Rekomendasi atas temuan dugaan celah korupsi terkait izin TKA ternyata sudah pernah diserahkan KPK kepada Kemenakertrans saat dipimpin Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. |
Namun sayangnya, celah korupsi itu tidak diperbaiki hingga terjadi tindakan korupsi.
Jurubicara KPK, Budi Prasetyo mengatakan, pihaknya menyoroti praktik pemerasan terhadap TKA, khususnya dalam pengurusan perizinan kerja yang menjadi bagian dari layanan di sektor ketenagakerjaan.
"Seakan menjadi fenomena, sebelumnya KPK sudah mengidentifikasi modus pengurusan perizinan tersebut sejak tahun 2012," kata Budi kepada wartawan, Jumat, 13 Juni 2025.
Pada 2012, kata Budi, KPK melalui Direktorat Litbang telah melakukan kajian menyeluruh terhadap sistem layanan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), yang sekarang menjadi Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kemenakertrans atau yang kini menjadi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Dalam kajian tersebut, KPK telah memberikan sejumlah rekomendasi kepada kementerian yang dipimpin Cak Imin saat itu.
Seperti menutup ruang diskresi yang membuka ruang transaksional, membangun sistem layanan one stop service.
Selanjutnya, mengoptimalkan pengawasan internal agar tidak terjadi pertemuan tertutup tanpa dokumentasi atau mekanisme kontrol publik, serta memperkuat sistem teknologi informasi guna mendukung transparansi dan efisiensi layanan IMTA.
"Ironinya, celah-celah dan pola itu kembali muncul dalam modus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengurusan TKA yang sekarang sedang kami lakukan penyidikan," terang Budi.
Adapun modus operandi yang dilakukan melalui proses penerbitan pengesahan RPTKA, di mana pihak-pihak di Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kemnaker diduga melakukan pemerasan kepada pemohon.
Meskipun pengajuan izin sudah dilakukan secara online, lanjut Budi, namun masih ditemukan adanya pemerasan dalam proses pembuatan izin tersebut, yang diantaranya melalui pertemuan langsung antara petugas dan pemohon, ataupun komunikasi lewat pesan pribadi.
Karena praktik dan modus tersebut terus berulang, KPK menilai bahwa implementasi rekomendasi tersebut belum berjalan optimal atau hanya bersifat parsial.
Untuk itu, pasca penindakan, KPK akan melakukan mitigasi risiko terkait hal tersebut secara paralel, baik melalui perbaikan pencegahan korupsi di Kemnaker, maupun melakukan kajian lanjutan secara komprehensif, dengan fokus pada pembenahan tata kelola ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya dalam hal Rencana Penggunaan TKA (RPTKA).
"Secara umum, KPK tentu juga mendorong seluruh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk aktif memperbaiki tata kelola perizinan, membangun sistem yang transparan, serta memperkuat integritas aparatur pelayanan," tegas Budi.
"Upaya bersama ini diharapkan mampu memperkuat kepercayaan dunia internasional dan berkontribusi pada peningkatan skor Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia," sambung Budi menutup.
Pada Kamis, 5 Juni 2025, KPK secara resmi mengumumkan identitas 8 orang tersangka dalam perkara ini.
Yakni Suhartono selaku Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) tahun 2020-2023, Haryanto selaku Direktur PPTKA tahun 2019-2024 yang juga Dirjen Binapenta dan PKK tahun 2024-2025.
Selanjutnya, Wisnu Pramono selaku Direktur PPTKA tahun 2017-2019, Devi Angraeni selaku Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan PPTKA tahun 2020-Juli 2024 yang juga Direktur PPTKA tahun 2024-2025, Gatot Widiartono selaku Kepala Subdirektorat Maritim dan Pertanian Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK tahun 2019-2021 yang juga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) PPTKA tahun 2019-2024 serta Koordinator Bidang Analisis dan Pengendalian TKA Direktorat PPTKA tahun 2021-2025.
Kemudian 3 orang staf pada Direktorat PPTKA tahun 2019-2024, yakni Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Dari pemerasan yang dilakukan di periode 2019-2024, KPK telah mengidentifikasi bahwa oknum-oknum di Kemnaker menerima uang sebesar Rp53,7 miliar dari para agen-agen perusahaan pengurusan TKA yang akan bekerja di Indonesia.
Namun, perkara pemerasan ini sudah berlangsung sejak 2012-2024 di era Muhaimin Iskandar alias Cak Imin hingga era Ida Fauziyah.
Di mana, Haryanto yang saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Internasional menerima uang paling besar, yakni sebesar Rp18 miliar.
Sedangkan tersangka lainnya, yakni Suhartono menerima uang sebesar Rp460 juta, Wisnu menerima uang sebesar Rp580 juta, Devi menerima uang sebesar Rp2,3 miliar, Gatot menerima uang sebesar Rp6,3 miliar, Putri menerima uang sebesar Rp13,9 miliar, Jamal menerima uang sebesar Rp1,1 miliar, dan Alfa menerima uang sebesar Rp1,8 miliar.
Sedangkan sisanya, digunakan untuk dibagikan kepada para pegawai di Direktorat PPTKA sebagai uang 2 mingguan.
Para pihak tersebut menggunakan uang itu untuk kepentingan sendiri, dan untuk membeli sejumlah aset yang dibeli atas nama sendiri maupun atas nama keluarga.
Uang tersebut juga diberikan kepada hampir seluruh pegawai Direktorat PPTKA kurang lebih 85 orang sekurang-kurangnya sebesar Rp8,94 miliar. (*)
Sumber: RMOL
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »