Pariwisata Sumbar Bertaruh Nyawa: Izin Bodong, Pengawasan Jelas Buta

Pariwisata Sumbar Bertaruh Nyawa: Izin Bodong, Pengawasan Jelas Buta
Penulis adalah Deza Putra Adelyen, Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Andalas.
MALAM
itu, di tepian Danau Diateh yang tenang, dua anak manusia sedang merajut mimpi. Gilang dan Cindy, pengantin baru yang baru saja mengikat janji suci, memilih glamping Lakeside Alahan Panjang sebagai saksi bisu bulan madu mereka. Namun fajar tak pernah datang untuk Cindy. 

Ia pergi dalam diam, dibunuh oleh gas yang mengendap di kamar mandi tanpa ventilasi. Tabung gas dan water heater dua benda yang seharusnya memberi kenyamanan justru menjadi algojo yang mencabut nyawanya. Tragedi ini bukan sekadar kecelakaan. Ini adalah pembunuhan berencana oleh sistem yang bobrok, pengawasan yang buta, dan politik pariwisata yang hanya memuja rupiah.

DPRD Kabupaten Solok telah mengeluarkan rekomendasi penertiban sebulan sebelum tragedi terjadi. Tiga belas anggota dewan dari berbagai fraksi duduk dalam panitia khusus, mengkaji, berdebat, lalu menghasilkan rekomendasi. Tapi rekomendasi itu hanya jadi tumpukan kertas di meja birokrasi. Glamping tetap beroperasi, pengunjung tetap berdatangan, dan maut tetap mengintai.

Ini adalah potret politik simbolik yang akut di negeri ini. Para wakil rakyat sibuk membuat rekomendasi untuk pencitraan, tapi tak ada tindak lanjut konkret. Mereka hadir di rapat paripurna, berfoto untuk publikasi, tapi absen ketika nyawa melayang. Politik kita telah berubah jadi pertunjukan teatrikal tanpa substansi.

Glamping Lakeside hanya memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) yang didaftarkan melalui sistem OSS, tanpa IMB, izin operasional, dan dokumen kesesuaian ruang. Dengan kata lain, tempat ini beroperasi ilegal. Tapi bagaimana mungkin bisnis ilegal bisa berjalan terang-terangan, bahkan beriklan di media sosial, menawarkan jetski dan paddle board?

Jawabannya terletak pada karakter kapitalisme predator yang menggerogoti tata kelola pariwisata kita. Modal besar bicara lebih keras dari regulasi. Pengusaha glamping ini tahu betul tempatnya ilegal, tapi ia juga tahu bahwa di negeri ini, uang bisa membeli kebutaan pengawas. Sistem perizinan yang seharusnya menjadi benteng pertahanan keselamatan publik, justru menjadi komoditas yang diperjualbelikan.

Parahnya lagi, Festival 5 Danau 2025 baru saja digelar meriah di lokasi yang sama, Alahan Panjang, dengan kehadiran Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah. Festival berskala nasional yang masuk kalender Kementerian Pariwisata ini seolah memberi legitimasi pada kawasan yang penuh bangunan ilegal. Negara merayakan pariwisata di atas kuburan regulasi yang telah mati.

Bangunan glamping didirikan di atas danau, masuk kategori reklamasi ilegal. Danau Diateh yang seharusnya menjadi ruang publik, kini diprivatisasi oleh segelintir pengusaha rakus. Mereka membangun di atas air, merusak ekosistem, mengabaikan tata ruang, semua demi mengejar profit.

Ini adalah wajah kolonialisme internal. Jika dulu penjajah asing merampas tanah kita, kini elit lokal yang melakukan hal sama. Mereka menjajah ruang publik, mengubah danau menjadi properti privat, dan rakyat kecil hanya bisa menonton dari jauh. Politik ruang di Sumatera Barat telah dikuasai oleh oligarki lokal yang berkolaborasi dengan birokrasi korup.

Balai Wilayah Sungai (BWS) yang seharusnya menjadi penjaga danau, justru membiarkan pembangunan liar merajalela. Kewenangan BWS atas Kawasan Danau Diateh hanya jadi pajangan di atas kertas. Mereka menunggu, katanya. Menunggu apa? Menunggu korban lain jatuh?

Inilah penyakit birokrasi kita: semua tahu aturan, tapi tak ada yang menegakkan. Semua paham prosedur, tapi lebih paham cara mengelaknya. Birokrasi kita telah bermetamorfosis jadi monster yang melahap korbannya sendiri (rakyat) yang seharusnya dilayani.

Tragedi Alahan Panjang adalah cermin dari politik birokrasi yang sakit. Para birokrat sibuk dengan formalitas administratif, tapi lupa esensi kehadiran mereka: melindungi publik. Mereka lebih takut pada atasan ketimbang pada kematian warga. Mereka lebih patuh pada perintah korup ketimbang pada hati nurani.

Indonesia adalah negara yang ahli dalam politik reaktif. Kita baru bergerak setelah ada korban. Baru ribut setelah ada mayat. Kasus glamping maut ini adalah déjà vu yang kesekian kalinya. Berapa banyak lagi Cindy yang harus mati sebelum negara benar-benar hadir?

Politik preventif adalah barang langka di negeri ini. Kita lebih suka drama ketimbang pencegahan. Lebih suka tangisan ketimbang antisipasi. Sebab tangisan bisa dijual ke media, bisa jadi bahan kampanye, bisa jadi modal politik. Sedangkan pencegahan? Tak ada yang peduli karena tak ada kamera yang meliput.

Festival Lima Danau 2025 yang masuk kalender Kharisma Event Nusantara Kementerian Pariwisata digelar megah, sementara di lokasi yang sama, bangunan-bangunan ilegal menjamur bak cendawan di musim hujan. Negara merayakan kesuksesan pariwisata sambil menutup mata pada bom waktu yang siap meledak.

Ini adalah politik dua wajah yang telah lama dipraktikkan. Di hadapan publik dan investor, pemerintah bersolek, memamerkan keindahan alam dan kemajuan pariwisata. Tapi di belakang panggung, regulasi diabaikan, keselamatan dilanggar, dan nyawa dipertaruhkan.

Cindy telah pergi. Ia menjadi tumbal dari sistem politik yang korup, birokrasi yang incompeten, dan kapitalisme yang rakus. Gilang masih terbaring, dengan selang oksigen dan trauma yang mungkin tak pernah hilang. Ia kehilangan istri di momen yang seharusnya paling membahagiakan.

Pertanyaan besarnya: siapa yang bertanggung jawab? Pengusaha yang mengoperasikan glamping ilegal? Birokrat yang membiarkan? DPRD yang hanya bisa memberi rekomendasi tanpa tindak lanjut? BWS yang punya kewenangan tapi tak bertindak? Atau gubernur yang menutup festival di atas tanah yang dipenuhi bangunan ilegal?

Jawabannya: semua. Ini adalah kejahatan kolektif. Pembunuhan berjamaah oleh sistem. Dan yang paling menyedihkan, tak akan ada yang dipenjara. Paling banter, glamping ditutup sementara, lalu buka lagi dengan nama baru. Business as usual di negeri para pemburu rente.

Pariwisata Sumatera Barat memang sedang bertaruh. Taruhannya bukan chip di meja kasino, melainkan nyawa manusia. Dan seperti penjudi yang kecanduan, mereka akan terus bertaruh sampai kehilangan segalanya. Termasuk kemanusiaan.

Alahan Panjang, tempat Cindy menghembuskan nafas terakhir, kini menjadi monumen kegagalan negara. Danau masih tenang, tapi di bawah permukaannya, ada darah yang tak akan pernah hilang. Darah dari sistem politik yang telah lama membusuk. (*)

*** Ditulis oleh: Deza Putra Adelyen, Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Andalas

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »