Hakim yang Dilaknat Allah dan Rasul-Nya

HARI ini, di negeri yang katanya berdasarkan hukum ini, para pencari keadilan sering mengalami kekecewaan. Keputusan Hakim acap dianggap bertentangan dengan logika dan rasa keadilan masyarakat.

Hukum terasa tidak bermakna lagi. Keputusan yang akan diberikan oleh seorang hakim terkadang dianggap tidak lagi mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat pencari keadilan.

Bukan rahasia lagi, sudah umum diketahui oleh publik negeri ini, keputusan hakim sering dipengaruhi faktor X, tidak murni lagi berdasarkan hukum. Tudingan bertubi-tubi dialamatkan kepada hakim, ketika hakim memutuskan suatu kasus diluar rasa keadilan masyarakat tadi.

Isu suap sering dituduhkan kepada hakim yang memutuskan suatu kasus yang dianggap tak rasional. Misalnya, hakim memberikan keputusan hukum jauh lebih berat dari tuntutan jaksa. Padahal terdakwa sudah berusaha kooperatif selama persidangan.

Dalam suatu kasus yang penulis pantau perkembangannya, keputusan hakim memang dirasa janggal. Walau hakim memiliki wewenang penuh menetapkan hukum maksimal terhadap terdakwa. Tapi keputusan yang diberikan terasa janggal oleh keluarga.

Kasus dugaan pengelapan misalnya. Seorang terdakwa yang dihadapkan ke pengadilan telah mengakui perbuatannya dan barang yang digelapkan yang disangkakan kepadanya, telah pula dia kembalikan. Dalam proses persidangan pun terdakwa bersifat kooperatif.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa 8 bulan penjara. Tetapi hakim memutuskan 2 tahun penjara. Secara formil, hakim sah-sah saja menetapkan hukuman seperti itu, tetapi keluarga menganggap ada permainan dibalik ini semua.

Kalau difikir secara logika, dari keputusan hukum yang diberikan hakim yang sama terhadap kasus penggelapan yang dia sidangkan. Terdakwa yang diduga melakukan penggelapan dengan nilai miliaran rupiah hanya dikenakan hukuman 2 tahun 3 bulan. Terdakwa yang diduga nilai penggelapannya tak sampai ratusan juta dan semua barang yang diduga digelapkan telah dikembalikan, dapat jatah juga 2 tahun penjara. Adilkah ini?

Itulah kondisi penegakkan hukum di negeri ini. Begitulah kecerdasan hakim di negeri ini. Tak peduli apakah hakimnya keluaran fakultas hukum umum atau fakultas hukum Islam (Syariah). Sama saja. Tapi kita juga harus mengakui masih ada hakim yang idealis, tanpa mau dibujuk rayu dunia.

Kali ini, penulis hanya mengingatkan kepada para hakim yang belatar belakang pendidikan agama atau keluaran universitas Islam. Ketika kuliah dulu, tentu banyak sedikitnya mereka pernah diberikan mata kuliah yang bermaterikan tuntunan menjadi hakim dalam Islam.

Penulis masih ingat, ketika mengikuti mata kuliah hadis ahkam, salah satu hadis pokok yang dibahas adalah tentang haramnya seorang hakim menerima suap dan laknat Allah SWT dan Rasul-Nya atas hakim yang melacurkan diri semacam itu.

"Dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata: Rasulullah saw, bersabda: kutukan Allah menimpa atas orang yang menyuap dan orang yang menerima suap dalam hukum." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Telah menceritakan kepada kami Quthaibah,  menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Amri bin Abi Sallamah dari bapaknya, dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW melaknat kepada penyuap dan yang diberi suap dalam urusan hukum. (HR. Tirmidzi).

Dari Abdullah bin Amru r.a., beliau berkata: Rasulullah saw, bersabda, "kutukan Allah menimpa atas orang yang menyuap dan yang menerima suap." (Diriwayatkan oleh Al-Khamsah (lima perawi) selain An-Nasa'i dan dinilai sahih oleh At-Tirmidzi).

Apakah hakim-hakim yang berlatar belakang pendidikan agama, setelah menjadi hakim melupakan hadis-hadis di atas? Apakah mata hati mereka tertutup dengan sejumlah 'uang sogokan', sehingga memutuskan suatu kasus diluar jangkauan rasionalitas. Maka pantaslah hakim-hakim yang 'melacurkan diri' seperti itu dilaknat Allah dan Rasul-Nya.

Ditulis Oleh : 
Zamri Yahya, SHI
Alumnus Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »