![]() |
Kampanye Anti Rasis. |
MENYATUKAN negara seperti Republik Indonesia yang begini besar, terdiri dari berbagai macam suku, ras dan agama bukan perkara yang mudah.
Aura ketegangan begitu terasa di awal-awal kemerdekaan. Apalagi muncul gerakan-gerakan pemuda seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes dengan arogansi kesukuan dan keagamaan yang begitu tinggi potensinya untuk memecah belah Indonesia.
Bukannya berterima-kasih kepada para pejuang yang dengan kepala dingin merumuskan persatuan Indonesia, generasi sekarang yang sama sekali tidak berdarah dan ikut berjuang malah sibuk menggali perpecahan.
Mereka mengorek-ngorek isu yang sudah lama disepakati sebagai keragaman Indonesia. Mulai dari Gubernur Jakarta yang dipermasalahkan agamanya, sampai seorang ustad sedekah yang "menyarankan" Presiden untuk tidak menghadiri misa natal di Papua.
Si ustad tidak paham, bahwa seorang Presiden adalah simbol bangsa dan simbol harus berdiri diatas semua agama.
Apakah mereka yang sibuk menggali isu sensitif itu tidak belajar dari kerusuhan Ambon atau dari kasus Serbia dan Bosnia tahun 1985 ?
Yugoslavia dibawah kendali Uni Soviet bertahun-bertahun menyatukan Serbia dan Bosnia. Ketika Uni Soviet runtuh, Yugoslavia pecah, maka terjadilah pembantaian yang mengerikan oleh warga Serbia yang kristen terhadap Bosnia yang muslim. Ratusan ribu jiwa melayang.
Hal yang sangat mungkin terjadi di negara kita, ketika Pancasila tidak diterapkan sebagai dasar negara dimana Presiden menjadi pengemban amanat persatuan.
Untungnya mayoritas masyarakat Indonesia sudah dewasa. Menariknya, segala hal yang menyinggung SARA sekarang ini hanya menjadi bahan hiburan semata, tertawaan orang cerdas.
Bahkan tertawa semakin keras, ketika Tuhan berperan langsung mengorbitkan seorang ulama rasis menjadi pelawak dengan lakon Gubernur Tandingan.
Tuhan memang bekerja dengan cara yang sangat misterius, meskipun itu sekedar menghibur hambaNya yang sedang dalam kondisi susah.
Aura ketegangan begitu terasa di awal-awal kemerdekaan. Apalagi muncul gerakan-gerakan pemuda seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes dengan arogansi kesukuan dan keagamaan yang begitu tinggi potensinya untuk memecah belah Indonesia.
Bukannya berterima-kasih kepada para pejuang yang dengan kepala dingin merumuskan persatuan Indonesia, generasi sekarang yang sama sekali tidak berdarah dan ikut berjuang malah sibuk menggali perpecahan.
Mereka mengorek-ngorek isu yang sudah lama disepakati sebagai keragaman Indonesia. Mulai dari Gubernur Jakarta yang dipermasalahkan agamanya, sampai seorang ustad sedekah yang "menyarankan" Presiden untuk tidak menghadiri misa natal di Papua.
Si ustad tidak paham, bahwa seorang Presiden adalah simbol bangsa dan simbol harus berdiri diatas semua agama.
Apakah mereka yang sibuk menggali isu sensitif itu tidak belajar dari kerusuhan Ambon atau dari kasus Serbia dan Bosnia tahun 1985 ?
Yugoslavia dibawah kendali Uni Soviet bertahun-bertahun menyatukan Serbia dan Bosnia. Ketika Uni Soviet runtuh, Yugoslavia pecah, maka terjadilah pembantaian yang mengerikan oleh warga Serbia yang kristen terhadap Bosnia yang muslim. Ratusan ribu jiwa melayang.
Hal yang sangat mungkin terjadi di negara kita, ketika Pancasila tidak diterapkan sebagai dasar negara dimana Presiden menjadi pengemban amanat persatuan.
Untungnya mayoritas masyarakat Indonesia sudah dewasa. Menariknya, segala hal yang menyinggung SARA sekarang ini hanya menjadi bahan hiburan semata, tertawaan orang cerdas.
Bahkan tertawa semakin keras, ketika Tuhan berperan langsung mengorbitkan seorang ulama rasis menjadi pelawak dengan lakon Gubernur Tandingan.
Tuhan memang bekerja dengan cara yang sangat misterius, meskipun itu sekedar menghibur hambaNya yang sedang dalam kondisi susah.
Ditulis Oleh: Denny Siregar, Pengamat Sosial dan Budaya.
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »