Avatar 2, Podium Orasi James Cameron Soal 5 Isu Lingkungan

BENTENGSUMBAR.COM - James Cameron resmi merilis Avatar 2 yang bertajuk The Way of Water pada 14 Desember. Seperti film pertamanya, sekuel kali ini penuh dengan pesan lingkungan dari sutradara yang juga aktivis lingkungan itu.

Hal itu pun diakui oleh salah satu produser Avatar 2, Jon Landau, kala berbincang dengan Yahoo! Movies Inggris yang rilis pada Kamis (15/12).

"Saya pikir awalnya, ketika kami membuat Avatar pertama, itu adalah sesuatu yang harus diyakinkan oleh studio agar tidak negatif," kata Landau soal isu perubahan iklim dalam film tersebut.

"Apa yang kami coba bilang ke mereka adalah kami punya kewajiban untuk mengisahkan cerita yang memiliki tema sosial," lanjutnya.

"Kami ingin terus memainkan peran dalam menyadarkan orang-orang tentang masalah yang dihadapi dunia kita. Isu-isu adalah lingkungan, sosial, dan saya pikir Avatar: The Way of Water menyentuh kedua hal itu," kata Landau.

Berikut sejumlah pesan James Cameron soal lingkungan yang ia bahas dalam Avatar 2: The Way of Water.

1. Penambangan

Sindiran James Cameron terhadap industri tambang jelas terlihat dalam Avatar 1 (2009). Dalam ceritanya, RDA yang berasal dari Bumi datang ke Pandora untuk mencari bahan tambang bernama unobtanium.

Mineral tersebut kala itu disebutkan laku di Bumi dengan nilai US$20 juta per kilogram. Demi mendapatkan cuan, manusia melalui RDA mulai mengincar untuk memusnahkan hutan di Pandora yang diyakini menyimpan cadangan mineral.

Cameron seolah menggambarkan berbagai kasus dalam industri penambangan yang dilaporkan telah menimbulkan banyak kerusakan lingkungan, mulai dari penggundulan hutan, hingga lubang bekas penggalian yang tak bisa diperbaiki.

Pada Avatar 2 pun, sindiran Cameron semakin kental. Ketika RDA kembali datang ke Pandora, mereka menggunakan pesawat yang meluluhlantakkan sebagian hutan dan membakarnya.

Hingga ketika adegan berganti ke masa satu tahun setelahnya, wilayah hutan yang terbakar tersebut berubah menjadi tanah tandus dan berdiri kota yang dibangun RDA dan seutuhnya terbuat dari metal.

Ironisnya, Jenderal Frances Ardmore (Edith Falco) menyebut mereka membangun kota penuh metal dan lahan yang kini tandus itu karena Bumi tak lagi bisa ditinggali karena ulah mereka sendiri.

Menurut penelitian Achmad Subardja Djakamihardja dan Rhazista Noviardi dari LIPI atau kini bernama BRIN pada lahan pasca tambang timah di Bangka Barat, lahan bekas pertambangan memiliki tanah dengan kesuburan yang amat rendah.

"Tingkat kesuburan tanah dan tailing pada lahan di daerah bekas penambangan sangat rendah yang diakibatkan hilangnya lapisan atas tanah (top soil)," tulis mereka dalam Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Puslit Geoteknologi 2008.

"Tercuci dan hanyutnya unsur-unsur hara serta terjadinya perubahan sifat fisik, kimia, dan biologis dari tanah, sehingga terjadi degradasi (penurunan kualitas) lahan." lanjutnya.

2. Penindasan dan pengusiran suku asli

Sejak Avatar 1 (2009), James Cameron dengan jelas menunjukkan betapa bengis manusia alias Bangsa Langit saat datang ke wilayah baru seperti Pandora.

Sebagai pendatang, mereka bukan hanya datang tak diundang, tetapi juga berniat mengusir bangsa Na'vi yang merupakan penduduk asli Pandora. Bukan hanya sekadar mengusir, Bangsa Langit juga merendahkan pengetahuan bangsa Na'vi yang sejatinya berasal kearifan lokal dan selaras dengan alam mereka.

Namun Bangsa Langit alias manusia merasa superior dengan segala teknologi yang mereka punya sehingga sewenang-wenang terhadap bangsa Na'vi. Meski pada akhirnya, manusia bisa diusir dengan magis dan kekuatan bangsa Na'vi.

Lewat narasi itu, James Cameron juga seolah menyindir berbagai perusahaan besar yang kerap dilaporkan mengusir penduduk asli saat mereka datang untuk mengembangkan bisnis di suatu tempat.

"Perusahaan pertambangan kadang mengabaikan karakteristik lokal," kata dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Nafsiatun, dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2016 lalu.

"Padahal kearifan lokal menjadi penting apalagi masyarakat yang tinggal di area pertambangan mempunyai kebiasaan hidup ramah lingkungan yang turun-temurun," lanjut Nafsiatun, dikutip dari laman UGM.

3. Perburuan paus

Selain dua sindiran di atas, James Cameron memperluas pesan lingkungannya dalam semesta Avatar melalui Avatar 2, The Way of Water. Sejalan dengan latar cerita yang kini berpusat di pesisir dan lautan, James Cameron menyoroti soal perburuan hewan tulkun yang di Bumi mirip dengan paus.

Dalam Avatar 2, tulkun dikisahkan kerap diburu oleh Bangsa Langit untuk kemudian diperdagangkan. Konon, cairan dalam otak tulkun yang bernama amrita amat dicari oleh manusia di Bumi dengan harga US$80 juta per tabung.

Perburuan tulkun pun dilakukan bukan dengan peralatan sederhana. Mengingat ukuran tulkun yang besar seperti paus di Bumi, sejumlah manusia berburu makhluk mirip ikan itu dengan peralatan canggih.

Narasi itu mirip dengan berbagai laporan soal perburuan paus di lautan. Mulai dari nelayan hingga perusahaan asing sengaja berburu paus dan hiu untuk diperdagangkan.

Perburuan paus diperkirakan telah dilakukan manusia sejak 3000 SM. Paus diburu untuk mendapatkan sejumlah produk, mulai dari daging, minyak, hingga lemaknya.

Namun jumlah perburuan terhadap paus atau whaling semakin meningkat sejak teknologi modern diciptakan.

Menurut data International Whaling Commission yang diakses pada Desember 2022, sejak pendataan dimulai pada 1985, tercatat sudah ada lebih dari 56 ribu ekor paus ditangkap.

Pada 2019, jumlah paus di lautan Bumi diperkirakan mencapai 1,3 juta, Namun bila jumlah mereka dikembalikan pada era sebelum ada perburuan, jumlah paus di lautan bisa mencapai 4-5 juta ekor.

Padahal dalam studi yang dipublikasikan pada 2010, tubuh-tubuh paus di lautan bisa menyerap karbon dioksida (CO2) di atmosfer yang dianggap sebagai salah satu senyawa penyebab efek rumah kaca dalam perubahan iklim.

4. Sindiran untuk kosmetika

James Cameron tampak tak ingin berhenti hanya sampai pada masalah perburuan hewan laut dalam Avatar The Way of Water. Lewat kasus itu pula, Cameron menyindir industri kosmetika.

Perburuan tulkun dalam The Way of Water dilakukan sejumlah manusia dari RDA karena mengincar cairan dalam otak hewan Pandora tersebut.

Cairan kental berwarna kuning itu disebut memiliki khaisat untuk bisnis kosmetika karena mampu membuat manusia berhenti menua alias anti-aging, bahkan disebut seolah-olah bagai abadi alias immortal.

Kasus kekerasan pada hewan sejatinya sudah sejak lama diarahkan kepada industri kosmetika. Sejumlah laporan menyebut bahwa hewan kerapkali digunakan sebagai percobaan untuk menguji keamanan kosmetik yang dibuat.

Praktik ini diyakini sudah dilakukan manusia sejak dulu, tapi meningkat pada abad ke-19 dan 20 seiring dengan perkembangan industri kosmetik. Dalam praktik ini, hewan uji akan dicekoki bahan kosmetika dari hidung, dipaksa menelan, disuntikkan, hingga diteteskan di sekitar mata mereka.

Hewan uji bakal mengalami berbagai efek samping, mulai dari kecanduan bahan kimia, hingga buta, mandul, kulit terbakar, tertusuk, hingga infeksi virus dan kematian.

New Straits Times pada 2017 melaporkan sebuah komposisi kosmetik baru yang diuji kepada hewan bisa membunuh setidaknya 1.400 hewan.

5. Potret masyarakat pesisir

Avatar The Way of Water yang berpusat di kehidupan klan Metkayina tampak sebagai upaya James Cameron menyoroti kehidupan masyarakat pesisir dan di pulau-pulau terpencil.

Kehidupan mereka yang sepenuhnya bergantung pada kondisi laut sejatinya berlangsung damai dan sejahtera, sampai manusia pendatang atau Bangsa Langit datang.

Meski plot utama Avatar 2 adalah ketika RDA mencari Jack Sully yang bersembunyi di suku Metkayina, tapi potret bahwa banyak aksi manusia terhadap laut ikut membuat kehidupan suku asli pesisir itu terganggu.

Salah satu hal dari perbuatan manusia yang mengancam kehidupan masyarakat pesisir dan di pulau-pulau terpencil adalah berkaitan dengan eksploitasi alam dan perubahan iklim.

Menurut laporan USAID pada 2016 yang dikutip LCDI Indonesia pada 2022, kerusakan dan kehilangan akibat perubahan iklim tertinggi berada pada sektor laut dan pesisir, termasuk berdampak pada masyarakat yang tinggal di sana.

Ancaman yang bisa menghadang masyarakat pesisir akibat perubahan iklim berupa mulai dari luas daratan yang hilang akibat tenggelam air laut, kerusakan ekosistem pesisir, perubahan mata pencaharian masyarakat pesisir, hingga penurunan biodiversitas pesisir.

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »