Guru Besar Ilmu Hukum Unila, Prof Rudy menyoroti kewenangan Menag dalam mengelola kuota haji. |
Menurutnya, penetapan kuota tambahan merupakan atribusi Menag yang diatur dalam undang-undang.
Hal itu diungkapkan terkait dengan dugaan korupsi kuota haji yang tengah diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rudy mengatakan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU) hadir sebagai instrumen hukum yang memastikan tata kelola kuota haji berjalan adil, transparan, dan akuntabel. Aturan itu juga tertuang dalam Pasal 9 UU PIHU.
"Kewenangan Menteri Agama dalam menetapkan kuota tambahan bersifat atribusi, diberikan langsung oleh undang-undang, sehingga bukan merupakan perbuatan melawan hukum," ujarnya, Kamis (25/9/2025).
"Kuota tambahan sebagaimana diatur Pasal 9 UU PIHU berdiri sendiri, bersifat dinamis, dan dapat dikelola secara fleksibel sepanjang berlandaskan prinsip keadilan, proporsionalitas, dan kepentingan umum,” sambungnya.
Rudy menjelaskan, pokok analisisnya mendasarkan pada beberapa pertimbangan dalam aturan.
Pertama, Pasal 8 UU PIHU-Kuota Dasar yang memberikan kewenangan kepada Menteri Agama untuk menetapkan kuota haji Indonesia setiap tahun, yang terbagi menjadi haji reguler dan haji khusus.
Kemudian, Pasal 9 UU PIHU-Kuota Tambahan; Ayat (1) menegaskan kewenangan atribusi Menteri untuk menetapkan tambahan kuota yang diberikan Arab Saudi.
Sedangkan, Ayat (2) memberi ruang pengaturan teknis melalui Peraturan Menteri, dengan tetap menjunjung asas transparansi dan keadilan.
"Pasal ini memadukan beschikking (penetapan konkret) dan regeling (pengaturan normatif)," ujarnya.
Ia menekankan, pengaturan kuota haji dalam UU No. 8 Tahun 2019 adalah refleksi konstitusionalisme Indonesia, menyeimbangkan keterbatasan eksternal (kuota dari Arab Saudi) dengan kebutuhan internal (hak warga negara).
Kemudian, pada Pasal 64 UU PIHU-Kuota Haji Khusus; Menetapkan alokasi rigid sebesar 8 persen dari kuota dasar bagi haji khusus.
Norma ini, kata Prof Rudi, menjamin distributive justice tanpa mengganggu fleksibilitas kuota tambahan.
Rudy menegaskan, dari tiga pasal utama dalam UU PIHU membentuk kerangka normatif yang saling melengkapi, yakni Pasal 8 menghadirkan kepastian hukum dalam penetapan kuota dasar.
Pasal 9 memberikan ruang adaptif untuk tambahan kuota.
Selanjutnya Pasal 64 menjamin keadilan distributif dengan mengunci proporsi haji khusus.
"Dengan konstruksi hukum ini, kebijakan Menteri Agama terkait penetapan kuota tambahan tidak dapat disebut melawan hukum. Yang terpenting adalah memastikan keselamatan, kenyamanan, serta hak jamaah tetap menjadi prioritas utama dalam penyelenggaraan ibadah haji,” imbuhnya. (*)
Sumber: Okezone.com
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »