HUKUM sebagai norma mempunyai ciri kekhususan, yaitu hendak melindungi, mengatur dan memberikan keseimbangan dalam menjaga kepentingan umum. Kalau ada yang melanggar ketentuan hukum dalam arti merugikan, melalaikan atau mengganggu keseimbangan kepentingan umum seperti yang dikehendaki oleh ketentuan hukum itu, maka pelanggarnya mendapat reaksi dari masyarakat. Dan reaksi yang diberikan berupa pengembalian ketidak seimbangan yang dilakukan dengan mengambil tindakan terhadap pelanggar itu. Pengembalian ketidakseimbangan bagi kelompok sosial yang teratur dilakukan oleh petugas yang berwenang untuk keperluan itu dengan memberikan hukuman.
Hukum merupakan salah satu produk manusia dalam membangun kehidupannya, yang bisa dicermati atau ditelaah melalui interaksi yang berlangsung di masyarakat. Hukum yang terbentuk itu kemudian dijadikan sebagai kontrol sosial di masyarakat tersebut. Hukum sebagai kontrol sosial merupakan aspek yuridis normatif dari kehidupan sosial masyarakat atau dapat disebut sebagai pemberi definisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti perintah-perintah dan larangan-larangan. Selain itu juga berfungsi menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak baik atau yang menyimpang dari hukum, serta menerapkan sanksi hukum terhadap orang yang berprilaku tidak baik tersebut, guna tercapainya ketentraman dan kemakmuran di masyarakat.
Negara Indonesia yang mengedepankan hukum positif sebagai rule of the game dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekaligus menjadikan hukum itu sebagai panglima di negara ini, maka hal ini mengandung konsekuensi yang luas di tengah-tengah masyarakat yaitu segala sesuatu yang menyangkut prilaku dan keperluan hajat hidup orang banyak harus diatur oleh hukum. Hukum harus ditegakkan bagi semua warga negara Indonesia tanpa pandang bulu, tanpa melihat seseorang berada pada top eksekutif, atau top legislatif atau seorang konglongmerat, juga tidak memandang apakah ia seorang pejabat militer, semua harus patuh dan tunduk kepada hukum tanpa terkecuali.
Pada era reformasi sekarang ini, salah satu tuntutan aspirasi masyarakat yang berkembang adalah reformasi hukum dibawah sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan berbangsa dalam rangka dan upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif didukung oleh kualitas sumberdaya manusia dan kultur serta kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaharuan materi hukum yang terstruktur secara harmonis demi terciptanya keadilan hukum yang sesungguhnya dalam rangka menuju terwujudnya supremasi sistem hukum.
Hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan ataupun yang dibolehkan dan sebaliknya. Hukum menggambarkan tentang sejumlah permasalahan hukum yang berkaitan dengan budaya hukum dan melihat dari sudut konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seseorang mengartikan dan memandang hukum. Oleh karena itu aktivitas pembuat hukum atau undang-undang dan kebijakan lainnya dari penguasa negara atau pemerintah salah satunya adalah menetapkan peraturan-peraturan yang sebenarnya telah hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Selanjutnya tugas pembuat undang-undang adalah untuk mengadakan, mengarahkan serta mendorong perubahan dalam masyarakat, serta memberi sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat, sehingga pembentuk undang-undang harus mendahului perubahan masyarakat. Bilamana undang-undang digunakan sebagai sarana perubahan, maka perundang-undangan akan merupakan bagian dari kebijaksanaan sosial, ekonomi, kebudayaan, piskal, moneter dan sebagainya. Dengan demikian, maka undang-undang adalah rangkaian dari alat pemerintah untuk mewujudkan kebijakannya.
Dalam keseharian sekarang ini, kita kadang menjadi maklum terhadap masyarakat yang heran dan bahkan marah ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan mengatasi kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus atau persoalan yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Selain itu, juga banyak terjadi tumpang tindih pengaturan tentang sesuatu hal, akibatnya hukum atau undang-undang bukan lagi menyelesaikan permasalahan tetapi melahirkan sebuah permasalahn baru terutama dalam pelaksanaannya, baik oleh masyarakat ataupun oleh aparat penegaknya.
Seperti penulis sampaikan di atas bahwa aktivitas pembuat hukum atau undang-undang dan kebijakan lainnya dari penguasa negara atau pemerintah salah satunya adalah menetapkan peraturan-peraturan yang sebenarnya telah hidup dan berkembang dalam masyarakat. Tetapi dalam proses pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia, tidak jarang ditemui terjadinya persoalan baru dalam proses pelaksanaan/penegakan dari hukum itu sendiri, baik antara undang-undang dengan undang-undang, undang-undang dengan Konstitusi (UUD 1945), undang-undang dengan peraturan dibawahnya, seperti dengan Peraturan Pemerintah, dan seterusnya.
Selain masalah pada aturan hukum yang bersifat nasional, di daerah sendiri juga banyak terjadi persoalan yang sama, dimana Peraturan Daerah (Perda) banyak yang ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Secara penegakan hukum, jelas ini akan menimbulkan konsekwensi dalam penerapan/pelaksanaanya di tengah-tengah masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sebetulnya ilmu hukum sudah memberikan jawaban lewat asas-asas dalam penerapan hukum, seperti asas lex spesialis derograt lex generalis (aturan yang bersifat khusus mengkesampingkan aturan yang bersifat umum), asas lex superior derograt lex imperior (aturan yang lebih tinggi mengkesampingkan aturan yang lebih rendah).
Selain itu, sekarang ini sebetulnya ada beberapa lembaga Negara yang dibentuk dan diberi wewenang untuk mengatasi permasalahan tentang tumpang tindih aturan tersebut, seperti Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang dengan UUD 1945. Mahkamah Agung untuk menguji aturan dibawah undang-undang. Sedangkan terhadap Perda-Perda maka Menteri Dalam Negeri juga sudah banyak melakukan peninjauan ulang kembali dan membatalkan yang dinilai bermasalah dengan aturan yang lebih tinggi di atasnya.
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa: “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Dari ketentuan pasal amandemen tersebut, lahirlah potret baru wajah pemerintahan daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam era otonomi daerah sekarang ini, Pemerintah Daerah diberi kesempatan dan keleluasaan untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang mendorong Pemerintah Daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah dapat berjalan dengan baik dan lancar apabila ketentraman dan ketertiban dapat terjaga, yaitu suatu kondisi masyarakat dan pemerintah yang dinamis sehingga dapat melaksanakan kegiatan dengan aman, tentram, tertib dan teratur.
Pemerintah Daerah dalam penyelengaraan ketertiban dan ketentraman di tengah-tengah masyarakat demi terlaksananya pembangunan yang sudah direncanakan maka diberi kewenangan untuk membentuk aturan yang bersifat dan berlaku untuk mengatur daerahnya masing-masing berupa Peraturan Daerah dan aturan pelaksanannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan aturan ini telah memberikan dasar pijakan kepada pelaksana pemerintahan di daerah untuk membuat aturan perundang-undangan berupa Peraturan Daerah (Perda) dalam rangka menjalankan roda pemerintahan otonomi mereka di daerah masing-masing.
Untuk membantu Kepala Daerah menegakan Perda dan penyelengaraan ketertiban dan ketentraman di tengah-tengah masyarakat maka dibentuklah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Dasarnya dapat dilihat dalam Pasal 148 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa “Untuk membantu kepala daerah dalam menegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
(Ditulis oleh Masjoni Maskur, SP. SH, MH, Pengamat Pertanian dan Hukum)
Hukum merupakan salah satu produk manusia dalam membangun kehidupannya, yang bisa dicermati atau ditelaah melalui interaksi yang berlangsung di masyarakat. Hukum yang terbentuk itu kemudian dijadikan sebagai kontrol sosial di masyarakat tersebut. Hukum sebagai kontrol sosial merupakan aspek yuridis normatif dari kehidupan sosial masyarakat atau dapat disebut sebagai pemberi definisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti perintah-perintah dan larangan-larangan. Selain itu juga berfungsi menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak baik atau yang menyimpang dari hukum, serta menerapkan sanksi hukum terhadap orang yang berprilaku tidak baik tersebut, guna tercapainya ketentraman dan kemakmuran di masyarakat.
Negara Indonesia yang mengedepankan hukum positif sebagai rule of the game dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekaligus menjadikan hukum itu sebagai panglima di negara ini, maka hal ini mengandung konsekuensi yang luas di tengah-tengah masyarakat yaitu segala sesuatu yang menyangkut prilaku dan keperluan hajat hidup orang banyak harus diatur oleh hukum. Hukum harus ditegakkan bagi semua warga negara Indonesia tanpa pandang bulu, tanpa melihat seseorang berada pada top eksekutif, atau top legislatif atau seorang konglongmerat, juga tidak memandang apakah ia seorang pejabat militer, semua harus patuh dan tunduk kepada hukum tanpa terkecuali.
Pada era reformasi sekarang ini, salah satu tuntutan aspirasi masyarakat yang berkembang adalah reformasi hukum dibawah sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan berbangsa dalam rangka dan upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif didukung oleh kualitas sumberdaya manusia dan kultur serta kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaharuan materi hukum yang terstruktur secara harmonis demi terciptanya keadilan hukum yang sesungguhnya dalam rangka menuju terwujudnya supremasi sistem hukum.
Hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan ataupun yang dibolehkan dan sebaliknya. Hukum menggambarkan tentang sejumlah permasalahan hukum yang berkaitan dengan budaya hukum dan melihat dari sudut konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seseorang mengartikan dan memandang hukum. Oleh karena itu aktivitas pembuat hukum atau undang-undang dan kebijakan lainnya dari penguasa negara atau pemerintah salah satunya adalah menetapkan peraturan-peraturan yang sebenarnya telah hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Selanjutnya tugas pembuat undang-undang adalah untuk mengadakan, mengarahkan serta mendorong perubahan dalam masyarakat, serta memberi sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat, sehingga pembentuk undang-undang harus mendahului perubahan masyarakat. Bilamana undang-undang digunakan sebagai sarana perubahan, maka perundang-undangan akan merupakan bagian dari kebijaksanaan sosial, ekonomi, kebudayaan, piskal, moneter dan sebagainya. Dengan demikian, maka undang-undang adalah rangkaian dari alat pemerintah untuk mewujudkan kebijakannya.
Dalam keseharian sekarang ini, kita kadang menjadi maklum terhadap masyarakat yang heran dan bahkan marah ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan mengatasi kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus atau persoalan yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Selain itu, juga banyak terjadi tumpang tindih pengaturan tentang sesuatu hal, akibatnya hukum atau undang-undang bukan lagi menyelesaikan permasalahan tetapi melahirkan sebuah permasalahn baru terutama dalam pelaksanaannya, baik oleh masyarakat ataupun oleh aparat penegaknya.
Seperti penulis sampaikan di atas bahwa aktivitas pembuat hukum atau undang-undang dan kebijakan lainnya dari penguasa negara atau pemerintah salah satunya adalah menetapkan peraturan-peraturan yang sebenarnya telah hidup dan berkembang dalam masyarakat. Tetapi dalam proses pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia, tidak jarang ditemui terjadinya persoalan baru dalam proses pelaksanaan/penegakan dari hukum itu sendiri, baik antara undang-undang dengan undang-undang, undang-undang dengan Konstitusi (UUD 1945), undang-undang dengan peraturan dibawahnya, seperti dengan Peraturan Pemerintah, dan seterusnya.
Selain masalah pada aturan hukum yang bersifat nasional, di daerah sendiri juga banyak terjadi persoalan yang sama, dimana Peraturan Daerah (Perda) banyak yang ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Secara penegakan hukum, jelas ini akan menimbulkan konsekwensi dalam penerapan/pelaksanaanya di tengah-tengah masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sebetulnya ilmu hukum sudah memberikan jawaban lewat asas-asas dalam penerapan hukum, seperti asas lex spesialis derograt lex generalis (aturan yang bersifat khusus mengkesampingkan aturan yang bersifat umum), asas lex superior derograt lex imperior (aturan yang lebih tinggi mengkesampingkan aturan yang lebih rendah).
Selain itu, sekarang ini sebetulnya ada beberapa lembaga Negara yang dibentuk dan diberi wewenang untuk mengatasi permasalahan tentang tumpang tindih aturan tersebut, seperti Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang dengan UUD 1945. Mahkamah Agung untuk menguji aturan dibawah undang-undang. Sedangkan terhadap Perda-Perda maka Menteri Dalam Negeri juga sudah banyak melakukan peninjauan ulang kembali dan membatalkan yang dinilai bermasalah dengan aturan yang lebih tinggi di atasnya.
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa: “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Dari ketentuan pasal amandemen tersebut, lahirlah potret baru wajah pemerintahan daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam era otonomi daerah sekarang ini, Pemerintah Daerah diberi kesempatan dan keleluasaan untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang mendorong Pemerintah Daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah dapat berjalan dengan baik dan lancar apabila ketentraman dan ketertiban dapat terjaga, yaitu suatu kondisi masyarakat dan pemerintah yang dinamis sehingga dapat melaksanakan kegiatan dengan aman, tentram, tertib dan teratur.
Pemerintah Daerah dalam penyelengaraan ketertiban dan ketentraman di tengah-tengah masyarakat demi terlaksananya pembangunan yang sudah direncanakan maka diberi kewenangan untuk membentuk aturan yang bersifat dan berlaku untuk mengatur daerahnya masing-masing berupa Peraturan Daerah dan aturan pelaksanannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan aturan ini telah memberikan dasar pijakan kepada pelaksana pemerintahan di daerah untuk membuat aturan perundang-undangan berupa Peraturan Daerah (Perda) dalam rangka menjalankan roda pemerintahan otonomi mereka di daerah masing-masing.
Untuk membantu Kepala Daerah menegakan Perda dan penyelengaraan ketertiban dan ketentraman di tengah-tengah masyarakat maka dibentuklah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Dasarnya dapat dilihat dalam Pasal 148 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa “Untuk membantu kepala daerah dalam menegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
(Ditulis oleh Masjoni Maskur, SP. SH, MH, Pengamat Pertanian dan Hukum)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »