| Associate Professor dan Psikolog Universitas Paramadina, Muhammad Iqbal, Ph.D. |
Ribuan rumah terendam, puluhan desa terisolasi, dan ribuan keluarga harus mengungsi.
Selain kerugian fisik dan ekonomi, bencana kali ini juga menimbulkan ancaman serius terhadap kesehatan mental masyarakat.
Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa dampak psikologis para penyintas tidak kalah berat dibanding kerusakan fisik yang terjadi.
Banyak warga kehilangan anggota keluarga, harta benda, lahan, dan sumber penghasilan.
Kondisi tersebut memicu tekanan mental yang mendalam, termasuk reaksi stres akut, kecemasan, gangguan duka berkepanjangan, hingga Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Penelitian internasional menunjukkan bahwa 30–50% penyintas bencana besar mengalami gejala PTSD dalam tiga bulan pertama, sementara anak-anak dan lansia merupakan kelompok paling rentan terhadap dampak jangka panjang.
Associate Professor dan Psikolog Universitas Paramadina, Muhammad Iqbal, Ph.D., yang turut melakukan pengamatan langsung di lokasi bencana, menegaskan bahwa aspek psikologis harus menjadi perhatian utama pemerintah.
Ia menjelaskan bahwa bencana menciptakan tekanan ekstrem yang melebihi kapasitas coping seseorang.
Ia juga menekankan bahwa trauma bukan sekadar memori menyakitkan, tetapi pengalaman emosional yang melekat dalam tubuh dan dapat muncul kembali melalui berbagai pemicu.
“Trauma bukan sekadar ingatan buruk, tetapi pengalaman emosional yang terekam dalam tubuh,” tegasnya.
Iqbal menambahkan bahwa pemulihan trauma harus dilihat sebagai bagian dari proses sosial yang melibatkan keluarga, komunitas, hingga kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu, dukungan psikososial perlu diberikan secara terstruktur dan komprehensif.
Dalam konteks penanganan pascabencana, pemerintah didorong untuk menguatkan layanan dukungan psikososial yang mampu menjangkau penyintas secara menyeluruh.
Salah satu pendekatan yang paling banyak digunakan secara global adalah Psychological First Aid (PFA), sebuah metode intervensi awal yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, relawan, guru, tokoh agama, hingga aparat lokal. Pendekatan ini mengutamakan tiga prinsip utama: protect, yakni memastikan keselamatan dan mengurangi paparan stres tambahan; connect, yaitu membangun hubungan, empati, serta dukungan sosial; dan empower, yang membantu penyintas mendapatkan kembali kendali dan rasa mampu atas hidupnya.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa PFA dapat menurunkan risiko trauma jangka panjang sekaligus meningkatkan ketahanan komunitas.
Iqbal menjelaskan bahwa dukungan psikososial perlu diterapkan secara berlapis.
Pada tingkat individu, masyarakat membutuhkan layanan seperti skrining stres, konseling sederhana, teknik grounding, manajemen emosi, serta dukungan spiritual untuk memaknai kehilangan.
Pada tingkat keluarga, aktivitas seperti bercerita bersama, relaksasi, serta edukasi bagi orang tua mengenai respons stres anak sangat diperlukan untuk mengembalikan fungsi keluarga sebagai unit dukungan utama.
Pada tingkat komunitas, penyediaan ruang aman bagi anak dan lansia, kegiatan berbasis budaya lokal, serta kolaborasi puskesmas, sekolah, dan organisasi kemanusiaan dapat memperkuat pemulihan sosial.
Sementara itu, pada tingkat kebijakan, pemerintah pusat dan daerah perlu mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke dalam sistem penanggulangan bencana, memberikan pelatihan PFA untuk relawan dan guru, serta menyiapkan anggaran khusus rehabilitasi psikososial jangka panjang.
Selain pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, selimut, dan tempat tinggal sementara, Iqbal menegaskan bahwa penyintas memerlukan dukungan emosional, sosial, dan informasi yang memadai.
Intervensi tersebut bertujuan membangun resiliensi jangka panjang, agar masyarakat tidak hanya pulih sementara, tetapi benar-benar mampu bangkit dan membangun kembali kehidupan yang lebih kuat setelah bencana.
Dalam pernyataan penutupnya, Iqbal menegaskan pentingnya menjaga martabat serta harapan para penyintas.
“Bencana boleh merusak bangunan, tetapi jangan sampai meruntuhkan harapan dan martabat manusia,” tutupnya. (*) Universitas Paramadina Serukan Penguatan Dukungan Psiko-Sosial bagi Penyintas Bencana Sumatera
BENTENGSUMBAR.COM - Banjir bandang dan tanah longsor kembali melanda tiga provinsi di Sumatera—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—menyebabkan kerusakan besar pada rumah, fasilitas publik, serta infrastruktur.
Ribuan rumah terendam, puluhan desa terisolasi, dan ribuan keluarga harus mengungsi.
Selain kerugian fisik dan ekonomi, bencana kali ini juga menimbulkan ancaman serius terhadap kesehatan mental masyarakat.
Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa dampak psikologis para penyintas tidak kalah berat dibanding kerusakan fisik yang terjadi.
Banyak warga kehilangan anggota keluarga, harta benda, lahan, dan sumber penghasilan.
Kondisi tersebut memicu tekanan mental yang mendalam, termasuk reaksi stres akut, kecemasan, gangguan duka berkepanjangan, hingga Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Penelitian internasional menunjukkan bahwa 30–50% penyintas bencana besar mengalami gejala PTSD dalam tiga bulan pertama, sementara anak-anak dan lansia merupakan kelompok paling rentan terhadap dampak jangka panjang.
Associate Professor dan Psikolog Universitas Paramadina, Muhammad Iqbal, Ph.D., yang turut melakukan pengamatan langsung di lokasi bencana, menegaskan bahwa aspek psikologis harus menjadi perhatian utama pemerintah.
Ia menjelaskan bahwa bencana menciptakan tekanan ekstrem yang melebihi kapasitas coping seseorang.
Ia juga menekankan bahwa trauma bukan sekadar memori menyakitkan, tetapi pengalaman emosional yang melekat dalam tubuh dan dapat muncul kembali melalui berbagai pemicu.
“Trauma bukan sekadar ingatan buruk, tetapi pengalaman emosional yang terekam dalam tubuh,” tegasnya.
Iqbal menambahkan bahwa pemulihan trauma harus dilihat sebagai bagian dari proses sosial yang melibatkan keluarga, komunitas, hingga kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu, dukungan psikososial perlu diberikan secara terstruktur dan komprehensif.
Dalam konteks penanganan pascabencana, pemerintah didorong untuk menguatkan layanan dukungan psikososial yang mampu menjangkau penyintas secara menyeluruh.
Salah satu pendekatan yang paling banyak digunakan secara global adalah Psychological First Aid (PFA), sebuah metode intervensi awal yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, relawan, guru, tokoh agama, hingga aparat lokal. Pendekatan ini mengutamakan tiga prinsip utama: protect, yakni memastikan keselamatan dan mengurangi paparan stres tambahan; connect, yaitu membangun hubungan, empati, serta dukungan sosial; dan empower, yang membantu penyintas mendapatkan kembali kendali dan rasa mampu atas hidupnya.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa PFA dapat menurunkan risiko trauma jangka panjang sekaligus meningkatkan ketahanan komunitas.
Iqbal menjelaskan bahwa dukungan psikososial perlu diterapkan secara berlapis.
Pada tingkat individu, masyarakat membutuhkan layanan seperti skrining stres, konseling sederhana, teknik grounding, manajemen emosi, serta dukungan spiritual untuk memaknai kehilangan.
Pada tingkat keluarga, aktivitas seperti bercerita bersama, relaksasi, serta edukasi bagi orang tua mengenai respons stres anak sangat diperlukan untuk mengembalikan fungsi keluarga sebagai unit dukungan utama.
Pada tingkat komunitas, penyediaan ruang aman bagi anak dan lansia, kegiatan berbasis budaya lokal, serta kolaborasi puskesmas, sekolah, dan organisasi kemanusiaan dapat memperkuat pemulihan sosial.
Sementara itu, pada tingkat kebijakan, pemerintah pusat dan daerah perlu mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke dalam sistem penanggulangan bencana, memberikan pelatihan PFA untuk relawan dan guru, serta menyiapkan anggaran khusus rehabilitasi psikososial jangka panjang.
Selain pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, selimut, dan tempat tinggal sementara, Iqbal menegaskan bahwa penyintas memerlukan dukungan emosional, sosial, dan informasi yang memadai.
Intervensi tersebut bertujuan membangun resiliensi jangka panjang, agar masyarakat tidak hanya pulih sementara, tetapi benar-benar mampu bangkit dan membangun kembali kehidupan yang lebih kuat setelah bencana.
Dalam pernyataan penutupnya, Iqbal menegaskan pentingnya menjaga martabat serta harapan para penyintas.
“Bencana boleh merusak bangunan, tetapi jangan sampai meruntuhkan harapan dan martabat manusia,” tutupnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »