![]() |
Oleh: Tommy TRD, S.STP. |
MENYIMAK dan mengikuti perkembangan sosial media khususnya di Kota Padang, akhir-akhir ini tengah hot mengenai pemberitaan “pemimpin yang merakyat”. Entah itu dengan cara melakukan blusukan ke pasar-pasar atau lebih ekstrim mengunjungi rumah-rumah dari kalangan yang tidak mampu untuk berbuka atau sahur bersama. Kegiatan-kegiatan seperti itu kemudian dinamakan sebagai program pemimpin yang merakyat. Tidak hanya Walikota dan Wakil Walikota saja, bahkan sampai Gubernur pun ikut dalam kegiatan “merakyat” ini.
Saya sebagai penyelenggara pemerintahan dan juga sebagai orang yang memiliki latar belakang ilmu pemerintahan, melalui tulisan ini ingin sedikit berbagi pandangan mengenai yang dinamakan pemerintahan atau kepemimpinan yang merakyat. Karena saya memiliki suatu kekhawatiran yang mendalam terhadap perkembangan situasi politik dan pemerintahan yang terjadi dewasa ini, baik tingkat lokal Sumatera Barat sampai tingkat nasional. Kenapa ? Saya berpandangan terdapat sebuah penyesatan pola pikir yang disebarkan oleh berbagai media massa, terlebih oleh Humas masing-masing.
Dewasa ini diakui atau tidak terdapat begitu banyak pembodohan publik dengan menciptakan sebuah citra pemimpin yang merakyat melalui apa yang dia lakukan atau apa yang dia kenakan. Sebagai contoh, pemimpin yang blusukan ke pasar raya akan dikatakan merakyat, pemimpin yang pada fotonya sedang memegang sapu di halaman juga akan dikatakan merakyat. Namun benarkah demikian ? Pada tulisan ini saya akan sedikit mendebat aliran mainstream pemberitaan yang lalu lalang baik di media massa ataupun di media elektronik. Melalui pengetahuan saya yang memang tidak banyak, saya hanya ingin mengatakan bahwa menjadi pemimpin tidaklah berarti mengikuti sebuah kontes kemiskinan atau kontes wajah paling lugu atau malah kontes wajah susah. Menjadi pemimpin bukanlah berarti mengikuti kontes siapa yang paling sering masuk pasar raya atau siapa yang paling sering memegang sapu.
Namun menjadi pemimpin mengharuskan anda semua untuk mampu berpikir di depan orang-orang yang anda pimpin. Menjadi pemimpin berarti anda harus memiliki kapabilitas dalam merumuskan suatu kebijakan yang mendatangkan manfaat kepada masyarakat luas, bukan hanya kepada teman separtai ataupun golongan, walaupun pada kenyataannya teman separtai dan segolongan akan menerima manfaat paling luas dari keberhasilan anda menjadi pemimpin, itu saya pandang wajar.
Melalui tulisan ini saya yang bisa dikatakan sangat kecil ini, saya malah memiliki sebuah cita-cita yang besar, yaitu sebuah cita-cita yang ingin saya perjuangkan melalui tulisan saya ini. saya ingin membuka mata masyarakat luas apakah itu tingkat lokal ataupun tingkat nasional, bahwa tidak selamanya pemimpin yang katanya paling miskin adalah pemimpin yang paling baik dan paling dekat dengan masyarakatnya. Saya juga ingin masyarakat luas, bahwa tidak ada relevansinya antara wajah lugu seseorang dengan kemampuannya menjadi pimpinan bagi Bapak Ibu sekalian.
Saya sebagai penyelenggara pemerintahan dan juga sebagai orang yang memiliki latar belakang ilmu pemerintahan, melalui tulisan ini ingin sedikit berbagi pandangan mengenai yang dinamakan pemerintahan atau kepemimpinan yang merakyat. Karena saya memiliki suatu kekhawatiran yang mendalam terhadap perkembangan situasi politik dan pemerintahan yang terjadi dewasa ini, baik tingkat lokal Sumatera Barat sampai tingkat nasional. Kenapa ? Saya berpandangan terdapat sebuah penyesatan pola pikir yang disebarkan oleh berbagai media massa, terlebih oleh Humas masing-masing.
Dewasa ini diakui atau tidak terdapat begitu banyak pembodohan publik dengan menciptakan sebuah citra pemimpin yang merakyat melalui apa yang dia lakukan atau apa yang dia kenakan. Sebagai contoh, pemimpin yang blusukan ke pasar raya akan dikatakan merakyat, pemimpin yang pada fotonya sedang memegang sapu di halaman juga akan dikatakan merakyat. Namun benarkah demikian ? Pada tulisan ini saya akan sedikit mendebat aliran mainstream pemberitaan yang lalu lalang baik di media massa ataupun di media elektronik. Melalui pengetahuan saya yang memang tidak banyak, saya hanya ingin mengatakan bahwa menjadi pemimpin tidaklah berarti mengikuti sebuah kontes kemiskinan atau kontes wajah paling lugu atau malah kontes wajah susah. Menjadi pemimpin bukanlah berarti mengikuti kontes siapa yang paling sering masuk pasar raya atau siapa yang paling sering memegang sapu.
Namun menjadi pemimpin mengharuskan anda semua untuk mampu berpikir di depan orang-orang yang anda pimpin. Menjadi pemimpin berarti anda harus memiliki kapabilitas dalam merumuskan suatu kebijakan yang mendatangkan manfaat kepada masyarakat luas, bukan hanya kepada teman separtai ataupun golongan, walaupun pada kenyataannya teman separtai dan segolongan akan menerima manfaat paling luas dari keberhasilan anda menjadi pemimpin, itu saya pandang wajar.
Melalui tulisan ini saya yang bisa dikatakan sangat kecil ini, saya malah memiliki sebuah cita-cita yang besar, yaitu sebuah cita-cita yang ingin saya perjuangkan melalui tulisan saya ini. saya ingin membuka mata masyarakat luas apakah itu tingkat lokal ataupun tingkat nasional, bahwa tidak selamanya pemimpin yang katanya paling miskin adalah pemimpin yang paling baik dan paling dekat dengan masyarakatnya. Saya juga ingin masyarakat luas, bahwa tidak ada relevansinya antara wajah lugu seseorang dengan kemampuannya menjadi pimpinan bagi Bapak Ibu sekalian.
Apakah anda semua pernah melihat foto Soekarno memegang sapu ? Tidak. Namun adakah yang berani mendebat bahwa Soekarno sang proklamator selalu memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsanya ? Apakah anda melihat Raja Arab Saudi keluar masuk got ? Tidak. Namun apakah ada rakyatnya yang kelaparan ? Apakah anda tahu bahwa Turki saat ini memiliki Istana Kepresidenan termewah sejagat raya, namun adakah yang bisa mengatakan bahwa sang Presiden Recep Tayib Erdogan tidak dekat kepada rakyatnya ? yang pada kenyataannya Erdogan lah yang menurunkan angka pencari kerja di Turki dari 38% menjadi 2% saja. Erdogan lah yang mengalliri seluruh penjuru Turki dengan listrik dan penerangan sehingga listrik sudah dinikmati oleh 98% penduduk Turki. Erdogan meningkatkan nilai tukar matau uang Turki menjadi 30 kali lipat. Erdogan meningkatkan gaji para pekerja Turki menjadi 3 kali lipat ! Namun ketahuilah Erdogan tidak tinggal di rumah yang jelek, dia tidak mengendarai Innova, dia juga tidak memegang sapu ataupun keluar masuk got, malah dia tinggal di Istana Kepresidenan Termewah sejagat raya yang bahkan mengalahkan White House yang ditempati Obama, namun tidak ada yang berani meragukan komitmennya untuk memajukan daerah dan masyarakatnya.
Apakah Sultan Hasanal Bolkiah di Brunei adalah orang miskin ? Hahaha tentu saja anda bercanda... Beliau bahkan memiliki Rolls Royce yang dilapisi emas ! Namun apakah ia tidak “merakyat” ? Setahu saya tidak ada penduduk Brunei yang kelaparan. Jadi mari kita keluar dari sebuah mindset bodoh yang memang digunakan untuk membodoh-bodohi, bukan kemiskinan atau keluguan yang menjadi tolak ukur kemampuan seorang pemimpin. Bukan keberanian untuk keluar masuk got yang akan menentukan kemampuan seorang pemimpin. Bukan kelihaiannya memegang sapu yang menentukan kemampuannya menjadi seorang pemimpin. Bukan sikapnya yang mengunjungi orang-orang kecil yang menentukan kemampuannya sebagai pemimpin, namun lebih pada itu adalah niat baik, wawasan dan kemampuan berpikir yang berujung kepada pengambilan keputusan yang berujung pada peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat.
Jadi mari kita sadari, bahwa memilih pemimpin bukan kontes siapa yang paling terlihat paling shaleh, bukan siapa yang terlihat paling miskin, juga bukan siapa yang terlihat paling merakyat. Tapi memilih orang yang akan mewakili kepentingan masyarakat luas guna dibawa menuju kehidupan yang lebih baik baik dunia maupun akhirat.
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »