Festival Boronadoe Atau "Harimau" di Nias Selatan

Festival Boronadoe Atau "Harimau" di Nias Selatan
Festival Boronadoe atau Harimau adalah sebuah patung yang dilemparkan ke dalam air. Narasi De Rijnsche zending - 1912. (Foto: Geheugendelpher).
SEKILAS
tentang tradisi atau festival tersebut menurut apa yang disampaikan oleh kepala suku Fasa kepada Misionaris Barutta di Nias Selatan (1912)

Festival Boronadoe atau Harimau adalah sebuah patung yang dilemparkan ke dalam air.  Ia diarak keliling desa lima hari sebelumnya dimana untuk menghormatinya setiap desa menyembelih seekor babi (14 kampung ikut serta dalam festival ini).

Secara keseluruhan dibuat 4 patung yang dilempar ke dalam air pada satu tempat dan waktu yang bersamaan.

Di satu desa, yaitu desa tempat tinggal pendeta, pengorbanan juga dilakukan.

Di sana, 5 hingga 20 utusan dari setiap desa berkumpul dan mengikuti apa yang ditunjukkan pendeta yaitu tidak bolĂ©h mengerjakan apapun selama 8 hari dan tidak seorang pun boleh pergi ke ladang untuk mengambil makanan;  semuanya tinggal di rumah dan beristirahat.

Festival yang dirayakan setiap 7 tahun ini  merupakan tradisi yang sudah sangat tua serta sangat penting.

Setelah festival tersebut, diyakini, tanah akan berbuah lagi, padi akan tumbuh subur, kentang akan tumbuh besar, dan orang-orang tidak akan kelaparan.

Selama berhari-hari masyarakat menyeret Harimao (Tijpse), berkeliling desa. 

Banyak yang memikul beban datang kepada misionaris untuk mendapatkan minyak urapan.

Harimau tersebut sangat berat, karena patung kayu besar yang menyerupai hewan berkaki empat itu diikatkan pada tiang setinggi 8 meter, berdiri di atas perancah yang diangkat dengan susah payah oleh 20 orang.

Pada hari perayaannya, ada pemandangan yang aneh : 5 kelompok masyarakat Nias berbaris di alun-alun kampung, semuanya mengenakan pakaian pesta, helm besi, jaket prajurit yang terbuat dari kulit kerbau, di satu tangan memegang tombak, di tangan lainnya memegang perisai (seperti inilah rupa prajurit biasa) para bangsawan tampil sebagai perwira (cawat mereka berwarna kuning cerah, merah, dsb., jaket dan tutup kepala mereka berhiaskan emas, dan pisau berkilau di tangan mereka).

Mereka berdiri di sana, dan masing-masing kelompok menyanyikan lagu-lagu perayaannya.

Warga Tionghoa dan Melayu dari Telok Dalam dan Lagoboti hadir dalam jumlah besar sebagai penonton.

Tiba-tiba terjadi pergerakan dalam barisan.  Mereka mengambil posisi di pintu masuk desa, dalam kelompok2 beranggotakan enam orang dengan dua barisan barlapis.

Sementara beberapa juara menampilkan tarian, barisan bergerak mengikuti irama, menari, menuju pusat desa, tempat para juara melakukan pertarungan tiruan.

Mereka adalah kelompok yang beranggotakan lebih dari 150 orang. Ketika perisai dipukul di tangan dengan putaran yang sesuai, yang terdengar hanyalah satu suara, dan ketika orang banyak menghentakkan kaki sambil menari, lagi-lagi yang terdengar hanyalah seperti satu ledakan.  Maka tercapailah pusatnya, dan berbagai kelompok bertemu.

Kemudian ketua Bawamataloeo yang tua itu mengambil alih komando tertinggi, dan sesaat kemudian barisan saling mendekat dalam sebuah lingkaran sambil berlari, semuanya melompat ke udara kemudian berdiri diam.

Saat prosesi itu diulangi oleh kelompok lain, langit membuka pintu airnya dan turunlah HUJAN !

Hujan yang hanya bisa turun di daerah tropis.  Bagaimana dengan para prajurit?  mereka tidak lari ke kolong rumah, tidak, mereka melakukan tari-tarian dan pawai mereka dengan tertib tanpa tergesa-gesa, dan saat mereka berlari lumpur berhamburan ke atas dan ke samping, sampai perintah komandan mereka menghentikan mereka.

Keesokan harinya semua Harimau, berjumlah 4 buah tersebut dilemparkan ke dalam air.  Mereka sekali lagi terlihat di panggung dengan gaya yang megah. 

Ke-14 desa itu harus bersatu, tetapi selain 400 orang Hilisimaetano hanya ada tiga kampung lain;  Bawamataloeo dan pendukung kubunya tidak datang.

Dan untuk pertama kalinya, perselisihan muncul di festival populer ini.  Ketiga Harimau itu dibawa menuruni lereng gunung yang curam dan dilemparkan dari atas batu ke dalam air;  dua mencapai sasarannya, satu terjebak di semak-semak.  
(semoga ini pertanda baik untuk pelaksanaan festival tujuh tahun berikutnya)

*Ditulis: Marjafri - pendiri dan ketua komunitas anak nagari

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »