BentengSumbar.com --- Sebelas orang hakim ad hoc yang tersebar di seluruh Indonesia memohonkan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ke Mahkamah Konstitusi. Para hakim ad hoc tersebut menilai Pasal 122 huruf e UU tersebut diskriminatif.
Salah satu Pemohon Prinsipal Gazalba Saleh, hakim ad hoc tipikor Pengadilan Negeri Surabaya memaparkan pokok-pokok permohonannya di depan majelis hakim panel yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat. Menurutnya, UU Aparatur Sipil Negara imperfect karena materi muatan yang diatur berkenaan dengan aparatur sipil negara yang berada dalam domain eksekutif, sedangkan hakim ad hoc termasuk dalam domain yudikatif dan sudah diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu, dalam Pasal tersebut, hakim ad hoc tidak termasuk pejabat negara. Dampaknya, menurut Pemohon, setiap proses pemeriksaan dan produk putusan pengadilan khusus yang majelis hakimnya beranggotakan hakim ad hoc menjadi ilegal dan batal demi hukum karena tidak memiliki legitimasi dan legalitas kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara.
“Konsekuensi lain adalah apabila hakim ad hoc menerima gratifikasi dari para pihak yang berperkara, para hakim ad hoc tersebut tidak diwajibkan untuk lapor karena tidak termasuk dalam pejabat negara,” ujar Gazalba dalam sidang perdana perkara nomor 32/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno Gedung MK, Senin (7/4).
Lebih lanjut, imbuh Pemohon, secara kelembagaan eksistensi hakim ad hoc merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) terhadap kebutuhan hukum dan konsekuensi dibentuknya pengadilan khusus sebagaimana telah diatur dalam Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Jabatan hakim adalah pejabat negara tanpa dibedakan asal rekrutmen ataupun pengisian jabatannya, melainkan didasarkan atas fungsinya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman,” tandasnya.
Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 berbunyi:
Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: (e) Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 122 huruf e UU Aparatur Sipil Negara, khususnya frasa “kecuali hakim ad hoc” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta MK menyatakan hakim ad hoc adalah pejabat negara pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung RI.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, majelis hakim panel menyarankan Pemohon untuk memperbaiki format permohonan sesuai Peraturan MK. Selain itu, Pemohon juga diminta menguatkan alasan permohonan dan memperbaiki petitum. “Posita harus diuraikan secara cermat dan mendalam untuk menjelaskan alasan dasar kenapa pasal itu bertentangan dengan UUD 1945, bisa alasan-alasan filosofis atau alasan yang bersifat akademik,” ujar Arief. (BY/mh)
Salah satu Pemohon Prinsipal Gazalba Saleh, hakim ad hoc tipikor Pengadilan Negeri Surabaya memaparkan pokok-pokok permohonannya di depan majelis hakim panel yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat. Menurutnya, UU Aparatur Sipil Negara imperfect karena materi muatan yang diatur berkenaan dengan aparatur sipil negara yang berada dalam domain eksekutif, sedangkan hakim ad hoc termasuk dalam domain yudikatif dan sudah diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu, dalam Pasal tersebut, hakim ad hoc tidak termasuk pejabat negara. Dampaknya, menurut Pemohon, setiap proses pemeriksaan dan produk putusan pengadilan khusus yang majelis hakimnya beranggotakan hakim ad hoc menjadi ilegal dan batal demi hukum karena tidak memiliki legitimasi dan legalitas kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara.
“Konsekuensi lain adalah apabila hakim ad hoc menerima gratifikasi dari para pihak yang berperkara, para hakim ad hoc tersebut tidak diwajibkan untuk lapor karena tidak termasuk dalam pejabat negara,” ujar Gazalba dalam sidang perdana perkara nomor 32/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno Gedung MK, Senin (7/4).
Lebih lanjut, imbuh Pemohon, secara kelembagaan eksistensi hakim ad hoc merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) terhadap kebutuhan hukum dan konsekuensi dibentuknya pengadilan khusus sebagaimana telah diatur dalam Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Jabatan hakim adalah pejabat negara tanpa dibedakan asal rekrutmen ataupun pengisian jabatannya, melainkan didasarkan atas fungsinya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman,” tandasnya.
Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 berbunyi:
Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: (e) Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 122 huruf e UU Aparatur Sipil Negara, khususnya frasa “kecuali hakim ad hoc” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta MK menyatakan hakim ad hoc adalah pejabat negara pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung RI.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, majelis hakim panel menyarankan Pemohon untuk memperbaiki format permohonan sesuai Peraturan MK. Selain itu, Pemohon juga diminta menguatkan alasan permohonan dan memperbaiki petitum. “Posita harus diuraikan secara cermat dan mendalam untuk menjelaskan alasan dasar kenapa pasal itu bertentangan dengan UUD 1945, bisa alasan-alasan filosofis atau alasan yang bersifat akademik,” ujar Arief. (BY/mh)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »
