BentengSumbar.com --- Ketua LSM YPMM Indonesia Syaiful Syafe’i, SH Rajo Perak mengharapkan Gubernur H. Irwan Prayitno Dt. Rj. Bandaro Basa mewujudkan pemerintahan yang bersih. “Seorang Irwan telah teruji kemampuannya selama menjadi legislator di DPR RI mewakili rakyat Sumatera Barat. Dia terbukti bersih, professional dan salah seorang politisi muda dari Ranah Minang. Dengan kapasitas yang demikian, kita berharap, dia mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih,” ungkap Rajo Perak.
Untuk itu, kata putra Sungai Sapih Kuranji ini, tugas Irwan ke depan sangatlah berat. Sebab, menciptakan pemerintahan yang bersih itu bukanlah gampang, bukan sekedar wacana di atas kertas dan sekedar diucapkan, tetapi Irwan diharapkan mampu mengaplikasikan di pemerintahannya, tentunya dibantu oleh Wakil Gubernur Muslim Kasim yang telah teruji dalam memimpin Kabupaten Padang Pariaman selama dua kali periode. “Kita tidak meragukan mereka berdua, ditangan mereka Sumbar akan lebih baik, jika mereka memiliki komitmen yang kuat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih itu,” tegasnya.
Lebih jauh Rajo Perak mengatakan, mewujudkan pemerintahan yang bersih itu harus diawali dengan pembentukan “kabinet” Irwan-MK yang bebas koruptor. Ini bukan berarti, semua pejabat lama diparkir, tetapi mereka yang terbukti bersih selama ini dan tidak pernah tersangkut kasus korupsi, tetap dipertahankan. Pejabat yang dimata publik bersih dan jauh dari praktek korupsi yang setidaknya tidak pernah tersangkut kasus hukum, kembali dipakai. Sedangkan pejabat yang terbukti korupsi, baik di mata publik Sumatera Barat dan tersangkut kasus hukum, harusnya diparkir saja di BKD.
Salah satu tolak ukur yang dapat dipakai Gubernur Irwan untuk menentukan pejabat yang bersih dan betul-betul bekerja sesuai tupoksinya adalah realisasi APBD di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI. “Dari sana akan terlihat, mana Kepala SKPD yang benar-benar bekerja dan mana yang tidak, mana kepala SKPD yang suka membikin kegiatan yang memboroskan anggaran APBD dan APBN, mana yang bekerja penuh dengan kehati-hatian. Saya yakin, Irwan tentu sangat paham akan hal ini, karena dia pernah duduk di tim anggaran DPR RI,” ulas Rajo Perak.
Misalnya saja, ujar Rajo Perak lagi, LHP BPK RI 2009 lalu yang menilai Dinas Kesehatan Sumbar boros. BPK RI menilai Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sumbar telah melakukan pemborosan keuangan daerah sebesar Rp 970.408.860, indikasi kerugian daerah Rp 166.451.089, dan sanksi denda yang belum dikenakan dalam pengadaan obat pelayanan kesehatan dasar (PKD) dan buffer stock provinsi tahun 2008 sebesar Rp 692.825.153,32.
Dalam laporan hasil pemeriksaan BPK, kata Rajo Perak lagi, disebutkan bahwa pada tahun anggaran 2008, Dinkes Sumbar menganggarkan pengadaan obat (PKD) buffer stock sebesar Rp 9.504.450.000 yang direalisasikan melalui mekanisme pelelangan terbatas dan dimenangkan PT Indofarma Global Medika, dengan kontrak senilai Rp 9.490.755.525. Jangka waktu pelaksanaan kontrak adalah selama 120 hari dengan jaminan pelaksanaan sebesar 5 persen dari kontrak, atau senilai Rp 474.537.776 pada Bank Mandiri Cabang Jakarta Graha Irama yang berlaku mulai tanggal 21 April sampai tanggal 18 Agustus 2008.
"Berdasarkan pemeriksaan terhadap pengadaan obat tersebut, diketahui obat yang diadakan dalam kontrak dan telah diserahkan, tidak sepenuhnya merupakan obat generik berlogo (OGB). Tetapi terdapat beberapa obat generik bernama dagang (branded generic), yaitu Pehamoxil Forte, Pehacain, Fenicol 0,5%, dan Carpine 2% tetes mata," demikian hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II Tahun 2008 atas belanja pelayanan publik di Sumbar, yang disampaikan dalam Sidang Paripurna DPR, Selasa (21/4/09) lalu, kata Rajo Perak.
Jika dibandingkan dengan harga OGB sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menkes No. 302/Menkes/SK/IV/2008, harga obat generik bernama dagang pada kontrak tersebut lebih mahal sebesar Rp 896.199.810. Jika dibandingkan dengan harga batas toleransi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menkes No 696/Menkes/Per/VI/2007 tentang Harga Obat Generik Bernama Dagang pada Sarana Pelayanan Kesehatan Pemerintah, harga obat generik yang terdapat dalam kontrak lebih tinggi sebesar Rp 78.119.760.
Masih dari catatan BPK, pada 25 Juli 2008 dilakukan adendum II (Nomor 18b/Panit/DPASKPD/KES/VII/2008). Dalam adendum II itu dilakukan beberapa perubahan, antara lain, pertama, pengurangan masa kadaluarsa untuk beberapa item obat yang seharusnya minimal dua tahun menjadi kurang dari dua tahun. Kedua, penggantian beberapa item OGB dengan obat generik bernama dagang dengan alasan kekosongan stok dan kelangkaan bahan baku, sehingga biaya pengadaannya bertambah mahal sebesar Rp 240.660.139. "Jika dibandingkan dengan harga batas toleransi untuk pengadaan obat generik bernama dagang, harganya lebih tinggi sebesar Rp 88.331.329," demikian laporan BPK, ulas Rajo Perak.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, diketahui bahwa pekerjaan selesai pada tanggal 30 Oktober 2008. Berdasarkan kontrak awal (sebelum adendum), pekerjaan ini terlambat 73 hari, oleh karena itu harus dikenakan denda keterlambatan sebesar Rp 692.825.153,32. Kondisi tersebut dinilai BPK tidak sesuai dengan Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Harga kontrak pengadaan lebih tinggi sebesar Rp 1.136.859.949, yang terdiri dari Rp 970.408.860 berupa pemborosan keuangan daerah karena mengadakan obat generik bernama dagang (seharusnya OGB), serta sebesar Rp 166.451.089 (Rp 78.119.760,00 ditambah Rp 88.331.329) berupa kerugian daerah karena mengadakan obat generik bernama dagang melebihi harga toleransi. Sementara keterlambatan penerimaan obat, sehingga tidak dapat segera dimanfaatkan sebagaimana mestinya, dan sanksi denda keterlambatan yang belum diterima berjumlah sebesar Rp 692.825.153,32.
Soal lain yang disorot BPK adalah pembayaran subsidi premi asuransi kesehatan masyarakat miskin TA 2007 dan 2008, yang belum tertib dan bermanfaat secara optimal, serta merugikan keuangan daerah sebesar Rp 19.530.000. Pada 2007 dan 2008, Dinkes Sumbar mengalokasikan belanja premi asuransi kesehatan masing-masing sebesar Rp 9.087.022.000 dan Rp 3.150.000.000, dengan realisasi masing-masing sebesar Rp 3.772.560.000 atau 41,51 persen dan Rp 2.557.440.000 atau 81,18 persen. Belanja premi asuransi kesehatan itu digunakan untuk memberi bantuan/subsidi kepada pemerintah kabupaten/kota di Sumbar yang melaksanakan program Jamkesda.
Hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap data peserta Jamkesda Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Pesisir Selatan dan 50 Kota yang diperoleh tim dari Dinas Kesehatan Provinsi dan PT Askes, diketahui bahwa terdapat peserta Jamkesda yang didaftarkan lebih dari satu kali (double) dan tidak ada nama pesertanya.
Temuan lainnya adalah pengadaan belanja jasa laboratorium (Pemeriksaan Sampel Urine) TA 2008 pada Dinkes Sumbar sebesar Rp 449.955.000, yang tidak sesuai Keppres No. 80 Tahun 2003. Kemudian juga ditemukan harga pengadaan AC, swing fog dan billboard pada TA 2008 di Dinkes tersebut yang lebih mahal dan merugikan daerah sebesar Rp 87.842.000. Sedangkan pengadaan alat-alat laboratorium kimia sebesar Rp 609.101.598 pada UPTD Balai Laboratorium Dinkes Sumbar TA 2008 oleh CV Primarindo Sakti Nusadua, juga tidak dapat dilaksanakan sesuai kontrak.
“Nah, temuan ini membuktikan kepada kita, kalau kinerja Dinas Kesehatan Sumbar mendapat sorotan tajam dari BPK RI dan ini seharusnya menjadi catatan hitam Gubernur Irwan dalam menentukan figur yang akan didudukan di SKPD Dinas Kesehatan Sumbar. Carilah figur yang betul-betul mampu memimpin SKDP tersebut, sehingga temuan BPK RI ini tidak terulang lagi dan kinerja Gubernur Irwan berjalan lancar selama memimpin Sumatera Barat lima tahun kedepan,” pungkasnya.
Temuan BPK RI ini juga dapat dijadikan tolak ukur oleh pihak penegak hukum, kerugian Negara cukup besar dituliskan dalam temuan itu, semestinya pihak Kejaksaan, Kepolisian dan KPK segera menurunkan tim untuk mengusut tuntas pejabat yang terlibat langsung dalam pengadaan tersebut. Jika ada ditemuakan indikasi kelalaian yang berujung kepada korupsi dan kerugian keungan daerah, maka sudah seharusnya pejabat yang terkait ditahan dan menerima sanksi atas kebijakan yang diambilnya dalam pengadaan tersebut.
Disamping itu, ulas Rajo Perak, pada LHP 2010, BPK RI menempatkan Provinsi Sumbar pada peringkat terburuk dalam audit Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2009. Dalam LKPD ini, BPK menemukan ketidakwajaran dalam penggunaan anggaran. Atas dasar ini BPK menyatakan disclaimer (menolak memberikan pandapat) terhadap LKPD Provinsi Sumbar. Ada 18 poin pengecualian dan 5 poin penjabaran ruang lingkup pemeriksaan yang berujung ditetapkannya LKPD Sumbar disclaimer.
Akibatnya, pada DPRD menolak menerima LKPD Gubernur dan Pemprov diminta melaksanakan evaluasi dan inventarisasi ulang. Predikat disclaimer bukan berarti pemerintah daerah gagal atau tidak mampu, kata Rajo Perak lagi, namun, dalam pengelolaan keuangan, pemerintah harus tertib dan taat pada perundang-undangan, transparan dan bebas KKN. Opini disclaimer, diberikan karena masih ada sejumlah asset dan pengelolaan keuangan yang belum dilaporkan sesuai SAP.
Poin pengecualian yang disorot diantaranya, penggunaan langsung atas pendapatan retribusi pelayanan kesehatan (Jamkesmas) sebesar Rp803,5 juta dan pendapatan retribusi pemakaian kekayaan daerah sebesar Rp278,2 juta untuk belanja barang dan modal. Ini menyebabkan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) tahun 2009 tidak disajikan berdasar asas bruto.
Pada kasus lainnya diungkapkan, realisasi belanja barang sebesar Rp11,2 miliar dinilai tidak wajar karena realisasi sebesar Rp11,04 miliar merupakan kegiatan pemberian uang yang lebih cocok untuk dianggarkan dibelanja hibah. Penyelesaian persoalan inventarisasi asset ini terkesan berlarut-larut. Sekian banyak pekerjaan rumah yang mulai karatan, tapi berpotensi kronis diantaranya kepemilikan tanah verbonding 1792 dikawasan Tunggul Hitam Padang. Selain itu terdapat status kepemilikan rumah dinas dan harta bergerak dari mobil hingga sepeda motor yang digunakan pegawai yang sudah pensiun.
“Ini gambaran buram kinerja SKPD yang diungkapkan BPK RI dalam LHP-nya. Dan ini menurut saya bukan main-main, Gubernur Irwan harus menentukan sikap, apakah tetap memakai pejabat yang korup atau melakukan penyeleksiaan pejabat yang bersih dan professional dengan melibatkan semua unsur untuk memberikan masukan. Unsur yang kita maksudkan dapat saja, misalnya pers, LSM, dan penegak hukum serta DPR. Namun tetap kita harus taat Undang-Undang, kata putus tetap ditangan gubernur, kita hanya memberikan masukan. Undang-Undang memberikan kewenangan, pengangkatan pejabat di lingkungan Pemprov merupakan kewenangan mutlak Gubernur. Ini tetap kita hormati,” tegas Rajo Perak. (Buya)
Untuk itu, kata putra Sungai Sapih Kuranji ini, tugas Irwan ke depan sangatlah berat. Sebab, menciptakan pemerintahan yang bersih itu bukanlah gampang, bukan sekedar wacana di atas kertas dan sekedar diucapkan, tetapi Irwan diharapkan mampu mengaplikasikan di pemerintahannya, tentunya dibantu oleh Wakil Gubernur Muslim Kasim yang telah teruji dalam memimpin Kabupaten Padang Pariaman selama dua kali periode. “Kita tidak meragukan mereka berdua, ditangan mereka Sumbar akan lebih baik, jika mereka memiliki komitmen yang kuat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih itu,” tegasnya.
Lebih jauh Rajo Perak mengatakan, mewujudkan pemerintahan yang bersih itu harus diawali dengan pembentukan “kabinet” Irwan-MK yang bebas koruptor. Ini bukan berarti, semua pejabat lama diparkir, tetapi mereka yang terbukti bersih selama ini dan tidak pernah tersangkut kasus korupsi, tetap dipertahankan. Pejabat yang dimata publik bersih dan jauh dari praktek korupsi yang setidaknya tidak pernah tersangkut kasus hukum, kembali dipakai. Sedangkan pejabat yang terbukti korupsi, baik di mata publik Sumatera Barat dan tersangkut kasus hukum, harusnya diparkir saja di BKD.
Salah satu tolak ukur yang dapat dipakai Gubernur Irwan untuk menentukan pejabat yang bersih dan betul-betul bekerja sesuai tupoksinya adalah realisasi APBD di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI. “Dari sana akan terlihat, mana Kepala SKPD yang benar-benar bekerja dan mana yang tidak, mana kepala SKPD yang suka membikin kegiatan yang memboroskan anggaran APBD dan APBN, mana yang bekerja penuh dengan kehati-hatian. Saya yakin, Irwan tentu sangat paham akan hal ini, karena dia pernah duduk di tim anggaran DPR RI,” ulas Rajo Perak.
Misalnya saja, ujar Rajo Perak lagi, LHP BPK RI 2009 lalu yang menilai Dinas Kesehatan Sumbar boros. BPK RI menilai Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sumbar telah melakukan pemborosan keuangan daerah sebesar Rp 970.408.860, indikasi kerugian daerah Rp 166.451.089, dan sanksi denda yang belum dikenakan dalam pengadaan obat pelayanan kesehatan dasar (PKD) dan buffer stock provinsi tahun 2008 sebesar Rp 692.825.153,32.
Dalam laporan hasil pemeriksaan BPK, kata Rajo Perak lagi, disebutkan bahwa pada tahun anggaran 2008, Dinkes Sumbar menganggarkan pengadaan obat (PKD) buffer stock sebesar Rp 9.504.450.000 yang direalisasikan melalui mekanisme pelelangan terbatas dan dimenangkan PT Indofarma Global Medika, dengan kontrak senilai Rp 9.490.755.525. Jangka waktu pelaksanaan kontrak adalah selama 120 hari dengan jaminan pelaksanaan sebesar 5 persen dari kontrak, atau senilai Rp 474.537.776 pada Bank Mandiri Cabang Jakarta Graha Irama yang berlaku mulai tanggal 21 April sampai tanggal 18 Agustus 2008.
"Berdasarkan pemeriksaan terhadap pengadaan obat tersebut, diketahui obat yang diadakan dalam kontrak dan telah diserahkan, tidak sepenuhnya merupakan obat generik berlogo (OGB). Tetapi terdapat beberapa obat generik bernama dagang (branded generic), yaitu Pehamoxil Forte, Pehacain, Fenicol 0,5%, dan Carpine 2% tetes mata," demikian hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II Tahun 2008 atas belanja pelayanan publik di Sumbar, yang disampaikan dalam Sidang Paripurna DPR, Selasa (21/4/09) lalu, kata Rajo Perak.
Jika dibandingkan dengan harga OGB sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menkes No. 302/Menkes/SK/IV/2008, harga obat generik bernama dagang pada kontrak tersebut lebih mahal sebesar Rp 896.199.810. Jika dibandingkan dengan harga batas toleransi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menkes No 696/Menkes/Per/VI/2007 tentang Harga Obat Generik Bernama Dagang pada Sarana Pelayanan Kesehatan Pemerintah, harga obat generik yang terdapat dalam kontrak lebih tinggi sebesar Rp 78.119.760.
Masih dari catatan BPK, pada 25 Juli 2008 dilakukan adendum II (Nomor 18b/Panit/DPASKPD/KES/VII/2008). Dalam adendum II itu dilakukan beberapa perubahan, antara lain, pertama, pengurangan masa kadaluarsa untuk beberapa item obat yang seharusnya minimal dua tahun menjadi kurang dari dua tahun. Kedua, penggantian beberapa item OGB dengan obat generik bernama dagang dengan alasan kekosongan stok dan kelangkaan bahan baku, sehingga biaya pengadaannya bertambah mahal sebesar Rp 240.660.139. "Jika dibandingkan dengan harga batas toleransi untuk pengadaan obat generik bernama dagang, harganya lebih tinggi sebesar Rp 88.331.329," demikian laporan BPK, ulas Rajo Perak.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, diketahui bahwa pekerjaan selesai pada tanggal 30 Oktober 2008. Berdasarkan kontrak awal (sebelum adendum), pekerjaan ini terlambat 73 hari, oleh karena itu harus dikenakan denda keterlambatan sebesar Rp 692.825.153,32. Kondisi tersebut dinilai BPK tidak sesuai dengan Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Harga kontrak pengadaan lebih tinggi sebesar Rp 1.136.859.949, yang terdiri dari Rp 970.408.860 berupa pemborosan keuangan daerah karena mengadakan obat generik bernama dagang (seharusnya OGB), serta sebesar Rp 166.451.089 (Rp 78.119.760,00 ditambah Rp 88.331.329) berupa kerugian daerah karena mengadakan obat generik bernama dagang melebihi harga toleransi. Sementara keterlambatan penerimaan obat, sehingga tidak dapat segera dimanfaatkan sebagaimana mestinya, dan sanksi denda keterlambatan yang belum diterima berjumlah sebesar Rp 692.825.153,32.
Soal lain yang disorot BPK adalah pembayaran subsidi premi asuransi kesehatan masyarakat miskin TA 2007 dan 2008, yang belum tertib dan bermanfaat secara optimal, serta merugikan keuangan daerah sebesar Rp 19.530.000. Pada 2007 dan 2008, Dinkes Sumbar mengalokasikan belanja premi asuransi kesehatan masing-masing sebesar Rp 9.087.022.000 dan Rp 3.150.000.000, dengan realisasi masing-masing sebesar Rp 3.772.560.000 atau 41,51 persen dan Rp 2.557.440.000 atau 81,18 persen. Belanja premi asuransi kesehatan itu digunakan untuk memberi bantuan/subsidi kepada pemerintah kabupaten/kota di Sumbar yang melaksanakan program Jamkesda.
Hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap data peserta Jamkesda Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Pesisir Selatan dan 50 Kota yang diperoleh tim dari Dinas Kesehatan Provinsi dan PT Askes, diketahui bahwa terdapat peserta Jamkesda yang didaftarkan lebih dari satu kali (double) dan tidak ada nama pesertanya.
Temuan lainnya adalah pengadaan belanja jasa laboratorium (Pemeriksaan Sampel Urine) TA 2008 pada Dinkes Sumbar sebesar Rp 449.955.000, yang tidak sesuai Keppres No. 80 Tahun 2003. Kemudian juga ditemukan harga pengadaan AC, swing fog dan billboard pada TA 2008 di Dinkes tersebut yang lebih mahal dan merugikan daerah sebesar Rp 87.842.000. Sedangkan pengadaan alat-alat laboratorium kimia sebesar Rp 609.101.598 pada UPTD Balai Laboratorium Dinkes Sumbar TA 2008 oleh CV Primarindo Sakti Nusadua, juga tidak dapat dilaksanakan sesuai kontrak.
“Nah, temuan ini membuktikan kepada kita, kalau kinerja Dinas Kesehatan Sumbar mendapat sorotan tajam dari BPK RI dan ini seharusnya menjadi catatan hitam Gubernur Irwan dalam menentukan figur yang akan didudukan di SKPD Dinas Kesehatan Sumbar. Carilah figur yang betul-betul mampu memimpin SKDP tersebut, sehingga temuan BPK RI ini tidak terulang lagi dan kinerja Gubernur Irwan berjalan lancar selama memimpin Sumatera Barat lima tahun kedepan,” pungkasnya.
Temuan BPK RI ini juga dapat dijadikan tolak ukur oleh pihak penegak hukum, kerugian Negara cukup besar dituliskan dalam temuan itu, semestinya pihak Kejaksaan, Kepolisian dan KPK segera menurunkan tim untuk mengusut tuntas pejabat yang terlibat langsung dalam pengadaan tersebut. Jika ada ditemuakan indikasi kelalaian yang berujung kepada korupsi dan kerugian keungan daerah, maka sudah seharusnya pejabat yang terkait ditahan dan menerima sanksi atas kebijakan yang diambilnya dalam pengadaan tersebut.
Disamping itu, ulas Rajo Perak, pada LHP 2010, BPK RI menempatkan Provinsi Sumbar pada peringkat terburuk dalam audit Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2009. Dalam LKPD ini, BPK menemukan ketidakwajaran dalam penggunaan anggaran. Atas dasar ini BPK menyatakan disclaimer (menolak memberikan pandapat) terhadap LKPD Provinsi Sumbar. Ada 18 poin pengecualian dan 5 poin penjabaran ruang lingkup pemeriksaan yang berujung ditetapkannya LKPD Sumbar disclaimer.
Akibatnya, pada DPRD menolak menerima LKPD Gubernur dan Pemprov diminta melaksanakan evaluasi dan inventarisasi ulang. Predikat disclaimer bukan berarti pemerintah daerah gagal atau tidak mampu, kata Rajo Perak lagi, namun, dalam pengelolaan keuangan, pemerintah harus tertib dan taat pada perundang-undangan, transparan dan bebas KKN. Opini disclaimer, diberikan karena masih ada sejumlah asset dan pengelolaan keuangan yang belum dilaporkan sesuai SAP.
Poin pengecualian yang disorot diantaranya, penggunaan langsung atas pendapatan retribusi pelayanan kesehatan (Jamkesmas) sebesar Rp803,5 juta dan pendapatan retribusi pemakaian kekayaan daerah sebesar Rp278,2 juta untuk belanja barang dan modal. Ini menyebabkan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) tahun 2009 tidak disajikan berdasar asas bruto.
Pada kasus lainnya diungkapkan, realisasi belanja barang sebesar Rp11,2 miliar dinilai tidak wajar karena realisasi sebesar Rp11,04 miliar merupakan kegiatan pemberian uang yang lebih cocok untuk dianggarkan dibelanja hibah. Penyelesaian persoalan inventarisasi asset ini terkesan berlarut-larut. Sekian banyak pekerjaan rumah yang mulai karatan, tapi berpotensi kronis diantaranya kepemilikan tanah verbonding 1792 dikawasan Tunggul Hitam Padang. Selain itu terdapat status kepemilikan rumah dinas dan harta bergerak dari mobil hingga sepeda motor yang digunakan pegawai yang sudah pensiun.
“Ini gambaran buram kinerja SKPD yang diungkapkan BPK RI dalam LHP-nya. Dan ini menurut saya bukan main-main, Gubernur Irwan harus menentukan sikap, apakah tetap memakai pejabat yang korup atau melakukan penyeleksiaan pejabat yang bersih dan professional dengan melibatkan semua unsur untuk memberikan masukan. Unsur yang kita maksudkan dapat saja, misalnya pers, LSM, dan penegak hukum serta DPR. Namun tetap kita harus taat Undang-Undang, kata putus tetap ditangan gubernur, kita hanya memberikan masukan. Undang-Undang memberikan kewenangan, pengangkatan pejabat di lingkungan Pemprov merupakan kewenangan mutlak Gubernur. Ini tetap kita hormati,” tegas Rajo Perak. (Buya)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »