Para Pencari Arti

Oleh: Denny Siregar, pengamat sosial dan budaya. Foto: Ilustrasi. 
TEMANKU bukan main ujian hidupnya.

Di pertengahan usianya, aku menyaksikan badai menghantam kehidupannya. Semua yang dimiliki habis. Harta, jabatan seperti ditanggalkan satu persatu dari bajunya melalui banyak peristiwa.

Hampir semua orang yang mengenalnya mencibirnya. Tangannya selalu menggapai-gapai minta pertolongan kepada orang-orang disekitarnya. Aku tahu, ia sangat malu melakukan itu. Tapi aku tahu, rasa malunya tidak ada artinya ketika harus mendengar suara2 kecil kelaparan di dapur rumahnya.

Proses itu berlangsung bertahun-bertahun, dan anehnya, semua yang dulu begitu mudah untuk dia dapatkan, sekarang menjadi begitu sulit. Aku juga heran kenapa kegagalan seperti mesra padanya. Dia bilang, mencari sedikitt rejeki saja sudah seperti mencari oase baginya.

Begitu banyak teman yang mengatakan bahwa ia sedang mendapat musibah. Entah kenapa aku tidak setuju.

Ada hal yang tidak terlihat oleh teman2ku dan saudara-saudaranya, yang selalu mengukur orang dari materinya. Aku melihat temanku sekarang begitu bersih wajahnya. Teduh dan memancarkan pengetahuan yang dalam.

Pada satu sore kami ngobrol bersama. Tidak ada lagi nada tinggi dari suaranya. Tidak ada lagi kata-kata yang merendahkan dari bibirnya, seperti yang pernah ia lakukan disaat ia jaya.

"Bisa kamu bayangkan bahwa semua tekanan itu, mengikis baju kesombonganku. Menariknya, dunia seperti tidak mencintaiku lagi dan aku juga tidak mencintainya. Ini seperti perjalanan hidup yang fantastis," katanya.

Fantastis ? Kesulitan adalah perjalanan hidup yang fantastis ? Aku heran dan belum pernah mendengar ada orang yang malah menyukai situasinya.

"Percayalah. Kamu akan sulit bertemu kebahagiaan spiritual seperti ini, jika kamu tidak mengarungi lautannya. Semua teori filosofi yang ada tentang hidup, tidak artinya, tanpa kamu praktek di dalamnya, dan mengambil mutiara-mutiara hikmahnya..."

Memang benar. Buatku dia sekarang jauh lebih kaya dari dia dulu, dan dia menyadarinya. Tidak ada lagi kecemasan di wajahnya. Seperti orang yang sudah menemukan arti dari kehidupannya.

Ia menghabiskan gelas kopinya, dan beranjak. "Mau kemana ?" Tanyaku.

"Menyongsong rejeki. Mencari materi," dia tertawa. "Materi harus dicari seluas-luasnya, tapi jangan biarkan ia menguasai ruh kita. Jangan sampai ia menjadi tuan dan kita jadi anjing peliharaannya..."

Aku tersedak kopiku sendiri.

"Kekayaan tanpa iman adalah kemiskinan terbesar" (Imam Ali Karamallahu Wajhah)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »