Sejarah Revolusi Indonesia dalam Novel Neraka di Timur Jawa

NOVEL Neraka di Timur Jawa karya Dwi Arif Nugroho dan Gelar Awal Nugroho menceritakan pertempuran selama beberapa hari di kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran yang diceritakan dalam novel ini dimulai pada tanggal 10 hingga 20 November 1945 antara pemuda dan pejuang Indonesia melawan tentara Sekutu di bawah kepemimpinan Inggris. Pertempuran ini mencapai puncaknya pada tanggal 10 November, yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan. 

Dwi Arif Nugroho dan Gelar Awal Nugroho terinspirasi dari peristiwa sejarah Indonesia setelah beberapa bulan proklamasi kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajahan Jepang. Setelah Indonesia merdeka dari Jepang, tentara Belanda ingin mencoba kembali menguasai Indonesia setelah Jepang kalah dalam perang dunia. Kedatangan tentara  Belanda  tersebut bergabung dengan pasukan tentara Inggris yang ingin  melucuti semua senjata peninggalan Jepang yang masih ada di Indonesia.

Bagaikan sebuah drama yang menegangkan dan penuh aksi heroik, novel ini menyajikan peristiwa pertumpahan darah antara pemuda Indonesia dan gabungan bala tentara Inggris dan Belanda di satu kota yang bernama Surabaya, yang merupakan kota di bagian timur pulau Jawa. Novel ini juga menceritakan tentang perbedaan pendapat antara tokoh tua dengan beberapa tokoh pemuda.
Tokoh pemuda itu adalah Abimanyu, Idris, dan Tigor. Sedangkan tokoh tuanya adalah Pak Harjo. Pak Harjo merupakan ayah kandung dari Abimanyu. Perbedaan pendapat antara Pak Harjo dan anaknya Abimanyu adalah masalah ketidaksetujuannya atas kembalinya Belanda ke Indonesia.

Pak Harjo sangat setuju jika Belanda kembali menguasai dan memerintah Indonesia dengan alasan pada zaman Belanda gaji atau pendapatannya lebih besar. Pada saat itu, Pak Harjo bekerja di kantor administrasi yang diberi fasilitas dan gaji yang layak oleh Belanda, sehingga ia bisa menyekolahkan anaknya, sedangkan di saat Indonesia telah merdeka, gajinya sangat jauh menurun meskipun ia tetap bekerja di kantor administrasi.

Tentu saja Abimanyu sangat keberatan dengan pendapat ayahnya tersebut. Ia sangat tidak ingin Belanda kembali menguasai Indonesia.Abimanyu dan dua orang temannya Idrus dan Tigor sangat setuju dengan pendapatnya, bahwa Indonesia harus bebas dari penjajahan bangsa dan negara manapun di muka bumi ini. Dengan gerakan militan dan revolusioner mereka bersama pemuda-pemuda Surabaya lainnya akan menentang kedatangan Belanda untuk kedua kalinya di Republik Indonesia ini.

Pada saat mereka bertiga dan para pemuda Surabaya lainnya berkumpul dan bergerak menuju hotel Yamato. Kedatangan mereka ke hotel tersebut dihadang oleh para tentara Belanda dan Inggris. Mereka dan pemuda yang merupakan bagian dari rakyat Indonesia mencoba masuk dan naik ke atas hotel Yamato dengan menggunakan tangga. Mereka naik ke atas hotel tersebut bukan tanpa alasan, karena mereka melihat bendera milik Belanda berkibar di atas hotel itu.

Setelah berhasil naik, mereka merobek warna biru pada bendera Belanda, sehingga hanya menyisakan warna merah dan putihnya saja. 
Insiden ini merupakan bentuk perlawanan mereka dan para pemuda Surabaya yang tidak lain adalah rakyat Indonesia terhadap penjajah. Hal ini sejalan dengan pemikiran Jenderal A.H. Nasution dalam buku Pokok-pokok Gerilya disebutkan bahwa sesungguhnya rakyatlah yang perang, bukan cuma angkatan bersenjata. Rakyatlah yang memaklumkan perang dan menentukan damai, dan yang melahirkan angkatan bersenjatanya. Angkatan bersenjata adalah ujung tombak dari rakyat itu, yang diarahkan oleh rakyat itu pula(Cribb, 2001).

Respon terhadap perobekan bendera Belanda ini memang benar-benar tumbuh dari hati rakyat tanpa ada campur tangan dari organisasi resmi ataupun pemerintah Surabaya saat itu. Kekuatan yang timbul dari batin dan hati masayarakat inilah yang menjadi cikal bakal kekuatan besar arek-arek suroboyo melawan kekuatan militer Sekutu di hari-hari kemudian.

Sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh clausewitz dalam buku Small Wars and People’s Wars(2020) menyatakan konsep kekuatan sipil atau tentara rakyat. Kekuatan sipil adalah kekuatan sukarela luar biasa yang terdiri dari seluruh masyarakat, dengan semua kekuatan fisik dan batin mereka, aset dan niat baik mereka.

Oleh sebab itu, novel ini bukanlah fiksi sejarah semata. Akan tetapi, novel ini terinspirasi oleh peristiwa sejarah bangsa Indonesia sendiri. Di sisi lain, para pembaca melihat bagaimana sikap pengarang terhadap peristiwa sejarah yang ditulis ulang dalam bentuk karya sastra yang berbentuk novel, yaitu dengan menampilkan dua golongan yaitu tokoh tua dan tokoh muda atau para pemuda terhadap menyikapi kedatangan Belanda untuk kedua kalinya ke Indonesia. Para pemuda dalam  novel ini sangat menentang dan tidak setuju dengan kedatangan Belanda, sedangkan tokoh tua tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Pengarang novel ini memperlihatkan bagaimana perjuangan para pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah diraih dengan susah payah, dengan mengorbankan jiwa dan raga demi bangsa dan negara yang berdaulat. Menurut Roeslan Abdulgani, peristiwa itu sebagai malapetaka yang memenggal arah sejarah Surabaya dan rute kemerdekaan Indonesia. Oleh sebab itu, kita sebagai bangsa Indonesia harus selalu siap menghadapi tantangan dan ancaman dari dalam maupun luar. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga dan mempertahankan kedaulatan negara Indonesia yang telah diraih.
 
*Ditulis Oleh: Bovi Andriza dan Ferdinal, Magister Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »