Sang Bupati Malam !

Sang Bupati Malam !
Tukang Kaba: Pinto Janir.  
Handeh, lah tadanga lo kaba, paja tu lah seolah-olah pulo.Saolah-olah dek inyo mangko ka jadi. Nan urang nyo hanggap ibaraik aia di daun kaladi. Inyo manjadi daun, urang manjadi aia.

Sajak apak manang jadi bupati, mengikur-ikur saja kerjanya pada Pak Bupati. Di mana ada Bupati di situ ada dia. Sudah mirip cerita Romeya dan Juliya pula dia dengan Pak Bupati kita tu.

Jaraknya dengan Pak Bupati...ha sedepa ini saja. Kalau jaraknya dengan Pak Bupati 20 depa, mangka matanya tidak akan putus-putus memandang ke arah bupati. Bentuk agen CIA lagaknya. Telinganya berkabel, disumbat dengan speaker kecil. Bentuk lakon benar kawan awak ini heh.

Kalau Pak Bupati berkunjung ke lapangan menembus kerumunan orang banyak, lagaknya bentuk orang tegas berkebenaran. " Awas...awas...awas.....agiah jalan Pak Bupati ha....", tangannya mengipas-ngipas, tak tahu dia mana orang yang terdengat kena sikutnya.

Bunyi kabar, kusut rambut Pak Bupati, dengan sigap ia mengeluarkan sikat dari dalam saku celananya yang cubles. Kadang ia sendiri yang tergelenjat. Dikira ujung sikat juga yang terjujut, rupanya indak. . “ Sisirlah rambut bapak tu sedikit, segan awak. Kita mau bertemu masyarakat ini”, begitu katanya.

Kepatang ini waktu Pak Bupati berkunjung ke suatu tampat, ia melihat Pak Bupati menggaruk-garuk kepala. Bergegas pula ia merogoh sikat dari kantong celananya.

“Ini, Pak!”

Ha, terbudur mata Bupati kita melihat apa yang ia sogohkan itu. Coba bayangkan dek kawan, menggaruk kepala Pak Bupati, masak iya, sikat rapat yang ia kasihkan. Tersinggunglah pak Bupati. Dia kira apak bupati awak ini banyak kutu kali.

Ada beberapa tokoh handak bartamu pada Pak Bupati, lekas-lekas ia hubungi Pak Bupati. Ia berbisik bangsa seangin.

“ Pak, Wan Unuik lah mintak bertemu pula sama Bapak. Dia ada di luar tu....” katanya.

Kawan, ada siksaan bathin yang diidap Pak Bupati kalau nan dia ini sudah mulai berbisik ke daun telinga Pak Bupati. Coba bayangkan, dari angoknya bak keluar telur-telur telambang. Satu kata, 10 gelembung udara busuk. Tersiksa Pak Bupati dibuatnya. Kalau dia sudah bicara, Pak Bupati harus belajar menahan angok. Akibatnya, keras perut Pak Bupati dibikinnya. Bukan itu saja, urat ilir Pak Bupati juga mulai berotot-otot akibat sering latihan menahan angok, kalau dia tu sudah berbisik itu.

“ Ooo, tunggu santa. Suruh saja ia menunggu di ruang tamu. Saya menukar baju dulu”, jawab Pak Bupati masuk ke kamarnya sebentar. Eee, dia handak masuk pula ke kamar Pak Bupati. “ Tak usah, kamu tunggu di luar sajalah!” sergah Pak Bupati. "Ada istri saya di dalam".

Ha, nan dia, langsung berkata.

“Ada yang hendak saya sampaikan pada Bapak. Wan Unuik tu memang dulu tim kita Pak. Tapi, Pak...ada bapak tahu kalau Wan Unuik tu sebenarnya mentika langat perangainya. Dia itu pecarut Pak. Saya tak mau bapak sampai dekat-dekat dengan dia...”, katanya pada Pak Bupati yang sudah siap-siap menutup pintu kamarnya untuk menukar baju dinasnya ke baju nan agak lebih santai.

Ada kejadian dua hari setelah Pak Bupati dilantik. Berbisik pula dia pada Pak Bupati awak ini. Waktu itu, Raum Simambang nan tokoh nagari, hendak bartamu dengan Pak Bupati. Apa yang ia bisikkan ke Pak Bupati kok yo?
“ Pak, jangan bapak dekat-dekat pula dengan Raum itu?”
“ Memangnya kenapa?” tanya Pak Bupati sambil mengangkat dua alisnya. “Bukankah dulu dia banyak membantu kita?”
“ Dulu memang dia banyak membantu kita Pak.Sekarang.....? “ dia menggeleng-geleng sendiri. " Entahlah Pak, payah saya menyebutkannya. Kalau Bapak tak percaya, tanya pada orang sekampung....."
“Ya....Memangnya sekarang ada apa?” tanya Pak Bupati.
“ Ini demi kebaikan Bapak juga. Ternyata Pak, salah seorang bako dari Raum itu terlibat LGBT. Melambai tangannya Pak hoi. Bapak terima dia untuk bertemu Bapak, takut saya rusak nama bapak nantik. Dikejar-kejar wartawan Bapak, saya juga yang payah menjelaskan pada wartawan...Saya ingin Bapak dua kali jadi Bupati. Jangan sembarang dekat dengan orang Pak. Nanti dia kasih kita titian berakuk”.

Ha. Ini ada pula cerita lain. Waktu belum lama ini, konon Pak Bupati pergi dinas ke Jakarta. Nan dia lupa terbawa oleh Pak Bupati. Karena Pak Bupati merasa bahwa dia bukan ajudan, bukan staf, bukan siapa-siapa. Dia hanya memiliki hubungan emosional nan entah apa ula namanya. Di sisi lain , Pak Bupati juga tak sampai hati ‘mengusirnya’.

Kabarnya dia mengamuk di kantor bupati. Dia marahkan staf umum. “ Kalian-kalian ini mau dipindahkan ya? Sudah jelas Pak Bupati ke Jakarta, masak saya tidak kalian pesankan tiket. Padahal, Pak Bupati itu mau ke kementerian. Kalian tahu bagaimana hubungan saya dengan orang-orang Jakarta? Iya, kata saya, mengangguk orang se Jakarta! Kalau kalian tak percaya, tanya siapa saya sama Ahok....” baitu katanya. Nan staf tantu mengangguk-angguk saja. “ Ha, minta maaflah kalian pada saya satu dulu lah...sebelum nama kalian saya catat-catat...”, katanya sambil menjabat tangan beberapa staf. Ha?

“ Kali ini, saya maafkan kamu-kamu ini !”

Bunyi kabar, bila malam hari tiba, rumahnya lebih banyak pula dikunjungi oleh orang ketimbang rumah Pak Bupati. Sejak terbetik terberita bahwa Pak Bupati menurut pada katanya, sejak saat itu pula para pejabat-pejabat yang dulu tak mendukung pak Bupati kita yang menang ini, pada barami-rami ke rumahnya. Sehingga rumahnya sudah penuh oleh pisang agak setandan, lansat juga ada sekilo duo kilo, bahkan tebatnya yang dulu kosong sudah ada saja orang yang mengisi. Tiap orang yang datang, selalu membawa buah tangan.

Ha, mereka mintak suaka. Tapi yang lebih banyak mamintak jabatan pada Pak Bupati Malam kita ini.

“ Pak Caih, bantu saya Pak Caih. Saya jalan dunsanak juga dengan Pak Caih mah. Bako Pak Caih itu, bako saya juga. Kita sebako Pak Caih”, kata seorang pejabat seraya menyerahkan kurikulum vitae e.

“ Kita cobalah dulu Pak. Ini sudah setumpuk buruk CV masuk ke kamar kerja saya. Bapak kan itu pula salahnya, dulu main berjelas-jelas benar. Kini, nan dek kami yang menang. Apak target mah. Target untuk diganti”, kata Pak Caih nan mulai tasabuik sebagai bupati malam pula.

Eeee, dalam sebanyak itu, banyak pula kontraktor yang datang pada Pak Caih ini untuk memberikan data perusahaannya. “ Perusahaan kita ini lengkap Pak Caih. Dapat ciek proyek, aman itu Pak Caih. Ba-a dek orang, begitu pula main kita. Kita kerat dua saja Pak Caih. Mendapat Pak Caih, mendapat pula kami”, kata seseorang yang dikenal sebagai pemborong tanggung.

Ha, hampir tiap malam Pak Caih sibuk menyeleksi daftar nama orang-orang yang hendak dieselonkannya. Dan daftar perusahaan yang akan mendapatkan bagian-bagian kue kontrak.

“ Jah...kemari lah kau...!”

Ia memanggil Ijah istrinya. Ijah lari tergopoh-gopoh sambil menyingsing kain sarungnya yang merambai.

“ Kau tahun bisuk biar papa belikan baju rancak.Galang banyak. Calak sakatidiang. Lipsetik babagai rono. Ha, kau indak bulih lagi bapakaian takah iko. Harus segeh sangenek”, kata Icaih pada istrinya Ijah.

“ Iyo Uda., Dek Ijah ma nan ka lamak jo nan ka sero dek uda se. Manalungkuik kecek Uda, manalungkuik Ijah. Manilantang uda, manilantang lo kecek Ijah. Ijah kan patuh ka Uda sayang....”

“ Eeee, lah kama lo lari e lai ko ha! Lain kecek den lain pulo parumpaan nan akau baok”, kato Icaih.

“ Tapi Uda, Ijah ingin mintak dibalikan panyedot lamak nan takah di tipi tu. Lamak Ijah lah banyak bana. Lah bantuak susu se sabalik pinggang badan Ijah ko.....!”

“ Panyedot-nyedot lamak a pulo nan ka kau bali ko ha. Latuihan se ciek-ciek, ha kempis e tu mah....”

“ Uda...ih gata!”

Baitu kemesraan mereka ko.

Suatu kali, pak Bupati mulai heran, ba-a ko lah langang urang ka rumahnyo. Indak adoh lai para tokoh nan datang bakunjuang ka rumah dinasnyo. Nan banyak para SKPD se.

Nyo himbau dek Pak Bupati si Icaih tu.

“ Caih....Caih.....!” Pak Bupati manapuak-napuak punggung Icaih nan takalok lamak di sabuah ruang di rumah dinaih tu. Memang, si caih ko labiah acok lalok di rumah Pak Bupati katimbang lalok jo bininyo si Ijah.
“ Caih, ba-a kok indak adoh lai para tokoh nan tibo kamari? “
Icaih manjawek dengan senyum.

“ Pak Bupati kan uda adik bana ko. Nah, lai tahu Pak Bupati, tokoh-tokoh nan Pak Bupati sangko banyak mambantu kito tu sabanyo bulsit se tunyo. Indak ciek juo tu doh. Seharusnya kito basyukur rumah ko indak lanyak dek urang nan indak manantu ujuang pangka e. Jan cameh lo Pak Bupati lai, Urusan siang, uruslah dek apak. Malam hari bia ambo kamehan!”

“ Eh, apo mungkasuik e tu Caih? Mangamehan malam tu a pulo tu?”

“ Mungkasuik e baiko. Malam hari ada bintang. Ada bulan. Ada awan bagai. Ada angin bertiup lembut. Saat-saat begitu adalah saat-saat indah bagi Bapak untuk istirahat. Bapak istirahat, biar saya yang meladeni malam Bapak?”

“Ha?”

“ O...jangan Pak Bupati salah tanggap. Maksudnya, kita hidupkan daerah kita ini dalam layanan 24 jam. Tenanglah Bapak, untuk biaya politik kita di hari depan pada pemilihan kedua, saya yang menanggung! Kerat telinga saya kalau tidak”

Habis!

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »