Langkah Jokowi Diacungi Jempol, Bisa Bikin RI Banjir Dolar

BENTENGSUMBAR.COM - Keputusan Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk mewajibkan para eksportir memarkirkan devisa hasil ekspornya di dalam negeri dinilai positif oleh berbagai pihak, termasuk pelaku pasar dan ekonom.

Keputusan ini Jokowi tetapkan setelah menggelar rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Rabu (11/1/2023). 

Dari hasil rapat kabinet ditetapkan bahwa pemerintah akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE).

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk David Sumual mengungkapkan keputusan ini merupakan langkah maju dalam pengelolaan DHE.

"Artinya ini satu langkah lebih baik, sehingga nanti bisa menambah likuditas valas di dalam negeri," ujar David kepada CNBC Indonesia, Rabu (11/1/2023).

David menekan, dampak positif dari revisi aturan itu, sehingga bakal adanya aturan terkait rentang waktu lamanya eksportir harus memarkirkan dolar nya di tanah air, maupun perluasan sektor industri yang tidak hanya industri ekstraktif, tentu akan menambah pundi-pundi dolar di Tanah Air.

"Ujung-ujungnya kan likuditas kita harapkan tambah meningkat, sehingga suku bunga dana juga menurun dan ini sangat baik untuk sektor riil," tutur David.

"Selama ini untuk pinjaman valas kita, juga kredit valas meningkat cukup tinggi akhir-akhir ini, nah ini kebutuhan valas yang besar ini juga akan memengaruhi kurs nya pada akhirnya," ucapnya.

Kendati begitu, David mengingatkan, rencana pengaturan ini juga harus diiringi dengan peningkatan instrumen finansialnya, khususnya dalam bentuk valas, supaya devisa yang parkir bisa memberi nilai tambah lebih bagi perekonomian dalam negeri.

"Harus dimanfaatkan optimal termasuk juga hasil ekspornya dan ini juga akan membantu perekonomian, karena memang kalau menurut data BI tidak sepenuhnya masuk ke dalam negeri ya hasil ekspor itu jadi berfluktuatif ya, 70-80% menurut mereka tapi belum semuanya," kata David.

David menganggap kelemahan terbesar pengelolaan devisa hasil ekspor sebelumnya terletak pada ketentuannya yang hanya menitikberatkan pada pencatatannya saja, tidak sampai pada pemanfaatannya.

"Itu kan kelemahan dari aturan yang lama, hanya pencatatan. Kalau bisa ya lebih lama berada di dalam negeri walaupun ada lagi negara yang lebih esktrem lagi seperti Malaysia itu harus dikonversi," ucapnya.

Apalagi, sesuai Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, David menekankan, sumber daya alam Indonesia yang dikeruk dan telah diberizin oleh negara supaya bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi rakyat harus dinikamti juga oleh masyarakat ketika hasilnya dijual ke luar negeri.

Namun, ia menekankan, ini bisa berlaku hanya untuk industri ekstraktif, sedangkan untuk industri manufaktur akan lebih sulit nantinya diwajibkan untuk memarkir dolar hasil ekspornya di dalam negeri. Sebab, mereka masih sangat membutuhka dolar untuk impor bahan baku.

"Masih banyak untuk input impor ya, barang input yang harus kita impor, ini kelemahan kita, industri kita itu di tengah bolong, jadi banyak harus yang kita penuhi dari impor. Nah ini memang ada alasan itu yang cukup wajar bagi mereka," ungkap David.

Maka, ia mengingatkan, akan semakin penting nantinya jangka waktu yang akan diputuskan pemerintah untuk mewajibkan para eksportir memarkirakn dolarnya di dalam negeri. 

Sebab, jangka waktu itu juga harus diiringi dengan kebijakan pemanfaatan dolarnya melalui berbagai instrumen finansial.

"Langkah selanjutnya yang harus dipertimbangkan juga, kalau diperusahaan itu rencana bisnis ya, atau rencana kita itu sebagai negara dana likuditas mau dikemanakan, kita mendorong apa? Kita mau jualan apa ke depan? ini juga harus dipertimbangkan. Jangan sampai dana itu idle di dalam negeri, jadi harus dimanfaatkan juga," tuturnya.

Adapun, keputusan ini membawa rupiah menguat. Pada awal perdagangan kemarin, Rabu (12/1/2023), rupiah sempat berfluktuasi, tetapi memasuki tengah hari rupiah langsung menguat cukup tajam. Rupiah kemudian mengakhiri perdagangan di Rp 15.480/US$, menguat 0,58%.

Dengan penguatan tersebut rupiah menjadi mata uang terbaik Asia. Sementara itu, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengungkapkan BI tentu mendukung untuk penguatan ketahanan eksternal ekonomi Indonesia. Namun, BI tetap menyoroti implementasinya.

"Hanya saja dalam pelaksanaan nanti harus hati-hati agar tidak ditafsirkan sebagai secara keliru," ujar Erwin kepada CNBC Indonesia, Rabu (11/1/2023).

Ketakutan BI beralasan, pasalnya dalam Undang-Undang (UU) yang mengatur soal devisa, Indonesia masih menganut devisa bebas, bukan sebaliknya, yakni kontrol devisa.

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »