Surat Pembaca: Mohon Klarifikasi Bupati Agam Terkait Dualisme Harga Sawit

Surat Pembaca: Mohon Klarifikasi Bupati Agam Terkait Dualisme Harga Sawit
Foto Ilustrasi: Panen Sawit. 
SETELAH berkomunikasi dengan beberapa petani sawit di desa Batu Hampar Manggopoh Kabupaten Agam dan beberapa pedagang sawit (tengkulak, trader), akhirnya saya berkesimpulan bahwa ada yang aneh dalam penetapan harga kelapa sawit dari pabrik terhadap petani sawit dan terhadap perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Agam. 

Ada dualisme harga dan disparitas harga yang cukup signifikan yang pada akhirnya sangat berpotensi merugikan petani sawit (loss oportunity) dan sangat menguntungkan bagi perusahaan perkebunan sawit. "Oportunity Loss" ini berlangsung secara "taken for granted" saja, pihak petani cuma bisa bergunjing diantara sesama mereka soal permainan harga ini. Bahkan tak sedikit dari mereka berprasangka bahwa ada aksi "main mata" antara pihak pemda dengan pihak perusahan-perusahaan perkebunan sawit plus pabrik. Atau setidaknya ada aksi pembiaran (by omision) dari pihak pemda atas kebijakan pabrik dalam penetapan harga beli sawit.

Informasi yang saya dapat, sudah sejak beberapa tahun terakhir, harga sawit perkilo untuk petani sawit di Manggopoh khususnya, mungkin juga di Agam secara keseluruhan, tak pernah lebih dari seribu rupiah. Bahkan saat ini ada dikisaran Rp. 700-800 per kilo. Sialnya lagi, dengan harga yang demikian rendah, kendaraan pembawa sawit yang non perusahaan sawit ini bisa menunggu sehari sampe dua hari untuk proses penjualannya di pabrik. Sementara itu, dari info petani sawit, harga yang ditetapkan pabrik kepada perusahaan perkebunan sawit berada dikisaran Rp. 1200-1300. Jelas, ini sebuah disparitas yang sangat mencolok dan secara materil sangat merugikan petani sawit. Dan ini akan semakin kontras jika saya sandingkan dengan fakta harga yang ditetapkan pabrik di daerah-daerah Riau. Info dari beberapa perantau disana, harga pabrik untuk sawit rata-rata Rp. 1500 perkilo.

Persoalan pertama yang ingin saya konfirmasikan ke pihak  Pemda Agam atau Dinas terkait adalah soal existensi dualisme harga ini. Jika itu ternyata benar, atas dasar apa dualisme harga ini dibiarkan berlangsung dan mengapa disparitas harganya begitu tinggi?

Kita bisa bayangkan, jika seorang petani sebulan menghasilan 10 Ton Sawit alias 10.000 Kg, maka potensi kerugiannya (loss opportunity) bisa mencapai lima juta rupiah dan Rp. 60 juta pertahun. Dengan asumsi harga lapangan Rp. 800 dan harga pabrik yang sebenarnya Rp. 1.300. Selisih harga adalah Rp. 500 (Rp.500 x 10.000 kg). Ini akan berlipat terus, jika satu kanagarian rata-rata menghasilkan 500 ton perbulan, maka akan ada potensi kerugian dan penggerusan penghasilan petani satu kanagarian sebesar plus minus Rp. 250.000.000,- per bulan, selama setahun akan menjadi Rp. 3 Milyar per kanagarian.

Dualisme dan disparitas harga ini sudah menjadi pergunjingan dikalangan petani. Bahkan ada beberapa petani akhirnya memilih untuk berprasangka bahwa pemerintah daerah "meminta jatah" terlalu banyak ke pihak perusahaan pengolahan dan perusahaan perkebunanan, sehingga pihak pabrik akhirnya menutupinya dengan aksi menekan harga serendah-rendahnya kepada pihak petani.

Pandangan masyarakat, harga muncul dari ketetapan pemerintah daerah. Secara pribadi, saya tidak begitu paham soal ini. Jika memang benar, maka kebijakan dualisme harga ini sejatinya tidak adil, sangat merugikan petani sawit, dan menimbulkan potensi korupsi antara pihak pemda dengan pihak perusahaan dalam penetapan harga sawit.
Disisi lain, Jika harga diserahkan pada mekanisme pasar, maka harga semestinya akan tidak jauh berbeda dengan harga di daerah-daerah lain. Semisal Riau Pekanbaru Rp.1.500 per Kg. Jambi (Info dari perantau) adalah Rp. 1300. Dll.

Maka dari itu, saya secara pribadi berinisiatif untuk mempertanyakan ini, meminta klarifikasi kepada otoritas yang bersangkutan di Kabupaten Agam. Jika itu memang terjadi tanpa sepengetahuan pemda setempat, maka saya harapakan ada tindakan intervensi dari pihak terkait untuk menertipkan ini. Tapi jika ini ternyata dibiarkan saja, apalagi ada permainan-permainan kotor nan ilegal dalam penetapan harga yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, maka keberpihakan pemerintah daerah terhadap rakyatnya perlu dipertanyakan.

Potensi kerugian yang cukup besar ini sejatinya bisa dicegah oleh pemerintah setempat. Rakyat petani perlu tau harga yang sesungguhnya dan mengapa harga itu ditetapkan di angka tersebut. Dibutuhkan transparansi penetapan harga agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan yang pada akhirnya merugikan rakyat petani dan merugikan nama baik pemerintah daerahnya karena menghalangi potensi kesejahteraan rakyat petani. Kita bisa bayangkan, jika potensi kerugian yang sebesar itu tidak terjadi, maka pendapatan petani akan meningkat dan akan menggenjot tingkat kesejahteraannya. Meningkatkan daya beli petani, meningkatkan kemampuannya untuk memperbaiki pendidikan anak-anak-mereka, kesehatan, dan secara keseluruhan akan membantu meningkatkan taraf hidup para petani sawit secara keseluruhan. Bukankah ini yang diharapkan pemerintah daerah?

Maka dari itu, sekali lagi, saya mohon klarifikasi dari Bupati Agam atau kepala Dinas terkait yang otoritative menangani masalah ini.

Terima Kasih
Ronny P Sasmita
Perantau dari Kanagarian Manggopoh
Alumni SMAN 2 Lubuk Basung dan Universitas Padjadjaran Bandung
08161857061

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »