Kuasa Hukum Eksekutor Laskar FPI di Tol Cikampek Was-was pada Seruan Doa Dzikir Habib Rizieq

BENTENGSUMBAR.COM - Kuasa hukum dua anggota Polri, Ipda Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan, yang diduga ikut dalam eksekusi enam laskar FPI, mengaku was-was pada ajakan doa Habib Rizieq Shihab, 7 Desember 2021.

Sebab, Habib Rizieq meminta pengelola masjid, mushola sampai lembaga pendidikan Islam serta perkumpulan jamaah mendoakan bagi enam laskar pengawal yang meninggal tahun lalu dalam tragedi penembakan di KM 50 Jalan Tol Jakarta - Cikampek.

Selain mendoakan keenam laskar, Habib Rizieq juga menyerukan doa dan dzikir untuk keselamatan negeri, serta doa untuk kehancuran bagi semua pihak yang terlibat dalam pembunuhan tragedi di KM 50 itu.

Menurut Alaidid, seruan Habib Rizieq itu sangat tidak pantas. Karena dibungkus dengan agama, bermodus doa.

“Dalam doa dan munajad itu ada kebaikan bukan sebaliknya, sebab siapa pun yang mendoakan jelek orang itu sesungguhnya dia sedang mendoakan dirinya sendiri,” ucapnya, Minggu (5/12/2021).

Menurutnya, Rizieq mesti sadar dan introspeksi diri.

Andai saja Rizieq memenuhi panggilan polisi terkait kasus pelanggaran protokol kesehatan, maka peristiwa penembakan itu tak terjadi.

“Bayangkan Rizieq membiarkan ada ancaman pendukungnya, saat itu bakal mengepung Polda Metro Jaya, dan akan membuat kericuhan dan tindakan anarkis,” katanya.

“Belum lagi petugas sempat dicegat dan dihalangi datang hanya karena membawa surat panggilan di tempat kediaman Rizieq di Petamburan,” imbuhnya.

Rentetan peristiwa itu, kata Alaidid, menjadi akumulasi terjadinya peristiwa tragedy penembakan di KM 50 itu.

Keenam Laskar tersebut memang akhirnya harus ditangkap karena kedapatan membawa sajam, bahkan senpi untuk melawan aparat saat terjadi bentrok di tengah jalan.

“Cerita ini bagi saya sudah clear ada hasil investigasinya dari Komnas HAM, dan semua juga sudah terungkap di persidangan dalam kasus pidananya di PN Jaksel yang masih berjalan,” ucapnya.

Karena itu, Muannas meminta kepada masyarakat khususnya umat Islam agar tidak mudah terhasut dan terprovokasi.

Dia berharap masyarakat menyerahkan peristiwa KM 50 diselesaikan menurut hukum, apa pun putusannya harus dihormati.

“Bagi saya sudah sepantasnya dua anggota polri itu sesuai fakta hukum yang ada wajib untuk dibebaskan,” ujarnya.

Menurutnya, jangan mengkriminalisasi mereka yang jelas-jelas sedang bertugas untuk negara, dan yang terpenting negara tidak boleh kalah dari premanisme.

Diketahui dalam perkara yang menewaskan enam anggota eks Laskar FPI itu turut menjerat dua anggota Polda Metro Jaya sebagai terdakwa yakni Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M. Yusmin Ohorella.

Dalam sidang, Direktur Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat turut menjabarkan terkait dengan standar operasional prosedur (SOP) penggunaan senjata api (senpi) oleh petugas kepolisian saat menjalankan tugas.

Hal itu bermula saat Jaksa menanyakan soal laporan yang diterima Tubagus sebagai pimpinan, kala kejadian penembakan yang terjadi di dalam mobil saat empat anggota laskar FPI ingin dibawa ke Polda Metro Jaya dari rest area KM.50 Cikampek.

"Mereka (anggota Polda Metro Jaya) melaporkan seperti apa, apa yang terjadi di dalam mobil?" tanya jaksa dalam persidangan.

"Hasil laporan dari pada anggota, pada saat di dalam mobil itu dipertanyakan kepada mereka. Saat mobil berjalan tidak terlalu lama dari lokasi rest area KM 50 mereka diserang oleh empat anggota laskar tersebut dan juga merebut senjata, ini hasil laporan," jawab Tubagus.

Atas penyerangan yang dilakukan anggota laskar FPI itu, Tubagus menyebut anggotanya melakukan perlawanan sehingga melesatkan tembakan ke arah anggota laskar FPI.

Adapun penyerangan dari anggota laskar FPI yang dimaksud Tubagus yakni, mencekik leher dan berupaya merebut senjata api milik terdakwa Fikri.

"Kemudian secara spontan, mereka (anggota polisi) mengambil langkah untuk mengamankan dari pada senjata tersebut, kemudian mereka melakukan tembakan ke arah anggota laskar dan akibatnya meninggal dunia, itu yang dilaporkan anggota," beber Tubagus.

Mendengar pernyataan Tubagus, jaksa lantas menanyakan terkait ada atau tidaknya SOP dari kepolisian soal penggunaan senjata api.

Tubagus mengatakan, SOP itu ada dan hingga kini masih berlaku, yang salah satu indikatornya yakni, senjata api bisa digunakan oleh anggota kepolisian jika berada dalam kondisi tertekan dan membahayakan.

"Penggunaan senjata api itu ada SOP nya, salah satu indikator penggunaan senjata api itu adalah digunakan ketika sudah membayakan diri dan masyarakat, maka senjata wajar dan patut digunakan ketika serangan yang dilakukan itu membahayakan jiwa baik terhadap dirinya maupun orang lain," kata Tubagus.

Jaksa kemudian kembali mencecar Tubagus dengan menanyakan teknis penembakan yang seharusnya dilakukan oleh pihak kepolisian jika sudah menghadapi kondisi seperti itu.

Dalam hal ini, jaksa bertanya soal bagian tubuh mana yang sewajarnya dijadikan sasaran oleh pihak kepolisian.

"Digunakan senjata api jika sesuai SOP itu menyasar bagian tubuh seperti apa?," tanya jaksa.

Menjawab pertanyaan itu, Tubagus mengatakan, pelesatan tembakan itu hanya dikhususkan untuk melumpuhkan target.

Namun, kondisi yang terjadi pada insiden itu, Tubagus mengatakan, keadannya tidak dalam posisi normal, sebab berada di dalam mobil dengan ruang yang sempit.

Alhasil, penembakan itu dilakukan dalam keadaan spontan, sebab berdasarkan laporan yang diterima Tubagus, bagian tubuh yang terlihat hanya posisi badan ke atas.

"Kalau dalam kondisi normal itu ditujukan untuk melumpuhkan, tetapi dalam kondisi yang dilaporkan oleh anggota itu kondisinya spontan, kejadian itu secara spontan dalam ruangan yang sempit dalam mobil posisi yang terlihat adalah bagian (tubuh) atas karena di dalam mobil," beber Tubagus.

"Kalau menanyakan kondisi sesuai SOP saya menjawabnya kondisi normal, tetapi ini berada dalam kondisi lingkungan yang terbatas (di dalam mobil) situasi cukup mencekam dan kemudian dilakukan tembakan oleh anggota polisi terhadap bagian (tubuh) yang terlihat. Itu fakta di lapangan, dalam kejadian ini berada dalam mobil di mana anggota badan yang untuk melumpuhkan itu tidak terlihat," sambungnya.

"Kalau kondisi tidak normal itu ditembakkan kemana?," tanya lagi jaksa.

"Anggota badan yang terlihat," jawab Tubagus.

"Bisa dijelaskan?," cecar Jaksa.

"Yang terlihat kalau di dalam mobil gambaran dalam diri saya ibu, gambaran pribadi saya, otomatis bagian kaki kebawa tertutup, tentu yang terlihat adalah bagian atas, dan mohon jangan dibayangkan dalam posisi (di mobil) yang ideal, tolong dibedakan posisi yang ideal dengan posisi spontan. SOP itu mengatur hanya dalam kondisi yang normal posisi," imbuh Tubagus.

Dakwaan Jaksa

Pada perkara ini, terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M. Yusmin Ohorella didakwa telah melakukan penganiayaan yang membuat kematian secara sendiri atau bersama-sama terhadap enam orang anggota eks Laskar FPI.

"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan, dengan sengaja merampas nyawa orang lain," kata jaksa dalam persidangan, Senin (18/10/2021).

Atas hal itu, jaksa menyatakan, perbuatan para terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 Ayat (3) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (Wartakota)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »