![]() |
Ilustrasi. |
TIDAK banyak yang paham, bahwa hidup ini sebenarnya hanyalah pendakian untuk mencari diri sendiri. Sejak masuk pada alam dunia, sesudah melewati alam rahim, ruh kita diberi kendaraan berupa jasad untuk mengarungi hidup. Kita memulai dari ketidak-tahuan dan terus melakukan pencarian.
Menariknya, sebagian besar manusia salah mengambil makna. Mereka mencari dirinya melalui konsep materialis. Apa yang terlihat, itulah yang menjadi ukuran.
Karena itulah kita banyak melihat orang-orang yang memenuhi dirinya dengan aksesoris dunia. Mereka mengukur dirinya melalui ukuran manusia lain, yang juga mengukur dirinya dengan dunia.
Apakah mereka dapat kepuasan dengan menemukan dirinya sendiri melalui konsep seperti itu ? Tidak akan pernah.
Ukuran manusia berbeda, karena itu ketika kita sibuk mengukur diri kita melalui pandangan orang lain, selalu ada yang kurang. Kita merasa menjadi manusia yang tidak sempurna.
Ketidak-sempurnaan itu menjadikan mereka yang mengukur dirinya melalui orang lain, bergerak limbung. Tujuan hidupnya abstrak. Karena itulah banyak yang tersesat dengan memuja materialisme.
Harta dan kuasa menjadikan dirinya tinggi di mata orang yang rendah, tapi menjadikannya rendah ketika bertemu orang yg lebih tinggi. Mereka seperti seekor anjing yang berputar mengejar ekornya sendiri. Pada akhirnya jatuh kelelahan, tanpa mendapat apa-apa.
Disinilah ilmu ahlul bait Nabi begitu berharga sebagai patokan dalam pendakian hidup. Sebagai kompas.
Begitu dalam nasihat-nasihat mereka yang menohok di relung hati, membuka pikiran dan memenuhi kekosongan ruh. Mereka menuntun kita dalam agama. Dan agama sudah bukan lagi sebuah dogma, tetapi pemenuhan akal.
Ketika akal sudah mencapai kesempurnaan, maka akan terlihat seperti apa sebenarnya diri kita yang kita cari selama ini. Semakin jelas, apa tujuan kita dalam hidup ini.
Itulah kebahagiaan yang nyata. Bukan kebahagiaan semu yang terus menerus menjadi pembungkus jiwa yang lemah.
Mari kita ibaratkan secangkir kopi. Kebahagiaan itu adalah kenikmatan dan kenikmatan itu adalah ketika lidah kita mencecap rasa pahit bubuk kopi dan manisnya gula yang tertakar sesuai ukuran lidah kita, bukan lidah orang lain.
Kita baru bisa merasakannya utuh ketika air panas melarutkan semuanya. Itulah shalawat.
Pada saat semua kenikmatan yang sesuai takaran itu mampir di bibir kita dan menyelinap di kerongkongan, maka jiwa terasa penuh dan kitapun kecanduan untuk ingin menikmatinya lagi dan lagi.
(Penulis Denny Siregar, pengamat sosial, budaya, agama dan politik, tinggal di Jakarta)
Menariknya, sebagian besar manusia salah mengambil makna. Mereka mencari dirinya melalui konsep materialis. Apa yang terlihat, itulah yang menjadi ukuran.
Karena itulah kita banyak melihat orang-orang yang memenuhi dirinya dengan aksesoris dunia. Mereka mengukur dirinya melalui ukuran manusia lain, yang juga mengukur dirinya dengan dunia.
Apakah mereka dapat kepuasan dengan menemukan dirinya sendiri melalui konsep seperti itu ? Tidak akan pernah.
Ukuran manusia berbeda, karena itu ketika kita sibuk mengukur diri kita melalui pandangan orang lain, selalu ada yang kurang. Kita merasa menjadi manusia yang tidak sempurna.
Ketidak-sempurnaan itu menjadikan mereka yang mengukur dirinya melalui orang lain, bergerak limbung. Tujuan hidupnya abstrak. Karena itulah banyak yang tersesat dengan memuja materialisme.
Harta dan kuasa menjadikan dirinya tinggi di mata orang yang rendah, tapi menjadikannya rendah ketika bertemu orang yg lebih tinggi. Mereka seperti seekor anjing yang berputar mengejar ekornya sendiri. Pada akhirnya jatuh kelelahan, tanpa mendapat apa-apa.
Disinilah ilmu ahlul bait Nabi begitu berharga sebagai patokan dalam pendakian hidup. Sebagai kompas.
Begitu dalam nasihat-nasihat mereka yang menohok di relung hati, membuka pikiran dan memenuhi kekosongan ruh. Mereka menuntun kita dalam agama. Dan agama sudah bukan lagi sebuah dogma, tetapi pemenuhan akal.
Ketika akal sudah mencapai kesempurnaan, maka akan terlihat seperti apa sebenarnya diri kita yang kita cari selama ini. Semakin jelas, apa tujuan kita dalam hidup ini.
Itulah kebahagiaan yang nyata. Bukan kebahagiaan semu yang terus menerus menjadi pembungkus jiwa yang lemah.
Mari kita ibaratkan secangkir kopi. Kebahagiaan itu adalah kenikmatan dan kenikmatan itu adalah ketika lidah kita mencecap rasa pahit bubuk kopi dan manisnya gula yang tertakar sesuai ukuran lidah kita, bukan lidah orang lain.
Kita baru bisa merasakannya utuh ketika air panas melarutkan semuanya. Itulah shalawat.
Pada saat semua kenikmatan yang sesuai takaran itu mampir di bibir kita dan menyelinap di kerongkongan, maka jiwa terasa penuh dan kitapun kecanduan untuk ingin menikmatinya lagi dan lagi.
(Penulis Denny Siregar, pengamat sosial, budaya, agama dan politik, tinggal di Jakarta)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »