![]() |
Pendekatan Kepada Warga Juga Melibatkan Tokoh Masyarakat. |
PERANG urat saraf yang terjadi menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi DKI Jakarta tahun 2017, tak hanya melibatkan bakal calon kandidat, dan warga DKI Jakarta, tetapi juga mengundang perhatian warga di daerah lainnya di Indonesia. Dan memang, DKI Jakarta tak hanya milik orang Betawi dan warganya, tetapi juga milik seluruh elemen bangsa.
Siapa yang akan menjadi Gubernur DKI Jakarta, tidak hanya ditentukan oleh warga Jakarta. Dalam proses pemilihan calon gubernur, hanya akan dilakukan oleh warga yang masuk dalam daftar pemilh tetap (DPT) nantinya. Namun, siapa yang baik dan cakap menjadi calon gubernur Jakarta, tak hanya menjadi perhatian serius warga DKI Jakarta, tetapi rakyat Indonesia dari seluruh penjuru Nusantara juga ikut memperbincangkannya.
Lihatlah perdebatan mereka di sosial media, yang paling heboh itu facebook, twitter, dan group-group facebook. Saling serang antar kandidat bakal calon gubernur, timsukses, pendukung dan simpatisan setiap hari ramai di media sosial. Semuanya tentu bertujuan mencari orang yang memiliki integritas yang tinggi, memiliki komitmen, kapabel, akuntabilitas, dan cakap memimpin DKI Jakarta.
Ironisnya, fitnah memfitnah dan isu SARA menjadi makanan sehari-hari yang disuguhkan kepada rakyat, entah disengaja atau pun tidak disengaja, sudah menjurus kepada perpecahan di negeri ini. Bahasa kasar pun seringkali digunakan, bahasa seakan negeri ini berada dalam kedaruratan dijadikan alat untuk memicu emosional segenap anak bangsa.
Kebencian kepada suatu etnis, dalam hal ini etnis Cina kembali dihembuskan. Seakan Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina tak punya hak dalam berpolitik. Mereka hanya boleh hidup dan berusaha di negeri ini, tapi jangan coba-coba untuk menjadi Kepala Daerah (Kada) atau presiden. Apatah lagi, jika WNI keturunan Cina itu bukan pula penganut agama mayoritas, maka keluarlah dalil, orang kafir tak boleh memimpin daerah yang mayoritas muslim. Orang kafir tak boleh memimpin DKI Jakarta dan Indonesia.
Siapa yang akan menjadi Gubernur DKI Jakarta, tidak hanya ditentukan oleh warga Jakarta. Dalam proses pemilihan calon gubernur, hanya akan dilakukan oleh warga yang masuk dalam daftar pemilh tetap (DPT) nantinya. Namun, siapa yang baik dan cakap menjadi calon gubernur Jakarta, tak hanya menjadi perhatian serius warga DKI Jakarta, tetapi rakyat Indonesia dari seluruh penjuru Nusantara juga ikut memperbincangkannya.
Lihatlah perdebatan mereka di sosial media, yang paling heboh itu facebook, twitter, dan group-group facebook. Saling serang antar kandidat bakal calon gubernur, timsukses, pendukung dan simpatisan setiap hari ramai di media sosial. Semuanya tentu bertujuan mencari orang yang memiliki integritas yang tinggi, memiliki komitmen, kapabel, akuntabilitas, dan cakap memimpin DKI Jakarta.
Ironisnya, fitnah memfitnah dan isu SARA menjadi makanan sehari-hari yang disuguhkan kepada rakyat, entah disengaja atau pun tidak disengaja, sudah menjurus kepada perpecahan di negeri ini. Bahasa kasar pun seringkali digunakan, bahasa seakan negeri ini berada dalam kedaruratan dijadikan alat untuk memicu emosional segenap anak bangsa.
Kebencian kepada suatu etnis, dalam hal ini etnis Cina kembali dihembuskan. Seakan Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina tak punya hak dalam berpolitik. Mereka hanya boleh hidup dan berusaha di negeri ini, tapi jangan coba-coba untuk menjadi Kepala Daerah (Kada) atau presiden. Apatah lagi, jika WNI keturunan Cina itu bukan pula penganut agama mayoritas, maka keluarlah dalil, orang kafir tak boleh memimpin daerah yang mayoritas muslim. Orang kafir tak boleh memimpin DKI Jakarta dan Indonesia.
"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)." (QS. Aali 'Imraan ayat 28).
Umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini menginginkan DKI Jakarta dipimpin oleh gubernur muslim. Dan ini bagi sebagian umat Islam adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Namun, disatu sisi, perlu juga diingat negeri ini adalah negeri demokrasi terbesar di dunia. Tak ada halangan dalam konstitusi bagi seseorang non muslim untuk maju sebagai calon gubernur atau presiden.
Lucunya, para ulama pun tak satu suara dalam menyikapi ini. Mereka terpecah, berbeda pendapat, dan berpacu mengeluarkan dalil untuk mempengaruhi umat. Entah ada pesanan atau tidak, yang jelas pendapat ulama, baik yang pro maupun kontra terhadap pemimpin non muslim, terutama Ahok, seakan menjadi senjata untuk saling menjatuhkan lawan. Dan yang lebih busuknya lagi, pendapat ulama itu dikutip sepotong-sepotong, sehingga umat salah dalam memahaminya, dan para ulama pun menjadi sasaran caci maki di media sosial.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti pun sudah mengingatkan berbagai pihak untuk tidak memainkan isu SARA ini pada Pilkada DKI Jakarta. Bahkan, ia akan menindak tegas orang-orang yang menyebarkan isu SARA atau hatespeech di media sosial. Apatah lagi jika sudah menyangkut pelanggaran Undang-Undang ITE ataupun hatespeech, pasti akan ditindak.
Banyak orang yang gerah dengan isu SARA yang sengaja dihembuskan pada Pilkada DKI Jakarta ini. Mereka ini kebanyakan berasal dari kalangan profesional, yang melihat kinerja seseorang bukan dari latar belakang suku, agama, ras, dan antar golongan. Bagi kelompok ini, siapa saja yang memiliki kemampuan (kapabelitas), siapa saja yang profesional, siapa saja yang akuntabel, dan memiliki integritas, harus didukung, tanpa menghiraukan latar belakang SARA.
Sebenarnya, di luar isu SARA tersebut, masih banyak isu-isu lain yang bisa dimainkan. Misalnya terkait kinerja Ahok dalam pengusuran warga yang ada di permukiman kumuh di Jakarta. Misalnya saja kritik yang dilayangkan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga periode 2004 - 2009, Adhyaksa Dault. Ia menyuruh Ahok untuk belajar pada kepala daerah lain dalam menata wilayahnya agar tidak sombong dan menampakkan taring kekuasaan saja. Menurut dia, seharusnya pemimpin mengayomi, bukan menindas demi kepentingan golongan tertentu.
Menurutnya, DKI Jakarta butuh pemimpin, bukan penguasa. Harusnya Ahok belajar bagaimana menata daerah, bukan menggusur, lantaran sedang berkuasa. Ahok pun diminta belajar kepada dua orang kepala daerah yang berhasil merelokasi dan menata warga serta daerahnya tanpa kekerasan dan tak menyulut api perlawanan dari masyarakat.
Salah satunya adalah Walikota Padang H Mahyeldi Ansharullah. Banyak orang yang memang terkagum-kagum kepada Mahyeldi dalam melakukan penggusuran. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kemanusiaan. Warga yang digusur tak boleh dirugikan. Mereka diajak berfikir untuk kepentingan bersama dan kebaikan yang akan didapat mereka jika digusur. Karena tempat baru yang lebih menjanjikan telah disiapkan Pemerintah Kota Padang.
Misalnya saja pada pengusuran warga yang berjualan di sepanjang Pantai Padang yang kemudian direlokasi ke kios-kios yang ada di Danau Chimpago. Tak hanya itu, warga yang berjualan di luar kawasan Danau Chimpago, diberikan bantuan gerobak untuk bisa berjualan secara mobile. Pagu anggaran untuk pengadaan gerobak bagi pedagang Pantai Padang tersebut adalah Rp2.250.000.000,-. Dalam proses lelang, tender pengadaan dimenangkan CV Damarindo dengan penawaran Rp2.189.000.000,-. Dan dalam waktu dekat, gerobak tersebut sudah dapat dimanfaatkan oleh pedagang.
Demikian juga pembebasan lahan jalur Bypass, hampir tidak ada riak yang berarti, walau dalam proses penggusurannya melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Polri. Tidak ada perlawanan, tidak ada warga yang diungsikan. Proses konsolidasi yang selama ini berada pada ranah "abu-abu" berusaha diselesaikan secara matang, sehingga tidak ada warga yang merasa dirugikan.
Enteh meniru gaya Presiden Jokowi, Mahyeldi pun sering melakukan blusukan untuk mengetahui kondisi riil warga. Berbagai informasi melalui dia himpun melalui kegiatan blusukan, dan informasi itu dijadikan bahan untuk mengambil kebijakan. Melalui kegiatan blusukan ini, Mahyeldi juga dapat memantau perkembangan pelaksanaan pembangunan, tidak hanya mendengar laporan dari anak buah. Pendekatan blusukan juga dipakai ketika akan menggusur warga, semisal pada pembebasan lahan jalur dua Bypass tadi.
Tak semua pembangunan yang harus didanai APBD, mungkin itulah yang ada dalam benak Mahyeldi. Warisan leluhur bangsa, yaitu gontongroyong digunakan untuk menata kota, terutama menata objek-objek wisata yang ada. Goro digalakan secara massal dengan melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Kota Padang. Hampir setiap minggu, ASN melaksanakan goro. Tempatnya bisa di kantor masing-masing, objek wisata: Pantai Padang, Pantai Air Manis dan lainnya. Kota Padang bersih dan tertata, berkat pelaksanaan goro semacam ini.
Pendekatan Mahyeldi dari hati ke hati telah meluluhkan hati warga. Mereka bersedia digusur, bahkan dalam beberapa contoh kasus, warga sendiri yang membongkar bangunan liar dan lapak-lapak milik mereka. Satpol PP hanya membantu mengangkut sisa bangunan ke tempat yang ditunjuk warga. Dan langkah terpenting adalah, sebelum penggusuran, mendengarkan aspirasi warga. Warga diajak berkomunikasi, baik diundang ke rumah Dinas Walikota Padang maupun melalui kegiatan Jumat Keliling yang selalu dilakoni Mahyeldi. Masukan dari warga ini dijadikan pertimbangan dalam melakukan penggusuran.
Sebagai penutup tulisan ini, agaknya baik untuk direnungkan kembali hadis yang yang dinukil dari ‘Aidz bin Amru ra, ketika ia masuk kepada Ubaidillah bin Zijad, ia pun berkata: "Hai anakku saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya sejahat-jahat pemerintah yaitu yang kejam (otoriter), maka janganlah kau tergolong daripada mereka." (HR Buchari wa Muslim). Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci Allah dan sangat jauh dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim." (HR Turmudzi).
Wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq. Semoga Allah menuntun kita ke jalan yang paling lurus.
Ditulis Oleh:
Zamri Yahya, SHI
Anggota Muda PWI Cabang Sumatera Barat/Wartawan Portal Berita BentengSumbar.com/Anggota Libtang Mingguan Sumbar Raya.
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »