| Namun di saat yang sama, negara tampil dengan versi yang lebih kecil. Direvisi. Dikoreksi. Diperhalus. Lalu |
Namun di saat yang sama, negara tampil dengan versi yang lebih kecil. Direvisi. Dikoreksi. Diperhalus. Lalu publik pun bertanya dengan getir: mengapa kematian bisa direvisi turun, tetapi nyawa tidak pernah bisa dikembalikan?
Inilah tragedi ganda yang sedang kita saksikan di Sumatera. Bukan hanya tragedi alam—tetapi tragedi cara negara memperlakukan kematian warganya.
Di balik angka 811 itu ada ibu yang masih menunggu anaknya pulang dari longsor. Ada ayah yang tak pernah lagi menemukan jasad anaknya yang terseret banjir. Ada ribuan keluarga yang kini hanya punya tenda, trauma, dan ketidakpastian. Tetapi di hadapan mereka, negara masih sibuk dengan tabel, grafik, dan “validasi data”.
Seolah-olah duka harus lulus verifikasi dulu agar layak diakui.
Lebih dari 3.000 rumah dilaporkan rusak berat, ratusan jembatan terputus, fasilitas kesehatan lumpuh, sekolah hancur. Ini bukan lagi “bencana daerah”. Ini adalah kehancuran ekosistem sosial. Ini adalah krisis kemanusiaan. Yet, pengakuan sebagai “bencana nasional” tetap tertahan di meja birokrasi.²
Alasannya klasik:
“Masih bisa ditangani daerah.”
“Pusat tetap membantu tanpa perlu status nasional.”
“Anggaran dan mekanisme masih berjalan.”³
Bahasa-bahasa ini terdengar rapi di ruang rapat. Tetapi di pengungsian, bahasa itu terdengar seperti ejekan.
Karena di sana, yang kehabisan bukan hanya logistik —
tetapi harapan bahwa negara benar-benar melihat mereka sebagai korban bangsa, bukan sekadar statistik provinsi.
Yang lebih menyakitkan, sebagian besar dari tragedi ini bukan semata-mata takdir.
Hujan ekstrem hanya pemicu.
Tetapi hutan yang digunduli, bukit yang dikeruk, izin tambang yang dilonggarkan, tata ruang yang diabaikan—itulah arsitek sesungguhnya dari maut yang berhamburan ini.⁵
Kita menyebut ini musibah.
Padahal banyak korban tewas oleh rangkaian keputusan manusia.
Kini, di hadapan angka 811 itu, yang sesungguhnya sedang diuji bukanlah kapasitas mitigasi bencana.
Yang sedang diuji adalah keberanian moral negara:
Apakah negara berani berkata jujur bahwa ini bencana besar?
Apakah negara berani mengakui kegagalan tata kelola lingkungan?
Apakah negara berani menempatkan nyawa manusia di atas stabilitas citra dan angka pertumbuhan?
Jika 811 kematian belum cukup untuk mengguncang satu keputusan nasional, maka persoalannya bukan lagi soal prosedur. Persoalannya adalah nilai nyawa di mata kekuasaan.
Status “bencana nasional” memang administratif.
Tetapi bagi korban, ia adalah pengakuan bahwa penderitaan mereka tidak kecil, tidak lokal, dan tidak boleh dilupakan.⁶
Karena hari ini yang hilang bukan hanya 811 nyawa.
Yang hilang juga rasa aman, keadilan, dan keyakinan bahwa negara berdiri paling depan saat rakyatnya jatuh.
Dan bila tragedi sebesar ini masih bisa diperdebatkan lewat angka—maka kita patut bertanya dengan suara yang lebih lantang:
Di negeri ini, berapa nyawa sebenarnya harga sebuah pengakuan ?
***
Catatan Kaki :
¹ Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Pembaruan Situasi Darurat Bencana Hidrometeorologi Wilayah Sumatra, Jakarta, Desember 2025. Catatan kritis: Angka 811 tewas dan 623 hilang berasal dari klaim awal pemerintah yang kemudian mengalami beberapa kali “revisi”, sehingga validitas finalnya diperdebatkan oleh relawan dan jurnalis independen.
² Kompas, Ribuan Rumah dan Fasilitas Umum Rusak Parah Akibat Banjir dan Longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, liputan lapangan nasional, Desember 2025.
³ Kementerian Sosial Republik Indonesia, Pernyataan Resmi Penanganan Bencana tanpa Penetapan Status Nasional, Jakarta, 2025.
⁴ Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Analisis Curah Hujan Ekstrem dan Anomali Iklim Sumatera Bagian Barat, Jakarta, 2025.
⁵ Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Relasi Kerusakan Ekologis, Tambang, dan Bencana Hidrometeorologi di Sumatra, Siaran Pers Nasional, 2025.
⁶ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, khususnya Pasal 7 dan Pasal 50 mengenai kewenangan penetapan status bencana nasional.
* Penulis: Marjafri (Pegiat Sosial & Budaya, Jurnalis , Pendiri dan Ketua Komunitas Anak Nagari)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »