Dilema BBM, Ketimpangan, dan Signifikasi Intervensi Pemerintah

Oleh: Ronny P. Sasmita. 
PENYEMPITAN ruang fiskal akibat semakin membesarnya beban subsidi energi dalam APBN nampaknya membuat pemerintahan baru terlihat sesak nafas. Dalam RAPBN 2015 yang disodorkan SBY dimasa akhir jabatannya dicantumkan pos anggaran subsidi BBM sebesar Rp. 363,5 triliun. Angka yang terbilang tidak kecil. Jumlah agregat subsidi BBM dalam lima tahun terakhir sudah mencapai Rp. 1600 triliun. Angka ini jauh lebih besar daripada jumlah agregat anggaran untuk infrastruktur dan program kesejahteraan sosial yang hanya sebesar Rp. 1200 triliun dalam rentang tahun yang sama.

Maka dari itu, pencabutan subsidi BBM yang berarti juga menaikan harga BBM adalah opsi utama yang rasanya tak mungkin lagi dielakan. Hal ini sudah bukan lagi wacana, tapi tinggal menunggu "action" saja alias menunggu tanggal baik.

Belum ada angka pasti soal berapa persen atau berapa rupiah tepatnya kenaikan harga BBM.  Namun berkaca pada pernyataan pungawa-punggawa ekonomi dalam kabinet kerja Jokowi, diprediksi angka kenaikan bisa mencapai Rp.3000 per liter atau mendekati 50 persen. Angka ini sampai sekarang masih bersifat "konstant" alias tidak terpengaruh oleh penurunan harga BBM dunia yang saat ini sudah bertengger pada level $80an per barel. Pasalnya, menurut menteri keuangan yang baru, harga keekonomisan BBM dalam negeri adalah Rp.9000 lebih sedikit jika harga minyak dunia berkisar di angka $80 per barel dan Rp. 10.000 per liter jika harga minyak dunia di level $90 per barel. Artinya, kenaikan harga BBM tinggal menunggu waktu meski belakangan harga minyak dunia jatuh ke level $80 per barel.

Bagaimana efek bola salju pencabutan subsidi BBM ini terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan? Cukup menyakitkan pastinya. Berdasarkan skenario kenaikan harga yang dibuat Bank Indonesia, kenaikan BBM Rp. 1000-2000 perliter akan menambah inflasi sebesar 1-2 persen. Artinya, jika kenaikan harga mencapai Rp.3000, maka akan ada peningkatan inflasi sebesar 3 persen. Nah, ini akan menyebabkan inflasi tahunan berada di level 8-9 persen (inflasi sebelum kenaikan BBM berada dikisaran 5 persen), level yang cukup membahayakan tentunya.

Bareksa, salah satu lembaga studi dan pelayanan keuangan, juga sempat memberikan kajian menarik. Efek kenaikan BBM akan menyebabkan kenaikan harga beras sampai 14 persen. Sudah barang tentu, efek berantainya akan terus mengacak-ngacak harga komoditi lainya lantaran diikuti oleh kenaikan biaya transportasi yang menjadi salah satu penentu harga komoditi di pasaran. Jika biaya transportasi naik, maka biaya perpindahan atau mobilitas komoditi akan bertambah dan akan berakibat pada kenaikan  harga komoditi itu sendiri. Ini tentu belum dikaitkan dengan faktor ketersediaan barang di pasaran yang juga sangat mempengaruhi perkembangan harga komoditi pokok.

Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok ini secara langsung akan menggerus daya beli masyarakat. Jika tidak diiringi dengan kenaikan pendapatan, maka diperkirakan akan menambah jumlah keluarga miskin di Indonesia 1-2 persen alias 2-5 juta masyarakat miskin baru. Dalam simulasi yang dilakukan ekonom-ekonom pendukung Jokowi (Faisal Basri dan A Prasentyantoko Cs), disimpulkan bahwa dengan konsumsi 46 juta kilo liter, setiap kenaikan Rp.500 per liter BBM, akan melahirkan 800.000 orang miskin baru dan bisa menghemat anggaran sebesar Rp.23 triliun. Hasil akumulatif jika kenaikan mencapai Rp.3000 tentu saja sangat boombastis karena bisa melemparkan sekitar 4,8 juta manusia Indonesia ke jurang kemiskinan.

Namun Edy Mulyadi, Direktur Program Center for Economic and Democracy Studies (CEDes), punya cara pandang yang menarik. Angka penghematan yang dilahirkan dari pencabutan subsidi BBM sebesar Rp. 500 perliter tersebut tidak sebanding dengan anggaran pengentasan kemiskinan tahun 2013 yang tersebar di 17 departemen, yakni Rp. 94 triliun. Angka yang super jumbo ini ternyata cuma mampu mengentaskan 600.000 orang miskin pada tahun yang sama. Jadi jika dibandingkan dengan Rp. 23 triliun hasil penghematan Rp.500 per liter yang melahirkan 800.000 orang miskin tadi, maka angka ini jelas tak sebanding dan tidak adil. Artinya, "enak buat pemerintah ga enak buat rakyat".

Dari sisi korporasi, kenaikan BBM ini adalah pukulan kedua, setelah kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) baru-baru ini. Kenaikan Harga BBM adalah biang kenaikan biaya produksi dan biang tuntutan kenaikan upah (UMR) dari pekerja. Kedua hal ini kemudian bisa menjadi  biang rasionalisasi tenaga kerja alias pengurangan tenaga kerja dan secara langsung akan menambah jumlah pengangguran baru di negeri ini.

Situasi ini, selanjutnya,  tak dipungkiri akan terus mempertebal jurang ketimpangan pendapatan masyarakat dan akan meneruskan trend kenaikan gini ratio Indonesia yang memang terus memburuk. Lihat saja  tahun- tahun belakangan, gini ratio (Index Gini) Indonesia secara beruntun terus mengalami peningkatan. Artinya, ketimpangan semakin meraja lela. Pertumbuhan dan kue ekonomi semakin besar terserap ke dalam lingkaran golongan kaya dan semakin mencekik kalangan miskin. Tiga tahun belakangan,  2011-2013, gini rasio Indonesia berturut-turut jeblok, yakni 0,38, 0,40, dan 0,41. Ketimpangan ini meliputi ketimpangan sektoral, ketimpangan regional, dan ketimpangan pendapatan.

Secara kasat mata, sudah bisa diproyeksikan bahwa pencabutan subsidi BBM akan meningkatkan inflasi, menumpulkan daya beli masyarakat, menambah jumlah rakyat miskin, menambah pangangguran dan memperkecil lapangan kerja, mempertebal ketimpangan, serta secara makro akan menciptakan stagnasi ekonomi (pertumbuhan yang rendah). Berdasarkan rencana aksi pemerintah yang baru, maka imbas berantai ini akan disikapi dengan kebijakan intervensi langsung. Subsidi pada sektor pendidikan dan kesehatan langsung diformulasikan ke dalam kebijakan kesejahteraan sosial. Maka lahirlah tiga kartu sakti yang baru saja diumukan president Jokowi.

Pada dasarnya, pendekatan reaktif pemerintah ini tak berbeda dengan yang dilakukan rezim SBY, cuma mengalami perubahan bentuk dan nama, seperti BLT di era SBY yang bersifat cash and carry sekarang berubah menjadi sistem transfer. Sebagaimana analisa dari Edy Mulyadi diatas, efeknya tak akan terlalu boombastis untuk mengurangi masyarakat miskin.

Disisi yang lain, sejatinya pemerintah tidak hanya berfokus pada kebijakan yang reaktif alias menangani imbas dari pencabutan subsidi  belaka. Diharapkan ke depan, ada perbaikan dunia permigasan kita. Terutama memperbaiki lifting yang terkerek jauh sampai cuma 800.000 barel per hari sementara kebutuhan dalam negeri berada pada kisaran 1,2-1,6 juta barel perhari. Selain itu, cost recovery pun harus dibuka kepada publik, mengapa terlalu tinggi, yakni $ 14 per barel, sementara di dinegara-negara lain rata-rata cost recovery cuma berkisar $ 6 per barel.

Jadi, selain menggelontorkan kebijakan kompensatif, pemerintah juga harus segera bergerak mengefisiensikan dunia permigasan kita dari hulu sampai hilir. Agar setiap kenaikan dilandasi oleh kebutuhan yang benar-benar bisa diterima publik. Pemerintah harus segera membuktikan bahwa subsidi BBM adalah bukan sebagai pembohongan publik dan bukan sebagai akal-akalan mafia migas untuk mengeruk uang sebanyak-banyak dari dunia permigasan kita, sebagaimana yang seringkali diungkapkan Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli.

Pasalnya, efek berantai yang sangat menyakitkan itu nyata-nyata tak seimbang dengan jumlah anggaran yang akan diselamatkan pemerintah. Apalagi jika kebijakan-kebijakan kompenstaif ternyata tidak menghasilkan imbas positif yang benar-benar bisa membantu masyarakat. Logika "penyempitan ruang fiskal" dan "penyelamatan APBN" harus benar-benar mempunyai makna "menyelamatkan rakyat", bukan menyelamatkan kantong pemerintah. Ketimpangan yang terus berlanjut, kemiskinan dan pengangguran yang akan menghantui masyarakat, dan aglomerasi kekayaan yang berputar-putar dikelas masyarakat kaya, harus segera mendapat terobosan yang kreatif dari pemerintah. Tidak melulu berpatokan pada APBN yang jebol, tapi benar-benar berdasarkan fakta apa yang akan ditanggung rakyat banyak.

Karena, sistem ekonomi Indonesia yang kian liberal-kapitalistik hanya akan memangsa masyarakat yang tak mampu dan memperlebar jurang ketimpangan. Disitulah pemerintah harus benar-benar turun tangan dengan solusi-solusi kebijakan yang tepat dan kreatif. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang ekonom perancis kenamaan yang telah menghabiskan bertahun-tahun waktunya untuk topik ketimpangan, Thomas Pikety, dalam buku teranyarnya "Capital in the Twenty-First Century", "Ketimpangan tidak dihasilkan dari kekuatan alam atau pilihan individu, tapi dari kurangnya intervensi pemerintah". Jadi, reaksi dan antisipasi dari pemerintah semestinya bisa menutupi lobang hitam liberalisme ekonomi yang kadung manjangkiti perekonomian kita. Semoga.

*Penulis adalah peminat masalah ekonomi politik dan konsultan keuangan. Alumni SMAN 2 Lubuk Basung dan Fisip Universitas Padjadjaran Bandung

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »