| Kisah ini dikutip dari memoar seorang prajurit Belanda yang selamat dari pertempuran di Guguk Malintang — salah satu babak paling berdarah dalam Perang Padri di Sumatra Barat. |
Kisah ini dikutip dari memoar seorang prajurit Belanda yang selamat dari pertempuran di Guguk Malintang — salah satu babak paling berdarah dalam Perang Padri di Sumatra Barat. Di antara desing mesiu dan dentuman meriam, tersimpan kesaksian yang mengerikan: bagaimana sebuah benteng yang dijaga dengan gagah akhirnya menjadi lautan api, dan bagaimana semangat yang mereka anggap akan tunduk justru menyala menelan segalanya.
Tahun 1841. Di pantai barat Sumatra, keadaan masih jauh dari tenang, masih jauh dari damai.
Meskipun perang Padri — yang mengoyak tanah Minangkabau selama bertahun-tahun — telah berakhir pada tahun 1837, dengan jatuhnya benteng Bondjol pada 16 Agustus di tangan pasukan Letnan Kolonel A. V. Michiels, namun daerah itu belum mengenal arti ketenteraman. Api perlawanan masih berasap di balik lembah, di antara kabut gunung. Kekacauan masih berdenyut.
Sering kali terjadi pertempuran kecil, dan bahkan setelah pendudukan atas Batipo, belum juga dapat dikatakan keadaan aman.
Pagi hari, tanggal 24 Februari 1841, sekitar pukul lima, saat embun masih menggantung di lereng-lereng hijau, seorang penjaga kamp Guguk Malintang melihat nyala besar di arah Padang Pandjang. Api membubung tinggi, merah membakar langit pagi. Ia segera memberi tahu komandan jaga, yang lalu bergegas melapor kepada perwira militernya, Letnan Dua J. B. Banzer.
Keduanya naik ke atas tanggul pertahanan, dan dari sana tampaklah sebagian besar bangunan di Padang Pandjang telah menjadi lautan api.
Banzer segera memerintahkan pasukannya bersiap di bawah senjata. Namun belum sempat perintahnya dilaksanakan, terdengar pekikan mengguncang udara: “Padries!”
Dan seketika, dari arah belakang, pasukan padri menyerbu ke dalam kamp dengan pekik perang yang menggetarkan dada. Mereka datang seperti badai. Pasukan Banzer belum sempat mengambil peluru, mereka hanya dapat bertahan dengan bayonet yang berkilat dalam cahaya api.
Letnan Banzer berusaha secepat mungkin mencapai reduit — benteng kecil pertahanan di mana tersimpan bubuk mesiu. Namun musuh telah menyebar di seluruh kamp. Mereka menyalakan api di setiap bangunan, dan dalam hitungan menit, seluruh kamp berubah menjadi neraka menyala.
Di tengah kobaran itu, sebagian berhasil berlindung di dalam reduit: de betaalmeester 2e klasse (1ste luitenant) G. Keppel, 3 Europ. en 2 Inl. onder-officieren, 2 Europ. en 2 Inl. korporaals, 7 Eur. fuseliers, 31 Inl. fuseliers
serta sekitar 44 perempuan dan anak-anak.
Namun semua persediaan makanan telah musnah — terbakar bersama kamp yang kini tinggal arang.
Musuh segera mengepung reduit. Mereka memanfaatkan tanggul pertahanan sebagai perlindungan untuk mendekat tanpa terlihat. Posisi reduit sangat tidak menguntungkan, bastion bagian timur terletak lebih tinggi dari reduit, membuat musuh dapat melihat dan menembaki siapa pun yang bergerak di dalamnya. Hari pertama saja sudah banyak yang terluka.
Namun pasukan kecil di dalam reduit tetap menembak tanpa henti, mencoba menghalangi pendekatan musuh. Di tengah kekacauan itu, mereka bernasib mujur menembak seekor babi kecil milik Letnan Keppel yang lepas, lalu membaginya di antara prajurit — santapan kecil di antara kepungan maut. Tetapi kekurangan air terasa jauh lebih menyiksa.
Air Sawah — Setetes Kehidupan di Tengah Neraka
Di daerah tropis seperti ini, tak tersedianya air bagi sembilan puluh jiwa termasuk mereka yang terluka adalah penderitaan yang tak terbayangkan. Bahkan untuk mencuci laras meriam pun mereka memerlukan air. Maka sang komandan memutuskan mengirim regu kecil untuk mencari air ke sawah terdekat.
Malam itu, di bawah hujan peluru dari kedua pihak, mereka berhasil membawa sedikit air sawah yang kotor dan keruh. Namun bagi yang sekarat kehausan, air itu terasa seperti nektar dari surga.
Kepungan, Granat, dan Tekad yang Terakhir
Keesokan paginya, 25 Februari, terlihat jelas bahwa musuh (Padri) tidak menyia-nyiakan malam. Mereka telah membuat rintangan-rintangan dan parit-parit perlindungan yang kini mengelilingi seluruh reduit. Letnan Banzer segera memahami: sebentar lagi, musuh akan melancarkan serangan besar.
Ia pun memberi perintah:
"isi granat-granat, letakkan di sepanjang tanggul pertahanan agar siap dilemparkan bila serangan benar-benar datang."
Dan memang, firasat itu segera terbukti.
Tepat pukul dua belas siang, serangan besar dimulai.
Letnan Banzer telah berunding dengan rekan perwiranya dan para bintara. Mereka sepakat:
Jika reduit tak lagi dapat dipertahankan melawan jumlah musuh yang jauh lebih besar, maka Banzer sendiri akan menyalakan sumbu bubuk mesiu, meledakkan semuanya, diri mereka, dan benteng itu daripada jatuh hidup-hidup ke tangan musuh.
Semangat itu sama seperti semangat Van Speyk pada tahun 1831 di Antwerpen, ketika ia meledakkan kanon perahu no. 2 miliknya agar tak jatuh ke tangan lawan.
Musuh mendekat hingga jarak 25 langkah dari reduit, tapi tembakan bertubi-tubi dari pasukan Banzer, serta ledakan granat yang dijatuhkan dari atas tanggul, membuat penyerang terkejut dan berhenti.
Serangan gagal menembus.
Sekitar pukul tiga sore, mereka mundur namun terus saja menembak dari kejauhan, dan kini mulai melempari reduit dengan batu-batu besar. Beberapa perempuan pun menjadi korban lemparan itu.
Saat malam turun, datanglah musuh baru: kelaparan.
Letnan Banzer mengirim patroli kecil untuk mencari makanan. Mereka bernasib sedikit beruntung, menemukan beberapa keladi liar di sekitar situ. Namun hasilnya tidak seberapa; hanya cukup untuk mengganjal perut, bukan mengenyangkan.
Malam 25 ke 26 Februari, langit mendadak pecah oleh hujan deras. Hujan itu disambut dengan syukur, air tertampung di helm, kaleng, dan kain. Namun kebahagiaan itu cepat berubah menjadi derita baru: tak ada tempat berteduh selain gudang mesiu. Semua basah kuyup. Dan lebih parah lagi, senapan-senapan mereka, yang telah aus karena terus-menerus digunakan, kini sepenuhnya rusak oleh air hujan.
Pasukan Banzer kelelahan.
Lapar, haus, mengantuk, dan luka-luka.
Namun sang Letnan terus berusaha menyalakan semangat mereka, berbicara dengan suara serak di tengah kegelapan:
“Kita harus bertahan. Bantuan akan datang. Pertahankan reduit ini dengan apa pun yang tersisa.”
Musuh di luar juga tak berdiam diri. Mereka terus menggali dan merangkak makin dekat, sambil menembak dan melempari batu.
Tepat pukul tujuh malam, serangan besar kembali dilancarkan.
Namun sekali lagi, granat-granat dari tanggul menghentikan mereka. Api menyala, batu berterbangan, jeritan terdengar dari segala arah. Tapi benteng kecil itu masih bertahan — berdiri di antara kobaran api dan kegelapan.
Hari Ketiga: Bau Mesiu, Batu, dan Daging Anjing
Malam 27 Februari berlalu tenang... tetapi hanya di permukaan.
Barisan di dalam reduit telah menyusut drastis. Banyak yang gugur atau terluka, dan yang tersisa hanya bisa berdiri karena sisa tenaga terakhir mereka.
Dari atas benteng, mereka dapat melihat musuh kini sudah menggali hingga tepat di bawah dinding reduit.
Banzer tahu — serangan besar akan segera datang.
Para penyerang mulai menyeret ikat-ikat jerami padi, menumpuknya hingga setinggi manusia di depan benteng.
Di pihak Banzer, banyak prajurit yang terlalu lemah untuk mengangkat senjata. Kekuatan tembakan mereka menurun drastis.
Dari atas bastion yang lebih tinggi, para pengintai musuh memberi aba-aba kepada pasukan di bawahnya. Batu-batu besar dilemparkan dengan akurat, siapa pun yang tidak bersembunyi di balik tanggul pasti terkena.
Dalam serangan itu, satu fusilier bumiputera tewas, satu fusilier Eropa dan tujuh fusilier bumiputera terluka.
Letnan Banzer menyadari:
“Kita tidak akan bisa bertahan lebih lama dengan cara ini.”
Ia lalu berunding dengan Letnan Keppel. Keduanya sepakat, pada malam berikutnya, mereka akan mencoba meninggalkan reduit secara diam-diam. Keputusan ini kemudian disampaikan kepada para prajurit yang luka parah:
- Sersan ahli senjata J. G. Schelling (St. 1621), - Fusilier Eropa F. Marien (St. 17850), dan
- Fusilier bumiputera Sosmito (St. 19659), asal Djoyo Baling.
Namun ketiganya menolak ikut.
Mereka tahu diri mereka terlalu lemah dan akan memperlambat langkah rekan-rekannya.
Mereka memutuskan tinggal.
Dengan suara tenang mereka berjanji:
“Jika musuh berhasil masuk ke reduit, kami akan menyalakan sumbu mesiu, seperti yang telah diperintahkan.”
Pelarian di Tengah Neraka dan Janji yang Ditepati
Sepanjang hari, mereka masih sempat memperoleh sedikit keberuntungan: seekor anjing sakit milik Letnan Keppel berhasil ditembak. Hewan itu dibersihkan dengan hati-hati, dan di tengah kelaparan yang menggigit, dagingnya terasa seperti santapan lezat.
Namun desakan lapar semakin tak tertahankan. Para prajurit mendesak kepada Banzer agar segera bertindak:
“Kami rela bertempur sampai mati, tetapi jangan biarkan kami mati kelaparan.”
Banzer pun mengambil keputusan.
Ia memaku senjata-senjata artileri, agar tidak jatuh ke tangan musuh.
Setiap prajurit diberi tiga bungkus peluru dan batu pemantik api.
Lalu, sebelum berangkat, ia berpamitan kepada mereka yang tak dapat pergi, para prajurit luka parah yang sudah bersiap menunaikan janji terakhir mereka.
Setelah itu, berangkatlah rombongan kecil:
Letnan Keppel,
delapan prajurit Eropa,
sembilan belas prajurit bumiputera,
serta para perempuan dan anak-anak.
Arak-arakan yang Berduka
Sulit dibayangkan bagaimana rasanya bergerak di malam gulita, dengan tubuh penuh luka, haus, dan lapar, di tengah hutan belantara yang dikepung musuh.
Tubuh mereka lemah, luka belum terbalut, dan rasa gentar menekan dada.
Begitu keluar dari reduit, sebagian prajurit langsung diserang rasa panik.
Ada yang ketakutan akan ketahuan, lalu memisahkan diri.
Ada pula yang tak kuat mengikuti langkah dan hilang ditelan gelap malam.
Namun Letnan Banzer, Letnan Keppel, dan beberapa bintara serta prajurit Eropa tetap berusaha bersama, merangkak di antara semak, menembus kegelapan dengan tenaga terakhir.
Setelah sekitar satu jam merayap di semak, Letnan Keppel — yang baru saja sembuh dari sakit berat — mulai kehilangan seluruh kekuatannya.
Kawan-kawannya berusaha menolongnya, menarik tubuhnya, memapah, tapi Keppel menolak. Akhirnya, dengan hati remuk, mereka meninggalkannya dalam kegelapan — sesuai keinginannya sendiri.
Mereka tahu nasibnya telah ditentukan.
Janji yang Ditepati dengan Api
Sekitar satu setengah jam setelah itu, ketika mereka merayap lebih jauh ke hutan, terdengarlah dentuman dahsyat mengguncang malam.
Langit di belakang mereka memerah.
Tiga prajurit yang tinggal di reduit — Sersan Schelling, Fusilier Marien, dan Fusilier Sosmito — telah menepati janji mereka.
Mereka menyalakan sumbu mesiu dan meledakkan seluruh benteng bersama musuh yang menyerbu.
Mereka memilih terbang ke udara dalam kobaran api, daripada menyerah.
Pelarian yang Penuh Luka
Sisa kelompok Banzer melanjutkan perjalanan sepanjang sisa malam itu.
Mereka merayap melalui sungai yang dangkal dengan tubuh penuh luka dan lumpur.
Ketika fajar menyingsing, mereka terus berjalan di bawah lindungan rimba, berusaha tak terlihat.
Namun musuh menemukan mereka juga. Suara teriakan dan tembakan menggema di kejauhan.
Banzer dan anak buahnya terpaksa menyelamatkan diri dengan menjatuhkan tubuh mereka ke dalam jurang curam, bersembunyi di dasar lembah yang gelap dan basah.
Di sana mereka berdiam, menahan napas, menunggu malam tiba kembali.
Malam 28 Februari ke 1 Maret, mereka kembali melanjutkan perjalanan, melintasi sungai yang lain.
Perjalanan ini amat berat bagi mereka yang terluka — tanpa makanan, tanpa tenaga, mereka nyaris tak mampu melangkah.
Dan malapetaka belum usai. Mereka kembali ditemukan dan dikejar.
Namun sekali lagi mereka lolos, bersembunyi dalam rimba yang sunyi dan pekat.
Malam berikutnya, 1 ke 2 Maret, mereka melanjutkan pelarian.
Tepat pukul tiga dini hari, mereka berhasil menyeberangi sebuah sungai lagi — tetapi kini, seluruh tenaga mereka telah habis.
Pertolongan Terakhir dan Keabadian Nama
Mereka beristirahat sejenak.
Namun di tengah keputusasaan itu, tekad untuk bertahan hidup masih menyala samar-samar.
Mereka sadar, tak mungkin terus bersembunyi di dalam rimba.
Mereka harus terus bergerak, meski dengan tubuh nyaris mati.
Ketika pagi menjelang, mereka menemukan beberapa buah liar yang busuk dan daun pisang muda.
Mereka memakannya mentah-mentah, hanya agar masih mampu berjalan.
Tiba-tiba, di antara pepohonan, mereka melihat barisan tentara sedang melintas. Dengan sisa suara, Banzer dan anak buahnya berteriak minta tolong.
Pasukan itu berhenti. Beberapa prajurit dikirim menyeberang sungai untuk menolong mereka. Dan ketika mereka tiba di jalan besar, mereka sadar — mereka telah diselamatkan oleh kolonne bergerak di bawah pimpinan langsung Gubernur Pantai Barat Sumatra, Kolonel A. V. Michiels.
Pertemuan itu tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Air mata, luka, dan kelegaan bercampur menjadi satu.
Hanya Lima Jiwa yang Selamat
Dari 86 orang — laki-laki, perempuan, dan anak-anak — yang berlindung di dalam reduit Guguk Malintang sejak serangan pertama, hanya lima yang berhasil keluar hidup-hidup.
Mereka menjadi saksi atas nasib tragis kawan-kawan mereka, dan atas keberanian tiga pahlawan yang memilih mati meledak bersama bentengnya.
Untuk keberanian itu, Letnan Banzer dan Sersan Van Holy dianugerahi kenaikan pangkat luar biasa — masing-masing menjadi Letnan Pertama dan Letnan Kedua — serta bersama tiga rekan mereka yang selamat, menerima Bintang Militaire Willems-Orde kelas ke-4.
Tulisan ini, bersumber dari catatan harian Letnan Banzer, ditulis agar generasi muda di Hindia tidak hanya mengenal kisah kepahlawanan Yunani, Romawi, atau tokoh Eropa seperti Reinier Claassen dan Jan Haring, tetapi juga meneladani semangat pengorbanan, persaudaraan, dan keteguhan hati yang lahir di tanah mereka sendiri, di rimba Sumatra.
Seperti yang tertulis dalam perintah harian 5 Mei 1841 oleh Jenderal-Major Cochius, Komandan Tentara Hindia Belanda:
"Di Goegoek Malintang, hendaklah sebuah tugu peringatan didirikan, dan nama-nama kalian dipahat di atasnya, untuk mempermalukan sang pemberontak, dan sebagai pengingat yang mulia akan perbuatan mulia kalian."
— J. J. M. van Dam
***
Epilog — Di Mana Takbir dan Meriam Bertemu
Pagi itu, ketika asap terakhir perlahan terurai di langit Padang-Pandjang, tak ada lagi yang tersisa dari Guguk Malintang selain arang dan kesunyian.
Di antara abu dan bara, waktu berhenti — hanya menyisakan bau mesiu dan darah yang menempel di tanah basah.
Dari sembilan puluh jiwa yang bertahan di reduit itu yang terdiri dari tentara, perempuan, dan anak-anak, hanya lima yang berhasil keluar hidup-hidup.
Mereka berjalan tersesat di rimba, lapar, haus, luka, dan terkutuk untuk hidup membawa ingatan yang tak akan pernah sembuh.
Di antara mereka adalah Letnan Banzer, yang kelak menulis memoar itu dengan tangan bergetar.
Dialah saksi dari neraka yang turun di Guguk Malintang, tempat di mana orang-orang berperang tanpa rasa takut, karena sebagian di antara mereka sudah lebih dulu menyerahkan nyawanya pada langit.
Dalam catatannya, ia menulis tentang kawan-kawannya — Schelling, Marien, dan Sosmito — yang memilih menyalakan sumbu mesiu dan meledakkan diri bersama benteng, daripada menyerah. Ia menyebut mereka pahlawan. Tapi di antara baris-baris itu, kita membaca sesuatu yang lebih dalam: ketakjuban terhadap musuh-musuhnya, yang tak gentar meski hanya berbekal doa dan parang.
Ia menulis, dan tanpa ia sadari, dalam tulisannya bergema takbir Padri yang pernah ia dengar di tengah asap dan api. Takbir itu bukan sekadar seruan perang — itu adalah nyanyian jiwa orang-orang yang tak mau tunduk.
Kini, hampir dua abad telah berlalu.
Guguk Malintang tinggal nama, terkubur di antara arsip, peta, dan baris dingin laporan militer. Tapi jika seseorang berjalan di sana pada malam sunyi, dan angin bertiup dari arah utara, mungkin ia akan mendengar gema samar dari masa lalu — takbir yang bersahut dengan dentuman meriam,
dua suara yang saling menelan,
dua dunia yang tak pernah berdamai,
namun keduanya sama-sama menjadi saksi bahwa keberanian tak memilih bendera.
Di tanah itu, Padri dan serdadu sama-sama abadi — dalam api, dalam darah, dan dalam sejarah.
Tamat ...
sumber: ZIJ STREKKEN ONS TOT VOORBEELD! Goegoek Malintang 27 Februari 1841 - 27 Februari 1941.
Di sunting: Marjafri, Founder dan Ketua Komunitas Anak Nagari Sawahlunto
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »