Sejak saat itu, Kejaksaan Republik Indonesia berdiri sebagai institusi penegak hukum yang memiliki kewenangan luas. |
Sejak saat itu, Kejaksaan Republik Indonesia berdiri sebagai institusi penegak hukum yang memiliki kewenangan luas: dari penyidikan tindak pidana tertentu, penuntutan di pengadilan, pengawasan pelaksanaan putusan, hingga peran intelijen penegakan hukum.
Hari Jadi Kejaksaan RI tiap tahun menjadi momen refleksi: sejauh mana korps Adhyaksa—dengan semboyannya Satya, Adhi, Wicaksana—menjalankan tugasnya menjaga supremasi hukum, kepastian, dan keadilan.
Di usia lebih dari enam dekade, sorotan publik terhadap lembaga ini kian tajam.
Kejaksaan bukan lagi institusi yang bekerja di balik meja berkas, tetapi berada di panggung utama dinamika politik dan hukum nasional.
Jejak Sejarah dan Fondasi Kelembagaan
Secara historis, fungsi penuntutan sudah ada sejak era kolonial dengan posisi Lands Procureur dalam sistem peradilan Belanda. Setelah proklamasi, peran itu berada di bawah Menteri Kehakiman.
Namun, pengalaman praktik menunjukkan perlunya pemisahan fungsi agar penegakan hukum tidak semata diwarnai pertimbangan administratif.
Keputusan Presiden 1960 itulah yang menegaskan Kejaksaan sebagai lembaga independen.
Fondasi hukum Kejaksaan kini diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Undang-undang ini memperluas peran jaksa, termasuk di bidang perdata dan tata usaha negara, serta mengatur kewenangan dalam penyidikan tindak pidana tertentu seperti korupsi dan pelanggaran HAM berat.
Wajah di Mata Publik
Bagi masyarakat luas, wajah Kejaksaan kerap diukur dari kinerjanya mengusut kasus-kasus besar, terutama korupsi.
Beberapa tahun terakhir, Kejaksaan Agung mencatat sejumlah operasi penting, antara lain perkara korupsi PT Asabri yang merugikan negara lebih dari Rp22 triliun, serta kasus korupsi timah di Bangka Belitung dengan potensi kerugian negara mencapai Rp271 triliun menurut perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kasus-kasus ini menegaskan keberanian Kejaksaan masuk ke jantung bisnis besar dan jaringan kekuasaan.
Namun, di saat bersamaan, bayang-bayang jaksa nakal, praktik mafia perkara, dan suap di lingkungan peradilan masih menjadi momok.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) secara berkala menyoroti perlunya pengawasan ketat terhadap aparat Kejaksaan.
Publik masih menuntut agar kejadian-kejadian penyimpangan, meski dilakukan oknum, tidak dianggap lumrah dalam tubuh lembaga yang mestinya tegak lurus pada hukum.
Digitalisasi dan Reformasi Internal
Dalam beberapa tahun terakhir, Kejaksaan mencoba memperbaiki diri melalui digitalisasi layanan.
Jaksa Agung ST Burhanuddin, yang menjabat sejak 2019, mendorong sistem case management berbasis teknologi, transparansi informasi perkara, serta modernisasi pelayanan publik.
Misalnya, peluncuran aplikasi CMS (Case Management System) dan e-Tilang yang memudahkan proses hukum lebih cepat dan akuntabel.
Reformasi internal juga menyasar pada penguatan Jamwas (Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan) agar pengawasan internal berjalan efektif.
Meski demikian, efektivitas reformasi ini tetap tergantung pada komitmen individu jaksa dan dukungan politik untuk menjadikan Kejaksaan benar-benar merdeka dari intervensi.
Simbol Kekuasaan, Garda Keadilan
Kejaksaan memiliki posisi unik dibanding lembaga penegak hukum lain. Jika kepolisian identik dengan penyidikan dan pengamanan, sementara pengadilan berperan mengadili, maka Kejaksaan menjadi simpul yang menghubungkan keduanya.
Jaksa adalah satu-satunya pihak yang bisa membawa perkara pidana ke pengadilan. Karena itulah, setiap langkah Kejaksaan sangat menentukan apakah keadilan bisa ditegakkan atau justru tersandera.
Dalam teori negara hukum, jaksa kerap disebut sebagai dominus litis—pengendali perkara. Posisi ini menjadikan Kejaksaan sekaligus simbol kekuasaan negara dalam menuntut, namun juga garda terakhir bagi keadilan warga negara.
Keseimbangan antara kekuasaan dan tanggung jawab inilah yang terus diuji dalam praktik sehari-hari.
Tantangan di Era Politik Baru
Memasuki periode pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Kejaksaan menghadapi tantangan yang tak ringan.
Di satu sisi, masyarakat menaruh harapan besar agar Kejaksaan konsisten mengusut korupsi kelas kakap tanpa pandang bulu.
Di sisi lain, dinamika politik lima tahun ke depan berpotensi menekan independensi lembaga ini, apalagi ketika kasus menyentuh lingkaran kekuasaan.
Kolaborasi dengan lembaga lain, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri, akan menentukan arah pemberantasan korupsi ke depan.
Rivalitas sektoral yang pernah muncul di masa lalu harus dihindari demi menjaga efektivitas penegakan hukum.
Refleksi Hari Jadi
Hari Jadi Kejaksaan RI tahun ini sepatutnya menjadi ruang refleksi. Di satu sisi, ada capaian besar dalam membongkar korupsi raksasa yang merugikan negara ratusan triliun.
Di sisi lain, ada pekerjaan rumah berupa membangun integritas aparat, memperkuat sistem pengawasan, serta memperdalam transformasi digital.
Kehadiran Kejaksaan mestinya menjadi pengacara negara untuk rakyat, bukan perpanjangan tangan kekuasaan. “Tegak lurus” bukan hanya slogan, tetapi harus mewujud dalam keberanian jaksa menuntut keadilan, meski berhadapan dengan tembok besar politik dan ekonomi.
Publik tentu masih menaruh curiga, tetapi juga menyimpan harapan. Sebab dalam perjalanan panjang republik ini, Kejaksaan selalu berada di garis depan ketika hukum dipertaruhkan.
Pada akhirnya, Hari Jadi ke-65 bukan sekadar perayaan, melainkan pengingat: kepercayaan publik adalah modal utama yang tidak boleh sekali pun disia-siakan.
(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »