakat umum hanya merespons suatu pesan hoaks secara impulsif tanpa memikirkan apakah kabar bohong itu sudah viral atau belum.

BBC pernah melaporkan bahwa pihak pengguna jasa buzzer cukup membayar 200 dollar AS atau setara Rp2,8 juta agar topik tertentu yang diminta bisa menjadi topik populer. Praktek ini pun dimanfaatkan untuk kepentingan komersial maupun politik.

Di Indonesia, isu tentara siber dan bot pun marak terjadi, terutama jelang Pemilu. Hal sama juga terjadi di banyak negara lain di dunia.

Di India, AltNews mengungkapkan sebuah dokumen untuk menyetel agenda terkait topik populer disebarkan lewat Twitter. Dokumen ini berisi instruksi cuitan dan tagar yang digunakan untuk membuat isu populer di negara tersebut. 

Oleh karena itu, masyarakat harus mulai bisa memilah informasi, mana yang benar dan mana yang hoaks, sebelum berkomentar atau melakukan re-Tweet terhadap unggahan provokatif. Memperkuat literasi digital masyarakat menjadi solusi paling efektif untuk menekan penyebaran hoaks di media sosial. (Aditha Regina – Anggota Perempuan Indonesia Satu)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »