Filosofi Pakaian Pengantin Sungai Puar Tempo Dulu

SUMATERA BARAT merupakan kota yang populer dengan sebutan Serambi Mekkah, kota ini memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Selain terkenal dengan Rumah adat Gadangnya, Sumatera Barat juga populer dengan kekayaan budayanya yang lain. Mayoritas penduduk atau suku Sumatera Barat (Minangkabau) merupakan penduduk yang menghuni wilayah Padang, masyarakat disana terkenal sangat kuat dalam mempertahankan kebudayaannya. Salah satu budaya yang hingga saat ini masih kental dan lestari di provinsi ini adalah pakaian adat Sumatera Barat.

Di kancah nasional, pakaian adat Sumatera Barat merupakan pakaian yang sangat populer sebagai pakaian adat yang sangat sederhana, namun tetap menawan. Pakaian ini sangat kental dengan norma serta etika yang berlaku secara umum di daerah Sumatera Barat. Pakaian adat Sumatera Barat mempunyai makna dan filosofis yang membuat orang lain merasa penasaran untuk mengetahuinya.

Makna-makna filosofis yang terkandung dalam pakaian khas Sumatera Barat ini tersebar pada masing-masing jenis pakaian utama, baik laki-laki dan juga perempuan.
Pakaian khusus untuk laki-laki adalah pakaian Penghulu yang biasa dikenakan sebagai pemangku adat, sedangkan pakaian adat khusus untuk perempuan adalah Bundo Kanduang.

Makna serta filosofis yang terkandung pada pakaian penghulu diantaranya ada pada baju penghulu yang dominan dengan warna hitam, yang berarti adalah lambang kepemimpinan yang terhormat. Celana penghulu memiliki ukuran yang cukup besar, ini bermakna bahwa seorang pemangku adat haruslah orang yang memiliki martabat yang tinggi. Sedangkan keberadaan Keris yang terletak dibagian pinggang, ini juga menunjukkan suatu tindakan untuk berpikir dulu sebelum bertindak.

Adapun makna dan filosofis pada pakaian Bundo Kanduang diantaranya adalah tingkolok bertanduk melambangkan bahwa, seseorang yang mengenakannya merupakan pemilik dari rumah gadang.

Di Sumatera barat, terdapat beberapa variasi untuk pakaian adat khusus pernikahan, yang dipakai oleh setiap pasangan atau mempelai. Perbedaan ini dikarenakan adanya pembagian beberapa adat nagari di Sumatera Barat.

1. Pakaian adat pengantin Bukittinggi dan Kabupaten Agam
2. Pakaian adat pengantin Padang dan sekitarnya

Jika dibandingkan dari daerah lain, pakaian adat pengantin kota Padang lebih memiliki kekhasan tersendiri. Selain mendapat pengaruh dari kebudayaan Minangkabau, busana pengantin kota Padang juga dipengaruhi oleh kebudayaan busana negara-negara Eropa dan Tiongkok.

Perempuan suku Minangkabau mempunyai lambang kebesaran, yang disebut dengan Limpapeh Rumah nan gadang. Arti dari kata Limpapeh yaitu tiang tengah pada sebuah bangunan yang juga sebagai tempat memusatkan segala kekuatan dari tiang-tiang lainnya.

Maka, apabila tiang-tiang tengah tersebut ambruk, maka dapat dipastikan tiang-tiang yang lain juga akan ikut jatuh berantakan. Dengan kata lain, perempuan di Minangkabau diumpamakan sebuah tiang yang kokoh dalam sebuah rumah tangga. Pakaian adat Limpapeh Rumah Nan Gadang berbeda dengan pakaian adat ditiap-tiap nagari, seperti dikatakan “Lain lubuk lain ikannyo, lain padang lain bilalangnyo”.

Nah kali ini kita membahas Pakaian Pengantin Sungai Puar Tempo Dahulu.

Rubrik kali ini menampilkan pakaian pengantin dari Sungai Puar. Nagari Sungai Puar (Sungai Pua dalam bahasa Minang ragam lisan) terletak di lereng sebelah barat Gunung Merapi, sekitar 10 km. dari Bukittinggi. Nagari ini terkenal tidak saja karena alamnya yang indah dan kerajinan tembikarnya, tapi juga perannya yang penting di zaman kolonial (misalnya orang Sungai Puar terkenal pintar membuat bedil). Tuanku Laras Sungai Puar, Datuak Tumangguang Sutan Sulaiman, adalah laras yang tergolong sangat kaya dan berpengaruh di Padang Darat pada akhir abad ke-19.

Kedua foto ini (yang sebelah kiri berukuran 16×9,5 cm. dan yang sebelah kanan berukuran 15,5×9,5 cm.) dibuat tahun 1890. Mat kodaknya bernama Th. F.A. Delprat. Tampak bahwa pakaian marapulai (pengantin laki-laki) terdiri dari sisampiang dari songket balapak. Sedangkan baju dalamnya model kerah tutup yang dilapisi lagi dengan baju lengan panjang tanpa giwang. Celana panjang yang ditutup dengan sisampiang dipererat lekatnya dengan ikat pinggang besar yang biasanya dibuat dari logam seperti perak atau kuningan. Di situ, di bagian depan, diselipkan sebilah keris yang sarung dan tangkainya penuh ukiran. Kepala marapulai ditutupi dengan saluak runcing yang bentuknya cukup unik.

Anak daro (penganten wanita) memakai kain dan baju yang khas pula. Kasutnya yang menutup bagian depan kaki cukup bagus dan cukup berbeda dengan kasut yang dipakai marapulai. Galang gadangnya sangat besar dan mencolok. Bagian leher penuh dengan untaian perhiasan berlapis-lapis yang terbuat dari emas dan perak. Sunting di kepala anak daro kelihatan cukup unik pula bentuknya. Sunting seperti itu sudah jarang kita lihat sekarang. Sementara di tangannya terdapat semacam pundi-pundi kecil dengan untaian giring-giring berumbai-umbai. Baik anak daro maupun marapulai kelihatan pula memegang bongkahan salapah, tanda penjemputan oleh andan-pasumandan kedua belah pihak.

Terlalu banyak emas dan perak beruntai-untai menghiasi pakaian penganten Minangkabau. Mungkin karena pakaian penganten adalah salah satu simbol hidup badunia. Wanita Minangkabau sudah dari dulu dimanjakan dengan emas. Ida Pfeiffer, seorang wanita pengelana Jerman yang melintas Luhak Agam dalam perjalanannya ke Tanah Batak pada 1850 terkesima melihat banyak wanita Minang di Agam yang berkuku emas. Kuku emas itu ditempelkan di kuku yang sebenarnya. Ida mencatat bahwa semakin panjang kuku emas itu, semakin naik gengsi wanita itu di mata masyarakat (lihat: Pfeiffer 1852). Jadi, kalau sekarang banyak wanita mamanggakan kukunya yang berkutek mahal, itu mah masih masih keciiil di mata wanita Agam zaman dulu.

Sekarang warna kuning emas masih mendominasi penampilan penganten Minangkabau. Namun, sayangnya makin lama model pakaian penganten Minang makin seragam. Berbagai variasi lokal makin menghilang. Globalisasi, seperti sering dikeluhkan, telah membuat banyak hal di dunia ini, yang fisik maupun yang non-fisik, makin seragam.
 
*Penulis: Wulandari Permatasari, Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »