Anike Mengadu ke PWI Sumbar, Diberhentikan Jadi ASN Kecamatan Pulau Punjung: Apa Salah Saya?

Anike Mengadu ke PWI Sumbar, Diberhentikan Jadi ASN Kec. Pulau Punjung,  Apa Salah Saya?
Tangannya menggenggam tas warna coklat dengan memperagakan selembar surat keputusan (SK) yang telah mengubah seluruh hidupnya.
BENTENGSUMBAR.COM
- Mata sembab, air mata berlinang dan suara bergetar, seorang perempuan mendatangi Kantor PWI Sumatera Barat, Kamis (30/10/2025) siang. Tangannya menggenggam tas warna coklat dengan memperagakan selembar surat keputusan (SK) yang telah mengubah seluruh hidupnya. Di sampingnya, seorang bocah kecil berusia tujuh tahun menatap polos, seolah tak memahami mengapa wajah ibunya tampak begitu sendu.

Perempuan itu bernama Anike Maulana, A.Ma., akrab disapa Nike — dan mengaku seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kantor Camat Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya,Sumatera Barat. Sejak 1 Oktober 2025, statusnya sebagai abdi negara resmi berakhir. Ia diberhentikan berdasarkan SK Nomor 800.1.6.2/19/BKPSDM-2025 yang ditandatangani oleh Bupati Dharmasraya, Anisa Suci Rahmadani.

Namun, yang membuat hatinya hancur bukan sekadar surat itu, melainkan ketiadaan alasan. Tidak ada teguran. Tidak ada pemeriksaan. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya. “Saya tidak tahu salah saya apa,” katanya dengan suara lirih di ruang tamu kantor PWI Sumbar. 

“Selama ini saya bekerja dengan jujur, tidak pernah bolos, tidak pernah menolak tugas. Tapi tiba-tiba saya diberhentikan," sambungnya.

Ia sempat berhenti berbicara, menunduk, menahan air mata. Di pangkuannya, anaknya yang masih kecil menggoyang-goyangkan kakinya tanpa suara. “Kalau saya salah, tolong tunjukkan kesalahannya. Tapi kalau tidak, kenapa saya harus dihukum seperti ini?”

Menutur penuturannya kepada fajarsumbar.com, dia menduga perihal ini bermula beberapa bulan lalu, saat hubungan Nike dengan salah seorang Kasubag Kepegawaian di kantor kecamatan dikabarkan memburuk dengan alasan tertentu. Tapi dia tidak menuduh ini awal kejadian yang membuat nasibnya seperti saat ini.

Sejak saat itu suasana kerja terasa berbeda. “Saya mulai dijauhi, data absensi saya di sistem diblokir. Akun kepegawaian saya juga tidak bisa diakses,” ucapnya.

Ia mengira itu hanya masalah teknis, sampai akhirnya semua aksesnya benar-benar tertutup. Ia tak bisa absen, tak bisa memperbarui data, bahkan tak bisa login ke akun MFA (Multi-Factor Authentication) — sistem yang wajib digunakan ASN. “Saya sudah lapor ke atasan, tapi tidak ada tindakan. Yang datang malah surat pemberhentian,” ujarnya getir.

Surat itu diterbitkan pada 1 Oktober, namun baru diterimanya pada 24 Oktober 2025. Lebih dari tiga minggu lamanya, ia bekerja tanpa tahu dirinya sudah bukan lagi ASN. “Saya seperti dibuang diam-diam,” ucapnya pelan.

Sebelum terima SK pemberhentian tu, Nike pernah mengadu ke berbagai pihak. Ia mengirim surat kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Gubernur Sumatera Barat pada 21 April 2025, menjelaskan dugaan diskriminasi yang dialaminya. Namun, tak satu pun dari kedua instansi itu memberi tanggapan.

“Saya tunggu berbulan-bulan, tapi tak ada kabar. Akhirnya saya pasrah, sampai tiba-tiba SK pemberhentian itu keluar. Saya seolah tidak dianggap ada,” katanya menunduk.

Kini, dengan status janda dan seorang anak kecil yang masih harus sekolah, dunia Nike serasa runtuh. Gaji ASN yang dulu jadi penopang hidup, kini tak lagi ia miliki. “Saya cuma pegawai rendahan, gaji saya tidak seberapa. Tapi dari situ saya bisa bayar sekolah anak, bisa makan, bisa hidup. Sekarang, saya tidak tahu harus mulai dari mana,” ucapnya menahan tangis.

Kedatangannya ke Kantor PWI Sumatera Barat hari itu bukan untuk mencari simpati, tapi tempat terakhir mengadu. “Saya tidak tahu harus kemana lagi. Sudah saya laporkan secara resmi, tapi tidak ada jawaban. Saya hanya ingin cerita ini didengar, supaya ada yang peduli,” tuturnya.

Air matanya menetes saat ia mengingat ucapan anaknya di rumah. “Anak saya bilang, ‘Bu, ibu kok nggak kerja lagi? Teman-teman bilang ibu sekarang di rumah terus.’ Saya jawab, ibu lagi capek. Tapi sebenarnya, saya menangis setiap kali dia bertanya.”

Setiap malam, ia memandangi seragam dinas yang masih tergantung rapi di lemari. Seragam itu, dulu kebanggaan keluarganya. Kini, menjadi pengingat pahit tentang pengabdian yang tak dihargai. “Saya dulu sangat bangga jadi ASN. Orang tua saya menangis bahagia waktu saya diangkat. Tapi sekarang, saya malah dihapus tanpa alasan,” katanya pelan.

Meski hancur secara batin, Nike belum sepenuhnya kehilangan harapan. Ia percaya, kebenaran akan muncul pada waktunya. “Saya tidak minta dikasihani. Saya cuma ingin tahu, apa kesalahan saya. Kalau saya memang salah, saya siap diperiksa. Tapi jangan begini caranya. Jangan buat saya seolah tidak pernah mengabdi,” ujarnya dengan nada tegas yang disertai isak tertahan.

Bagi rekan-rekan kerjanya, sosok Nike dikenal disiplin dan lembut hati. Salah seorang mantan rekan di kecamatan yang enggan disebut namanya mengatakan, “Nike itu rajin dan tidak pernah bikin masalah. Kami semua kaget waktu dengar dia diberhentikan. Tidak ada alasan yang jelas.”

Kisah ini bukan sekadar potret seorang ASN yang kehilangan pekerjaannya. Ini adalah cermin buram birokrasi — tempat di mana kekuasaan kadang lebih kuat dari keadilan, dan suara lemah sering tak terdengar.

Kasus seperti ini semestinya menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah dan lembaga kepegawaian. Setiap keputusan administratif yang menyangkut kehidupan seseorang seharusnya diambil dengan adil, transparan, dan berperikemanusiaan.

Anike Maulana mungkin hanyalah satu nama kecil di antara ribuan ASN di negeri ini. Tapi di balik namanya, ada cerita besar tentang perjuangan, pengabdian, dan air mata. Ada seorang ibu yang mencoba tetap tegar demi anaknya, meski hatinya hancur.

“Saya hanya ingin anak saya bangga sama ibunya,” katanya menatap kosong. “Saya ingin dia tahu, ibunya tidak menyerah. Ibu cuma mencari keadilan.”

Dan di ujung perbincangan, ia kembali memeluk anaknya erat-erat. Bocah kecil itu menatap ibunya dengan senyum polos, belum mengerti arti kehilangan. Tapi dari sorot mata sang ibu, kita tahu — keadilan yang hilang tak hanya merampas pekerjaan, tapi juga harapan.(Ab)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »